Dilema The Fed Jelang Pengumuman Suku Bunga di Tengah Perang Ukraina
Tingkat agresivitas The Fed untuk mengetatkan kebijakan moneternya menghadapi dilema. Perang di Ukraina mengancam pertumbuhan ekonomi AS, sekaligus dapat memperparah tingkat inflasi di AS dalam 40 tahun terakhir.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
NEW YORK, SENIN — Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed, diperkirakan akan menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2018 dalam pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal atau FOMC tengah pekan ini. Tingkat agresivitas The Fed untuk mengetatkan kebijakan moneternya menghadapi dilema. Ini karena perang di Ukraina mengancam pertumbuhan ekonomi AS, sekaligus dapat memperparah tingkat inflasi AS yang telah mencapai level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Kalangan ekonom secara luas berpandangan bahwa kekhawatiran tentang tekanan inflasi akan jauh lebih besar daripada kekhawatiran perlambatan pertumbuhan. Hal itu terutama dikaitkan dengan kondisi kekuatan pasar tenaga kerja AS. The Fed diperkirakan minimal menaikkan tingkat suku bunganya sebesar seperempat poin persentase dan melanjutkan serangkaian kenaikan suku bunga pada tahun ini.
Sebelum invasi Rusia ke Ukraina, beberapa ekonom dan bahkan beberapa pejabat The Fed mengatakan bahwa langkah pertama dalam siklus pengetatan moneter di AS dapat dilakukan dengan menaikkan suku bunga sebesar setengah poin persentase. Hal itu semata untuk mengirim sinyal kuat ke pasar bahwa bank sentral berkomitmen untuk menjaga inflasi agar tidak melonjak dan lepas kendali.
Namun, Gubernur The Fed Jerome Powell, pekan lalu, menyatakan niatnya untuk menyerukan kenaikan seperempat poin persentase. Pernyataan ini cukup mengagetkan. Biasanya pernyataan terkait kebijakan suku bunga tidak pernah disampaikan terbuka hingga kebijakan soal itu diputuskan.
Kepala Ekonom Keuangan pada lembaga Jefferies, Aneta Markowska, menyatakan bahwa saat ini adalah salah satu masa tersulit bagi The Fed. Meski pernah mengalami aneka peristiwa besar yang terkait dengan perekonomian, seperti pandemi Covid-19 dan krisis keuangan global, berbagai peristiwa itu dapat diatasi dengan arah kebijakan yang relatif jelas.
Pertanyaan saat ini adalah seberapa besar kenaikan suku bunga dan seberapa cepat kebijakan itu akan diterapkan. ”Kali ini Anda memiliki risiko dua sisi, dengan tekanan ke bawah pada pertumbuhan, tetapi tekanan ke atas pada inflasi. Pertanyaannya adalah The Fed akan memilih yang mana?” kata Markowska, seperti dikutip The Financial Times, Senin (14/3/2022).
Kalangan pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunganya sebanyak enam kali tahun ini. Namun, Kepala Ekonom Grant Thornton, Diane Swonk, memproyeksikan akan ada tujuh kali kenaikan suku bunga The Fed tahun ini. Adapun lembaga Wells Fargo menaikkan perkiraan mereka dari lima kali menjadi enam kali kenaikan suku bunga The Fed dengan kebijakan secara menyeluruh akan mempertahankan suku bunga di bawah 2 persen.
Perang Rusia-Ukraina telah meningkatkan ketegangan geopolitik di sejumlah kawasan global. Negara-negara Barat dan sekutunya menerapkan aneka sanksi di sektor keuangan terhadap Rusia. Perang dan dinamikanya itu telah mengakibatkan lonjakan harga energi.
Harga patokan minyak internasional di satu titik pernah mencapai level harga 130 dollar AS per barel setelah AS menerapkan kebijakan larangan impor Rusia. Harga minyak telah cenderung turun dari level tertingginya, tetapi basis harga di atas 100 dollar AS per barel mendorong kenaikan inflasi sekaligus menekan belanja konsumen.
Terakhir kalinya The Fed menerbitkan proyeksi ekonomi AS pada Desember tahun lalu. Inflasi inti di AS diperkirakan sebesar 2,7 persen sepanjang 2022, sebelum kemudian turun ke level 2,3 persen pada tahun berikutnya. Tingkat inflasi saat ini berada di level 5,2 persen. Inflasi AS meroket hingga 7 persen per Desember 2021 yang merupakan level inflasi tertinggi sejak Juni 1982.
Para ekonom mengantisipasi The Fed akan menurunkan proyeksi mereka atas tingkat pertumbuhan ekonomi AS tahun ini. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi AS sepanjang tahun ini diperkirakan akan ekspansif sebesar 4 persen. Namun, Barclays memperkirakan bahwa akibat dinamika perang Rusia-Ukraina, ekonomi AS hanya akan tumbuh 3,3 persen tahun ini.
Dana Moneter Internasional (IMF), pekan lalu, memperingatkan bahwa dampak dari perang Rusia-Ukraina akan memperlambat pertumbuhan global. Namun, ekonomi AS memasuki kondisi krisis geopolitik saat ini dalam posisi yang kuat dengan tingkat pengangguran yang rendah dan mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen tahun lalu.
Namun, gangguan rantai pasokan secara global menyebabkan kekurangan produk-produk utama di saat perekonomian dunia kembali normal dari pandemi Covid-19. Kenaikan-kenaikan harga awalnya terjadi didorong oleh harga mobil dan perumahan, disusul harga-harga energi setelah Rusia menyerang Ukraina.
Adam Sarhan dari lembaga 50 Park Investment menyatakan, dirinya khawatir kenaikan-kenaikan harga itu adalah jenis peningkatan cepat yang dapat menyebabkan resesi. (AP/AFP/REUTERS)