Semua tahu, Indo-Pasifik menjadi pusat pertumbuhan terpenting dunia. Namun, dengan berbagai kepentingan dari banyak negara, persaingan tak terhindarkan. Harus dijaga, jangan sampai persaingan itu memicu konflik terbuka.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
Indo-Pasifik menjadi pembicaraan hangat pekan kemarin, menyelip di antara dinamika serangan Rusia ke Ukraina. Perancis sebagai ketua bergilir Uni Eropa menginisiasi pertemuan para menteri luar negeri ASEAN, UE, dan sejumlah negara Indo-Pasifik di Paris. Menlu RI Retno LP Marsudi hadir sebagai salah satu pembicara utama dalam forum itu. Di Jakarta, perwakilan RI menerima Menteri Perdagangan Internasional Inggris Anne-Marie Trevelyan. Trevelyan membawa misi Inggris atas Indo-Pasifik dalam rangkaian kunjungannya ke RI, Singapura, dan Jepang.
Di hadapan para peserta forum di Paris, Retno menyatakan posisi Indonesia atas Indo-Pasifik. Ia mengatakan, Indonesia menyadari sepenuhnya pentingnya pertumbuhan Indo-Pasifik bagi perekonomian dunia. Namun, ia mengingatkan bahwa tanpa perdamaian dan stabilitas dan tanpa menghormati hukum internasional, semua potensi itu hilang dan tidak ada gunanya.
”Bagi Indonesia, Indo-Pasifik adalah lautan peluang dan terlalu besar untuk dikuasai oleh satu negara,” kata Retno. ”Oleh karena itu, keamanan bersama, stabilitas bersama, dan kemakmuran bersama di kawasan Indo-Pasifik harus dapat dinikmati semua orang.”
Untuk mewujudkannya, menurut Retno, butuh kerja sama strategis. Kerja sama itu dapat terwujud melalui dua cara. Pertama, lewat pengembangan paradigma positif. Kedua, adanya sinergi di antara aneka inisiatif tentang Indo-Pasifik.
Persaingan di Indo-Pasifik, lanjut Retno, tidak bisa dihindari dan bahkan sepatutnya disambut baik oleh semua negara. Meski demikian, persaingan tersebut jangan sampai menjadi konflik terbuka. ”Kita harus menghormati hukum internasional. Perdamaian, stabilitas, dan prediktabilitas harus tetap menjadi pusat perhatian kawasan kita,” katanya.
Pernyataan Retno itu membawa ingatan kembali ke pertengahan Desember tahun lalu. Kompleks Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, terasa lengang menjelang akhir semester kedua. Kala itulah kampus itu menerima kehadiran Menlu Amerika Serikat Antony J Blinken. Ia membawakan pidato khusus tentang Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. ”Saya di sini, kami di sini, karena apa yang terjadi di Indo-Pasifik akan, lebih dari kawasan lain mana pun, membentuk lintasan dunia di abad ke-21,” kata Blinken.
Ia menyatakan, Indo-Pasifik adalah kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Indo-Pasifik adalah rumah bagi lebih dari separuh penduduk dunia. Tujuh dari 15 ekonomi terbesar ada di kawasan ini.
Australia, dalam buku putihnya tentang Indo-Pasifik, menyatakan bahwa bahkan dengan momentum yang menurun pun, Asia secara keseluruhan menyumbang hampir dua pertiga dari pertumbuhan global hingga tahun 2030. Hingga saat itu, daya beli terbesar global dimiliki empat negara di Asia, yakni China, India, Jepang, dan Indonesia.
Pidato Blinken itu menyarikan kebijakan baru AS atas Indo-Pasifik yang diluncurkan pada pekan kedua Februari lalu. Dokumen itu mencerminkan adaptasi sikap AS pada aspirasi kawasan.
Dalam catatan Kompas, dokumen itu tidak hanya membahas soal keamanan dan kebebasan berlayar, seperti yang bolak-balik ditekankan AS di kawasan selama ini. Dokumen itu juga menyinggung soal kesejahteraan bersama, keterhubungan antarwilayah, perubahan iklim, dan penanggulangan pandemi. Dokumen versi pemerintahan Joe Biden lebih sedikit menyinggung soal keamanan dan kebebasan berlayar dibandingkan dokumen era Donald Trump. Sebaliknya, dokumen Biden meningkatkan tekanan pada kemitraan, persekutuan, ekonomi, dan teknologi.
UE pun tidak ketinggalan meningkatkan keterlibatan strategisnya dengan kawasan vital Indo-Pasifik itu. UE mengakui pertumbuhan ekonomi, demografi, dan politik menjadikan Indo-Pasifik sebagai pemain kunci dalam membentuk tatanan internasional berbasis aturan dan dalam mengatasi tantangan global.
Dengan strategi barunya, UE bertujuan untuk berkontribusi pada stabilitas kawasan, keamanan, kemakmuran, dan pembangunan berkelanjutan Indo-Pasifik. Hal itu sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan hukum internasional.
”Strategi Indo-Pasifik bukanlah strategi anti-China. Strategi ini tidak melawan siapa pun,” kata Menlu Perancis Jean-Yves Le Drian pada konferensi pers penutupan forum di Paris itu, sebagaimana dikutip AP. ”Ini adalah strategi untuk pengembangan kemitraan antara Indo-Pasifik dan UE.”
Lewat pernyataan itu Le Drian menjawab pertanyaan tentang tak diundangnya menlu China dan AS yang notabene juga menjadi dua negara di Indo-Pasifik. Ia menekankan, tidak ada maksud untuk meremehkan atau meninggalkan China ataupun AS.
Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell mencatat ”dialog khusus” yang sudah berlangsung lama antara UE dan China. Ia menekankan analogi pentingnya kawasan Indo-Pasifik layaknya ”aorta” bagi Eropa dengan 40 persen perdagangan UE melewati perairan kawasan itu. ”Itulah mengapa kita membutuhkan kebebasan navigasi, sebuah arsitektur keamanan yang harus kita bangun bersama,” kata Borrell.
Pengakuan posisi RI
Pentingnya Indo-Pasifik dan posisi Indonesia di dalamnya juga ditekankan Trevelyan. Dalam wawancaranya dengan tiga media, termasuk harian Kompas, ia menyatakan komitmen terhadap visi Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka menjadi salah satu langkah sekaligus sarana Inggris menampilkan jati diri yang baru selepas keluar dari Uni Eropa.
Misi Inggris di Indo-Pasifik itu dilakukan dengan penguatan hubungan bilateral dan melalui forum multilateral. Inggris bertekad memperkuat kerja sama dengan negara seperti Indonesia dan melanjutkan ambisinya bergabung dalam Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP).
Trevelyan menyatakan, keberadaan dan posisi Indonesia menjadi bagian penting dari Indo-Pasifik itu. Salah satunya adalah kondisi RI sebagai negara dengan jumlah populasi keempat terbesar secara global sekaligus dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.
Inggris dan Indonesia sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara akan berkomitmen untuk meningkatkan hubungan perdagangan kedua negara, untuk lebih meningkatkan perdagangan bilateral yang saat ini nilainya mencapai 3,54 miliar dollar AS. ”Hal itu dapat dilihat langsung di Jakarta ini, misalnya, kami rasakan energinya,” katanya.
Retno menyadari, setiap negara memiliki cara berbeda dalam memandang Indo-Pasifik. Namun, berbagai cara pandang itu merupakan bukti adanya kepentingan yang menyatu dalam mempromosikan stabilitas sekaligus mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Di tengah dinamika itulah, menurut dia, semakin mendesak sifatnya untuk menyinergikan berbagai inisiatif tersebut.
Hanya melalui kerja sama, tegas Retno, Indo-Pasifik akan menjadi ”busur” perdamaian dan bukan permusuhan.