Hentikan Perang, Sepak Bola Sebarkan Cinta
Saat perdamaian terus disuarakan, Eropa Timur justru diguncang pertikaian bersenjata. Sepak bola pernah ”menghentikan” perang sekaligus menghibur mereka yang terkena dampaknya.
Serangan bersenjata Rusia ke Ukraina disebut sebagai yang paling buruk sejak Perang Dunia II pecah sekitar 80 tahun lalu. Dengan kekuatan yang jauh lebih besar, para ahli menyebut Rusia tidak akan kesulitan menjalankan aksinya. Saat bersamaan, Ukraina merasa ditinggalkan sendirian.
Akan tetapi, semua prediksi itu tidak luar biasa dalam sepak bola. Dukungan tetap disuarakan. Ujaran menghentikan perang meluncur deras menebarkan cinta.
Pemain sepak bola Ukraina menjadi yang paling vokal menyuarakan keresahannya. Bek Manchester City, Oleksandr Zinchenko, hingga Yaroslav Rakisty, pemain belakang Zenit St Petersburg, mendukung tanah airnya melalui media sosial.
Tidak ketinggalan di Indonesia. Pemain Ukraina yang membela Persipura Jayapura, Yevgen Bokhashvili, juga menyuarakan dukungan serupa untuk negaranya. Di luar dugaan, pemain tim nasional Rusia, Fedor Smolov, juga menuliskan ”Tidak untuk Perang!!!” di laman Instagram-nya.
Baca juga: Piala Afrika Jadi Panggung Pengharapan
Sikap menolak perang juga disuarakan di lapangan hijau. Berujung kartu kuning, penyerang Benfica, Roman Yaremchuk, mengenakan baju bergambar gambar trisula khas Ukraina. Dia memperlihatkannya setelah mencetak gol ke gawang Ajax Amsterdam di ajang Liga Champions, Kamis (24/2/2022).
Pemain Ukraina lainnya, Ruslan Malinovskyi, menggunakan kaus bertuliskan ”Tolak Perang di Ukraina”. Dia menunjukkannya setelah mencetak gol bagi Atalanta ke gawang Olympiakos di ajang Liga Eropa, Jumat (25/2/2022).
Dukungan bahkan tidak hanya diberikan bagi warga Ukraina. Dalam laga Liga Eropa, pemain Barcelona-Napoli mengangkat spanduk ”Stop War” menjelang laga, Jumat.
Di Liga Konferensi Eropa, pemain Slavia Praha mengenakan kaus dengan pesan kuat. ”Kami Berdiri di Sisi Ukraina”, begitu kira-kira bunyi pesan yang mengiringi kemenangan mereka atas Fenerbahce, Jumat.
Pendukung tim juga bersuara sepanjang Jumat. Suporter Real Betis membentangkan bendera mirip bendera Ukraina saat laga melawan Zenit St Petersburg di Spanyol. Hal serupa dilakukan pendukung Norwegia Bodo/Glimt yang mengangkat gambar bendera Ukraina dalam pertandingan melawan Glasgow Celtic.
Di Kroasia, negara yang pernah dicabik perang, fans Dinamo Zagreb memegang spanduk bertuliskan ”Dukungan untuk Rakyat Ukraina” dalam kemenangan kandang 1-0 atas Sevilla.
Suara-suara itu membuktikan, masih banyak orang berharap kemanusiaan lebih penting daripada kekuasaan. Meski tidak lantas menghentikan konflik, setidaknya harapan terbaik terus diperjuangkan sepak bola. Sejarah sudah membuktikannya.
Letakkan senjata
Dalam laporan BBC, sesaat setelah menang dari Sudan dan memastikan lolos Piala Dunia 2006, pemain tim nasional Pantai Gading memperlihatkan cinta itu. Di tengah kegembiraan, para pemain tidak lupa ada perang saudara di negaranya.
Saat itu, tahun 2005, harapan diapungkan di ruang ganti yang sempit di Stadion Al Merrikh, Sudan. Penyerang dan pemain bintang, Didier Drogba, membuat momen itu tidak terlupa.
”Pria dan wanita Pantai Gading,” katanya. ”Dari utara, selatan, tengah, dan barat, kami sudah membuktikan semua Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan lolos ke Piala Dunia.”
”Kami berjanji kepada Anda, perayaan itu akan menyatukan orang-orang hari ini. Kami mohon kita berlutut,” katanya. Permintaannya diikuti pemain lain.
”Satu-satunya negara di Afrika dengan begitu banyak kekayaan tidak boleh turun ke perang. Tolong letakkan senjata Anda dan adakan pemilihan. Kami ingin bersenang-senang, jadi berhentilah menembakkan senjatamu,” kata Drogba.
Pengaruh dari ajakan Drogba berdampak luas. Pihak yang bertikai mulai berpikir untuk menurunkan senjata.
Pada Piala Dunia 2006, Pantai Gading tersingkir di babak penyisihan grup, kalah dari Argentina dan Belanda sebelum mengalahkan Serbia Montenegro.
Namun, kisah perdamaian itu belum berhenti. Laga internasional Pantai Gading dan Madagaskar pada 3 Juni 2007 digelar di tempat tidak terduga. Lokasinya di Bouake, pusat konflik antara kelompok pemberontak dan pemerintah saat itu.
Jelang pertandingan, senjata tidak diacungkan ke udara. Semua memberikan energi bagi Pantai Gading untuk menang 4-0.
Puncaknya terjadi di awal 2007 saat pemerintah dan pemberontak menandatangani perjanjian damai.
”Melihat kedua pemimpin berdampingan untuk lagu kebangsaan sangat istimewa. Saat itu, saya merasa bahwa Pantai Gading dilahirkan kembali,” kata Drogba.
Perdamaian
Di tahun 2007 juga, giliran Stadion Gelora Bung Karno di Jakarta menjadi panggung mencari perdamaian selanjutnya. Kali ini pemeran utamanya adalah Irak dalam laga Piala Asia. Saat berlaga, negara ini tengah menghadapi ancaman pertikaian bersenjata.
Melansir Goal, setelah lama dalam dekapan rezim Saddam Hussein, Irak mencoba mengumpulkan serpihan kemenangan lewat Piala Asia. Bersama pelatih asal Brasil, Jorvan Vieira, dan penyerang muda Younis Mahmoud, mereka bersaing dengan tim kuat, seperti Jepang, Australia, dan Korea Selatan.
Akan tetapi, persiapan tidak mulus. Begitu banyak duri yang harus dilalui. Mereka harus berlatih di Amman, Jordania, karena Irak tidak memberikan tempat aman untuk berlatih (Kompas, 30 Juli 2007).
Pertikaian di Irak juga memakan korban. Adik ipar kiper Noor Sabri tewas. Kerabat gelandang Nashat Akram dibunuh. Sementara ibu tiri gelandang Hawar Mulla Mohammad meninggal dua hari sebelum perempat final.
Semua itu tidak menghalangi Irak melaju ke semifinal dan menang atas Korsel. Namun, kegembiraan itu terasa hampa. Saat bersamaan, aksi bom bunuh diri terjadi di Baghdad. Korbannya 30 pendukung yang sedang merayakan kemenangan itu.
Kami tahu harus memenangi pertandingan untuknya (korban) dan banyak orang lainnya.
”Kami tahu harus memenangi pertandingan untuknya (korban) dan banyak orang lainnya,” ujar Mahmoud.
Mahmoud mewujudkan janjinya. Dia mencetak satu gol yang membawa Irak jadi kampiun Asia. Sementara Sabri memenangi gelar kiper terbaik.
Gelandang Nashat Akram meluapkan kegembiraannya. ”Kesuksesan ini pesan untuk rakyat Irak bahwa kami yang berbeda (aliran) saja bisa bersatu. Saya berharap ini membawa perdamaian dan keselamatan di Irak,” ujarnya.
Mengutip Al Jazeera, Vieira, pelatih yang sukses menyatukan tim dari kalangan Sunni, Syiah, dan Kurdi, mengatakan, yang paling menggembirakan lewat kemenangan itu adalah membawa kebahagiaan untuk satu negara. Bukan hanya untuk tim, yang terpenting semuanya adalah untuk rakyat Irak yang saat itu seperti melupakan bahwa konflik masih terjadi di sekitar mereka.
Tabur asa
Piala Afrika 2021 yang baru saja usai juga menyimpan harapan lepas dari konflik bersenjata. Kali ini, Burkina Faso yang menabur asa lewat kejutan melaju hingga babak semifinal menantang Senegal. Ironisnya, hal itu terjadi saat kudeta militer terjadi di Burkina Faso.
Kepada AFP, Adama Guira mengatakan, penting untuk meraih kemenangan dalam setiap penyelenggaraan Piala Afrika. ”Kami semua sadar akan hal itu dan kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk memberi mereka kegembiraan itu.”
Akan tetapi, tidak ada kemenangan saat bertemu Senegal, yang belakangan menjadi juara Piala Afrika 2021. ”The Stallions”, julukan tim Burkina Faso, kalah 1-3.
Meski gagal di partai semifinal, Pelatih Burkina Faso Kamou Malo tidak berkecil hati. Sejak awal, dia tidak mengejar misi pribadi. Dia dan timnya mendedikasikan semuanya demi negara mereka yang sedang diuji kudeta.
”Kami ingin memberi orang-orang kami sedikit kebahagiaan. Selama ada kehidupan, pasti ada harapan,” katanya.
Para pemimpin negara-negara seharusnya belajar seni sepak bola paling hakiki. Menang kalah adalah hal biasa. Di atas semua itu, cinta dan kegembiraan bersama harus menjadi yang utama.
Baca juga: Menantikan Bahagia di Ujung Piala Afrika