Inflasi, Kejatuhan Pasar Saham AS, dan Upaya Penyelamatan oleh The Fed
Tingkat inflasi AS terbaru adalah yang tertinggi selama 40 tahun terakhir. Angka inflasi di Negeri Paman Sam tercatat menanjak hingga level 7,5 persen pada 2021. The Fed bisa menaikkan suku bunga di kisaran 1 persen.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
Tingkat inflasi yang tinggi masih menghantui ekonomi Amerika Serikat. Spekulasi pun muncul bahwa bank sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed, akan mempercepat laju kenaikan suku bunga. Dinamikanya tergambar, antara lain, di pasar keuangan. Bursa saham Wall Street mengalami tekanan 5,3 persen pada Januari 2022. Ini adalah penurunan terdalam bursa saham AS pada awal tahun sejak krisis keuangan global tahun 2008.
Tingkat inflasi AS terbaru adalah yang tertinggi selama 40 tahun terakhir. Angka inflasi di Negeri Paman Sam itu tercatat menanjak hingga ke level 7,5 persen pada 2021. Pandemi Covid-19 yang berkelindan dengan efek-efeknya bagi ekonomi dan kehidupan sosial warga menjadi penyebabnya. Rantai pasokan untuk cip komputer, pakaian, furnitur, dan barang-barang lainnya terganggu akibat pandemi. Pada saat yang sama, permintaan konsumen melonjak setelah sejumlah besar bantuan pemerintah mengalir ke perekonomian.
Sebelumnya, sejak Perang Dunia II, ada enam periode di mana inflasi—yang diukur dengan indeks harga konsumen (CPI)—AS berada di level 5 persen atau lebih tinggi dari 5 persen. Periode itu terjadi tahun 1946–1948, 1950–1951, 1969–1971, 1973–1982, dan tahun 2008. Kondisi tingkat inflasi tinggi yang paling relevan dengan kondisi saat ini adalah periode pasca-Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II berakhir pada tahun 1947, inflasi di AS melonjak hingga lebih dari 20 persen. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS, episode inflasi pascaperang yang tinggi kala itu disebabkan oleh penghapusan kontrol harga, kekurangan pasokan, dan permintaan yang tertahan sebelumnya.
Satu perbedaan substansial antara dinamika inflasi akibat Perang Dunia II dan saat ini adalah bahwa kontrol harga adalah alat kebijakan masa perang yang tidak diterapkan selama pandemi Covid-19. Catatan Gedung Putih pada Juli tahun lalu menyebutkan, kontrol harga tersebut mengurangi tingkat harga 30 persen di bawah level harga yang seharusnya. Maka, ketika batasan itu dicabut pada tahun 1946, harga naik secara signifikan. Harga pangan, misalnya, naik 13,8 persen sebulan setelah kebijakan itu dihentikan.
Menurut Benjamin Caplan (1956), episode inflasi tinggi setelah Perang Dunia II berakhir setelah dua tahun. Itu terjadi seiring rantai pasokan domestik dan asing menjadi normal dan permintaan konsumen mulai turun. Caplan juga mengamati bahwa investasi tetap, yang didorong oleh permintaan sektor swasta yang mulai menurun, juga berkontribusi pada penurunan harga. Bahkan, hal itu mengakibatkan kejatuhan ekonomi dalam sebuah periode resesi ringan di mana produk domestik bruto turun 1,5 persen.
Tekanan bagi The Fed
Balik ke kondisi saat-saat ini. Terlepas dari upaya untuk memulihkan rantai pasokan seiring meredanya situasi pandemi, kenaikan harga tetap tinggi dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi ini tidak semulus yang diproyeksikan sekaligus diharapkan sebelumnya. Hal itu pun menjadi tekanan bagi The Fed untuk segera menaikkan suku bunga guna menurunkan tingkat inflasi itu.
Kepala The Fed St Louis, James Bullard, awal pekan ini menyatakan bahwa The Fed perlu mempercepat laju kenaikan suku bunga untuk melawan inflasi. Menurut dia, hal itu dapat dilakukan dengan cara yang tidak mengacaukan kondisi pasar keuangan. ”Kredibilitas kami dipertaruhkan di sini,” kata Bullard, sebagaimana dikutip Reuters.
Setelah harga konsumen mengalami lonjakan terbesar dalam 40 tahun pada Januari, Bullard mengatakan, The Fed harus ”mempersiapkan” tindakannya dan menaikkan suku bunga acuan menjadi 1 persen pada Juli tahun ini. Bullard adalah anggota dalam tim komite yang menentukan kebijakan The Fed. Komentarnya juga menimbulkan gejolak di pasar keuangan pekan lalu setelah ia mengatakan perlunya The Fed menghapus stimulus yang diberikan bagi ekonomi AS selama pandemi Covid-19.
Dalam survei yang dirilis The Fed New York, awal pekan ini, ekspektasi inflasi konsumen tercatat turun untuk pertama kalinya sejak Oktober 2020. Data menunjukkan, ekspektasi rata-rata untuk inflasi setahun ke depan turun menjadi 5,8 persen pada Januari 2022 dari 6,0 persen pada Desember 2021. Level itu bagaimanapun tetap jauh di atas target 2 persen bank sentral dan jauh lebih tinggi dari yang diharapkan para pejabat untuk dicapai ketika rantai pasokan, yang disebabkan oleh pandemi, surut.
Bullard mengatakan, dia akan mencoba meyakinkan rekan-rekannya di bank sentral tentang perlunya bergerak cepat terkait kebijakan suku bunga. Namun, hal itu akan ditentukan pada keputusan Gubernur The Fed Jerome Powell. Pertemuan kebijakan The Fed berikutnya akan digelar pada 15-16 Maret mendatang.
Aksi jual aset
Kalangan ekonom mengatakan, bank sentral dapat saja membuat kenaikan agresif suku bunga sebesar setengah poin persentase untuk menandakan tekadnya menahan kenaikan harga. Namun, bisa pula peluang kenaikan suku bunga sebesar 1 persen dilakukan dalam empat kali kesempatan tahun ini.
Dinamika inflasi, arah kebijakan The Fed, dan perkembangan terbaru soal kemungkinan konflik terbuka atas Ukraina antara Rusia dan negara-negara Barat yang dikomando AS telah ikut membuat para pelaku pasar memilih melepas aset-aset mereka di pasar keuangan. Setelah mengalami kenaikan sepanjang tahun 2021, saham-saham teknologi, perusahaan kripto, hingga produsen kendaraan listrik melemah.
Boleh jadi aksi jual pada Januari itu persis sebagai sesuatu yang dibutuhkan, yakni membersihkan pasar saham dari ekses spekulatifnya. Namun, media The Economist mengingatkan, sistem keuangan baru Amerika masih sarat dengan risiko. Harga aset tinggi, salah satunya. Harga-harga saham AS pernah relatif ketinggian terhadap keuntungan jangka panjangnya beberapa saat sebelum anjlok pada tahun 1929 dan 2001.
Diingatkan pula bahwa kebijakan The Fed terkait suku bunga acuan menjadi faktor yang ikut menentukan pergerakan pasar saham. Sistem keuangan global memang telah lebih baik dibandingkan 2008, tetapi itu bukan berarti bahwa risiko-risiko di sektor keuangan yang bisa meluas telah hilang dalam beberapa waktu mendatang.