Kisah Patah Hati Kaum Ibu dan Anak-anak Ukraina
Anak-anak dan perempuan, yang sebagian besar adalah kaum ibu, amat menderita akibat perang antara Rusia dan Ukraina.
Liza Bodnaruk berusia 15 tahun ketika bertemu Igor Moroz, seorang siswa senior berusia 17 tahun di sekolah dua tahun lalu. Keduanya membolos dari kelas bersama dan nongkrong di Pantai Odessa, sebuah kota Ukraina di tepi Laut Hitam, yang menjadi destinasi favorit para pelancong.
Di tepi pantai kota yang dibangun pada 1794 oleh Yekaterina Agung, seorang maharani Rusia, itu, Liza dan Igor sering bertengkar, berbaikan, dan mengikat janji. Cinta mekar pada pandangan pertama. Keduanya mengira pernikahan sudah kuno, tetapi akhirnya menikah sebulan sebelum putra mereka lahir.
Semuanya berjalan dengan baik, indah, dan romantis. Deburan ombak Pantai Odessa yang terkenal itu masih sering mereka nikmati saat suntuk di rumah. Mereka bahkan sedang menabung untuk membeli rumah baru ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan serangan terhadap Ukraina, akhir Februari lalu.
Baca Juga: Biden Janji Kucurkan 800 Dollar AS dalam Wujud Senjata untuk Ukraina
Ketika Liza mendengar serangan udara pertama menggelegar di langit musim dingin yang tenang di Odessa, 24 Februari, dia menghadapi dilema. Keputusan tersulit harus dipilih. Bertahan di sisi suami dan negaranya untuk melawan Rusia atau melarikan diri sejauh mungkin demi melindungi bayi mereka yang berusia 4 bulan.
Liza dan Igor, pasangan kekasih sejak masa remaja itu, kini terpaksa berpisah kala Rusia pertama kali menyerang Odessa. Sejak itu air mata terus mengalir. ”Saya menangis dan dia pun menangis. Kami terus menangis. Sangat sulit untuk meninggalkannya di sana,” kenang Liza, awal Maret ini.
Ibu muda itu harus lari sejauh mungkin demi melindungi bayinya. Liza dan bayinya ditemui berada di stasiun kereta Przemysl, perbatasan Polandia-Ukraina. Igor terpaksa bertahan di Odessa, seperti kebanyakan pria lain usia 18-60 tahun yang menjadi sukarelawan perang melawan Rusia.
Kota Odessa dipandang sebagai ibu kota budaya Ukraina selatan. Ekonominya kuat karena 70 persen impor dan ekspor Ukraina ditangani lewat Pelabuhan Odessa. Masyarakatnya ramah dan terbuka. Sejak invasi Rusia, Odessa telah berubah menjadi garis depan perang Rusia-Ukraina.
Ketika ditemui di stasiun kereta Przemysl, Liza mengobrak-abrik tasnya untuk mencari botol susu dan mainan bayinya. Tasnya penuh dengan barang bawaan yang dianggap penting. Ibu Liza, yang menemaninya, menggendong cucunya yang dibungkus selimut tebal.
Baca Juga: Kepentingan Nasional Dahulu, Bela Ukraina Kemudian
”Kami tidak punya uang. Bawaan kami sangat sedikit,” kata ibunya, Natalia Bodnaruk, dari seberang barikade yang memisahkan mereka dengan jurnalis Ukraina, seperti dilaporkan Foreign Policy, 16 Maret 2022.
Mereka sedang dalam perjalanan menuju ke rumah seorang sahabat di Jerman. ”Kami pergi ke Jerman ke rumah seorang teman. Namun, kami tidak tahu berapa lama kami bisa tinggal di sana dan bagaimana kami akan bertahan hidup,” katanya.
Liza bisa berbicara sedikit bahasa Jerman, tetapi tidak mengenyam pendidikan. Dia berharap bisa mendapatkan pekerjaan di pusat perbelanjaan atau pasar swalayan untuk mencari nafkah dan menjaga keluarganya sampai dia bisa kembali ke rumah dan bersatu kembali dengan Igor.
Liza dan kaum ibu Ukraina lainnya kini telah menjadi pengungsi terbaru di Eropa. Ibu-ibu Ukraina takut apakah mereka akan dapat kembali ke rumah dan bersatu lagi dengan orang-orang terkasih yang terpaksa ditinggalkan di belakang. Ada ketidakpastian yang mencemaskan.
Selama berhari-hari, Rivil Kofman dan putranya, David, terlibat dalam pertarungan sengit antara tank Rusia dan artileri Ukraina di Desa Myrotske, 40 kilometer dari ibu kota Kiev. Mereka menghabiskan warktu berhari-hari di ruang bawah tanah yang beku dan gelap gulita tanpa listrik dan air.
Tujuh atau lebih mobil di desa lainnya yang penuh dengan warga sipil, anak-anak dan hewan peliharaan, ditembak dan dibakar oleh pasukan Rusia. David yakin Rusia mengira warga sipil yang melarikan diri itu akan membantu militer Ukraina menemukan tank dan artileri mereka.
Baca Juga: Menembus Kiev di Tengah Perang demi Solidaritas pada Ukraina
Myrotske adalah kota tempat Kofman memulai karya amalnya, Strong-Willed, dan membangun pusat rehabilitasi bagi anak-anak penderita kanker, sebagaimana dilaporkan Aljazeera. Desa berpenduduk 1.500 jiwa itu telah dikuasi Rusia tak lama setelah serangan dimulai, 24 Februari. Myrotske dekat dengan kota Bucha dan Irpin di Ukraina dan tidak jauh dari Belarus.
Olga Shmigal menangis sedih ketika berpamitan dengan pasangannya, Vladimir Golyadynets, sebelum masuk kereta api dari Lviv yang akan membawannya ke tempat aman di Dnipro, 9 Maret lalu. Vladimir harus tinggal untuk tetap bertempur melawan Rusia.
Kisah pertempuran orang-orang Ukraina melawan pasukan Rusia yang jauh lebih kuat juga merupakan kisah tentang patah hati dan keluarga yang terpisah. Ini adalah kisah penderitaan yang tak terperikan bagi para ibu yang terpisah dari suaminya dan anak-anak yang terpisah dari ayah mereka.
Mereka tertatih-tatih berjalan ke tempat yang aman bersama anak-anaknya dan membawa barang dalam jumlah terbatas menuju masa depan yang tidak pasti di negara-negara asing di Eropa. Hampir 3 juta pengungsi Ukraina telah memasuki Eropa sejauh ini. Kebanyakan mereka, menurut Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), adalah perempuan dan anak-anak. Sebagian besar dari perempuan ini adalah kaum ibu.
Setiap kali mereka akan melintasi perbatasan Ukraina ke negara lain di Eropa, mereka menggandeng anak-anak mereka dengan satu tangan dan menenteng tas pakaian atau perlengkapan lain di tangan satunya. Kadang-kadang mereka harus berjalan berkilo-kilometer dalam suhu beku ke tempat yang aman.
Perjalanan mereka sangat menyiksa. Mereka diliputi perasaan yang tak terlukiskan. Ada ketakutan atas keselamatan diri, anak-anak mereka, dan kekasih atau suami yang harus ditinggalkan untuk melawan Rusia. Rasa cemas terbaca nyata di wajah mereka. Tanpa disadari, air mata jatuh berderai.
Baca Juga: Faktor-faktor Pengubah Narasi dalam Perang Rusia-Ukraina
Potret para wanita Ukraina yang melakukan perjalanan ke Barat telah melahirkan simpati dan memacu birokrasi Eropa yang biasanya lambat untuk menghasilkan kebijakan yang lebih manusiawi bagi pengungsi Ukraina. Muncul pula relawan dari banyak negara untuk mendukung Ukraina.
Seorang diplomat Eropa dari negara tetangga Ukraina mengatakan, gelombang simpati semakin besar untuk Ukraina sekalipun ada ancaman dari Putin. ”Ketika pengungsi adalah perempuan dan anak-anak, opini publik menjadi propengungsi,” kata diplomat tersebut.
Dia melanjutkan, ”Semua orang merasa bertanggung jawab dan dipaksa untuk melakukan sesuatu, bukan karena mereka orang Ukraina, melainkan karena mereka perempuan dan bayi kecil,” katanya. ”Kalau perempuan dan anak-anak, rasa solidaritas jauh lebih tinggi.”
Puluhan perempuan yang ditemui wartawan mengatakan, mereka meninggalkan rumah karena Rusia mengebom infrastruktur sipil, mengepung, dan menghancurkan kota mereka. Kirova dan putranya berusia 6 tahun melarikan diri dari Mariupol.
”Rusia mengebom rumah kami dan membunuh warga sipil. Saya tidak ingin meninggalkan pasangan saya, tetapi saya harus memikirkan putra saya terlebih dahulu,” kata Kirova tanpa menyebut nama lengkap dan usianya.
Baca Juga: Segregasi Pengungsi
Lebih dari 1.500 orang sejauh ini tewas di Mariupol dalam serangan Rusia, termasuk tiga orang di bangsal rumah sakit bersalin di kota itu. Kirova akan tinggal di rumah seorang teman Polandia dengan anaknya di masa mendatang sambil berharap pasangannya entah bagaimana berhasil tetap hidup.
Saat warga Ukraina yang putus asa meninggalkan rumah mereka, terutama perempuan dan anak-anak, ke negara tetangga, Rusia terus menyerang ibu kota Kiev dengan rudal dan artileri berat. Menurut PBB, Minggu lalu, sedikitnya 596 orang, termasuk 43 anak-anak, tewas sejak Rusia menginvasi Ukraina. Hingga Sabtu malam lalu, 1.067 warga sipil, termasuk 57 anak-anak, terluka. (AFP/REUTERS/AP)