Harga Minyak Bisa Tembus 100 Dollar AS Per Barel akibat Ketegangan Ukraina
Jika kondisi di Ukraina semakin tidak menentu, bukan tidak mungkin harga minyak dapat menembus level 100 dollar AS per barel. Ancaman kenaikan harga minyak itu menambah kekhawatiran baru atas peningkatan inflasi.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
FRANKFURT, SENIN – Pasar saham global turun pada perdagangan awal pekan setelah Amerika Serikat memperingatkan kemungkinan Rusia dapat menyerang Ukraina sewaktu-waktu. Harga minyak naik ke level tertingginya dalam kurun waktu delapan tahun dan berpotensi menembus level 100 dollar AS per barel. Konflik besar dikhawatirkan akan memukul pasokan minyak secara global.
Pasar saham Frankfurt dan Paris masing-masing anjlok hingga 3,5 persen di awal perdagangan. Adapun bursa saham London dibuka turun 2,2 persen. Anjloknya pasar saham di kawasan Eropa itu mengikuti penurunan pasar saham Asia. Dinamika itu mencerminkan aksi jual tajam Wall Street pada akhir perdagangan pekan lalu.
”Pasar saham semakin terpukul karena semua orang bersiap untuk kemungkinan invasi Rusia ke Ukraina,” kata analis OANDA Craig Erlam. ”Ancaman itu telah terlihat selama beberapa pekan, tetapi peringatan beberapa hari terakhir memperjelas bahwa upaya diplomatik tidak berhasil dan sekarang ada risiko yang sangat nyata dari langkah dekat Kremlin.”
Erlam mengatakan, dalam menghadapi ketidakpastian, investor cenderung memilih membuang aset-aset berisiko, seperti ekuitas. Pasar saham utama Rusia turun lebih dari 4 persen awal pekan ini di saat nilai tukar rubel juga jatuh terhadap dollar AS. Situasi pasar itu merespons langkah Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menolak seruan Presiden AS Joe Biden dan sejumlah pemimpin lainnya untuk menarik pasukannya mundur dari dekat perbatasan Ukraina.
”Prospek perang jarang baik untuk pasar saham, dan pekan perdagangan baru telah dimulai dengan catatan buruk di seluruh Eropa dan Asia karena investor takut akan pertempuran fisik antara Rusia dan Ukraina,” kata analis AJ Bell Danni Hewson.
Pemerintah negara-negara di dunia telah meminta warganya untuk meninggalkan Ukraina. Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, memperingatkan pada pekan lalu bahwa invasi Rusia atas Ukraina dapat dimulai ”kapan saja”. Ia juga menyebut kemungkinan bahwa invasi Rusia ke Ukraina akan dimulai dengan ”serangan rudal dan serangan bom yang signifikan”. Kanselir Jerman Olaf Scholz awal pekan ini mengunjungi Kiev dan Moskwa untuk mencoba meredakan krisis di timur Ukraina itu.
Pemerintah Ukraina pada Minggu (13/2/2022) mendesak pembicaraan dengan Pemerintah Rusia dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) dalam kurun waktu 48 jam terkait ketegangan di Ukraina dan aneksasi Crimea oleh Rusia. Pelibatan OSCE dinilai penting oleh Kiev karena organisasi itu memiliki 57 negara partisipan di wilayah Eropa, Asia Tengah, dan Amerika Utara.
Juru bicara Presiden Rusia, Dmitry Peskov, tidak mengomentari permintaan Kiev soal pertemuan dengan Rusia dan OSCE itu. Ia memilih menegaskan kembali sikap Rusia bahwa Moskwa bebas untuk memindahkan pasukan melintasi wilayah negara itu. ”Saya ingin menekankan sekali lagi bahwa kita berbicara tentang pergerakan pasukan Rusia di wilayah Rusia,” kata Peskov kepada wartawan. Ia pun balik menuduh Ukraina yang justru meningkatkan ketegangan.
Krisis Ukraina terjadi di tengah peningkatan permintaan minyak mentah dunia. Peningkatan permintaan itu terjadi karena ekonomi dibuka kembali setelah pandemi Covid-19. Pada saat bersamaan, orang-orang juga mulai kembali ke kehidupan yang lebih normal di tengah pandemi. Posisi Rusia sebagai salah satu produsen utama minyak global pun ikut menentukan. Konflik yang melibatkan Rusia dikhawatirkan bisa memengaruhi pasokan minyak secara global.
Harga minyak Brent telah naik ke level 96,16 dollar AS per barel. Minyak mentah WTI juga menanjak ke level 94,94 dollar AS per barel. Jika kondisi di Ukraina semakin tidak menentu, bukan tidak mungkin minyak dapat menembus level 100 dollar AS per barel. Kenaikan harga minyak itu menambah kekhawatiran baru atas peningkatan inflasi.
”Rusia adalah pengekspor minyak mentah terbesar kedua di dunia dan pengekspor gas alam terbesar,” kata analis Commerzbank, Carsten Fritsch. ”Jika Rusia menginvasi Ukraina, harga minyak mentah dan gas alam diperkirakan akan melonjak secara signifikan. Dalam hal ini, Brent mungkin akan melebihi 100 dollar AS per barel.”
Eropa selama berbulan-bulan telah menderita akibat melonjaknya harga gas alam. Kondisi itu telah memicu meroketnya harga energi domestik dan memicu inflasi yang tinggi setelah beberapa dekade. ”Jika terjadi eskalasi Rusia-Ukraina, harga energi domestik dapat melonjak secara signifikan karena sebagian besar Eropa sangat bergantung pada pasokan minyak dan gas Rusia,” kata analis XTB Walid Koudmani.
”Karena harga energi telah menjadi kontributor utama pada rekor tingkat inflasi baru-baru ini, peningkatan lebih lanjut dapat meluas ke sebagian besar ekonomi dan berpotensi menghambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang sudah rapuh.” (AFP/REUTERS)