Ponsel dan Pena, Senjata Perempuan Melawan Taliban
Kaum perempuan Afghanistan mulai berani melawan Taliban yang represif, Mereka tidak ingin hidup dalam penindasan seperti pada pemerintahan Taliban periode 1996-2001.
Satu per satu, dengan cepat, hati-hati, dan merunduk, sejumlah perempuan Afghanistan melangkah ke sebuah blok apartemen di Kabul, Afghanistan, baru-baru ini. Mereka mengendap-endap untuk memulai perlawanan berisiko terhadap Taliban, penguasa baru Afghanistan.
Para perempuan itu menyusun rencana perlawanan terhadap Taliban. Mulanya, kelompok ini terdiri atas hanya 15 aktivis yang kebanyakan adalah perempuan muda berusia 20-an tahun yang sudah saling kenal. Jumlah anggota kelompok belakangan terus bertambah.
Musuh bersama mereka, Taliban, hari demi hari kian memperlihatkan karakter represif kepada perempuan. Semua capaian dan jejak pemberdayaan perempuan yang dibangun selama 20 tahun terakhir dihapus oleh Taliban. ”(Taliban) telah menghapus kami dari masyarakat dan politik,” kata Wahida Amiri (32), salah satu anggota kelompok perjuangan perempuan Afghanistan di Kabul, seperti dilaporkan AFP, Rabu (9/2/2022).
Baca juga: Perempuan Afghanistan Cemas Menanti Kejelasan Nasib di Bawah Kuasa Taliban
”Jika kami tidak mendapatkan hak kami, kami akan terkurung di rumah, di antara empat tembok. Ini tidak bisa kami toleransi,” ujar Hoda Khamosh (26), aktivis yang juga terlibat dalam pertemuan dengan delegasi Taliban dan para diplomat Barat di Oslo, Swedia, 23 Januari 2022.
Perempuan Afghanistan melawan karena tidak ingin pengalaman buruk selama pemerintahan represif Taliban periode 1996-2001 terulang lagi. ”Jika kami tidak berjuang untuk masa depan kami hari ini, sejarah Afghanistan akan terulang kembali,” kata Hoda yang bermimpi menjadi Presiden Afghanistan.
Sekarang, lusinan jaringan perempuan telah terbentuk dan bekerja secara rahasia untuk mengorganisasi aksi protes melawan Taliban. Mereka terdiri dari mantan pelajar, mantan guru, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan ibu rumah tangga.
Pada Januari lalu misalnya, lebih dari 40 orang perempuan datang ke sebuah acara di Kabul. Mereka mengatur berbagai strategi untuk “menjinakkan” Taliban dengan cara-cara yang santun dan bermartabat.
Baca juga: Bertaruh Nasib, Perempuan di Afghanistan
Perempuan-perempuan Afghanistan itu keluar dari rumahnya setelah mengalami pergolakan di dalam dirinya. "Saya bertanya pada diri sendiri mengapa tidak bergabung dengan mereka daripada berdiam di rumah, tertekan," kata seorang pengunjuk rasa berusia 20 tahun, merujuk aksi protes sejumlah perempuan lainnya.
Gerakan perlawanan penuh risiko itu sepenuhnya mereka sadari. Menantang Taliban berarti menempatkan diri dalam bahaya. Para perempuan itu bisa sewaktu-waktu ditangkap dan dijemput paksa oleh Taliban. Mereka juga bisa dijauhi oleh keluarga dan masyarakat di sekitarnya yang takut jika dikait-kaiktan dengan gerakan melawan Taliban.
Empat aktivis perempuan misalnya, dikabarkan telah ditangkap Taliban. Sebanyak dua di antaranya, Tamana Zaryabi Paryani dan Parwana Ibrahimkhel, yang ditangkap pada 19 Januari, sampai sekarang belum juga dilepas.
Taliban tidak mentoleransi perbedaan pendapat. Beberapa perempuan yang diwawancarai setelah penangkapan itu mengaku bahwa kelompok perempuan mengalami "ancaman tanpa henti". Kemudian, dua aktivis perempuan ditahan pada awal Februari, yakni Zahra Mohammadi dan Mursal Ayar.
Juru bicara pemerintah Taliban, Zabihullah Mujahid, membantah ada perempuan yang ditahan Taliban. Namun dia menegaskan, pihak berwenang memiliki hak "untuk menangkap dan menahan para pembangkang atau pelanggar hukum”. PBB dan Human Rights Watch meminta Taliban bertanggung jawab.
Pihak berwenang memiliki hak untuk menangkap dan menahan para pembangkang atau pelanggar hukum.
Ketika pertama kali memerintah Afghanistan antara tahun 1996 dan 2001, Taliban menerapkan berbagai kebijakan yang melanggar hak asasi manusia, terutama perempuan. Sebagian besar perempuan terkurung di rumah dan dilarang bekerja. Kelompok yang berseberangan dengan mereka ditangkap dan dipenjara.
Pasca Amerika Serikat dan NATO masuk ke Afghanistan dan mendongkel Taliban dari pemerintahan pada 2001, sejumlah perbaikan dilakukan oleh pemerintah yang baru. Posisi perempuan yang sebelumnya termarginalkan dipulihkan kembali.
Kini ketika Taliban kembali berkuasa, perempuan Afghanistan kembali ke masa penindasan. Meskipun menjanjikan aturan yang lebih lunak, Taliban pada kenyataannya tetap mengekang kebebasan perempuan.
Ada pemisahan yang dipaksakan di sebagian besar tempat kerja misalnya. Banyak perempuan juga takut keluar rumah lagi. Akibatnya, banyak pengusaha telah memecat semua staf perempuan.
Taliban juga melarang perempuan bekerja di sektor publik utama. Banyak sekolah menengah perempuan juga telah ditutup. Kurikulum universitas sedang direvisi untuk merefleksikan interpretasi garis keras Taliban tentang Islam.
Baca juga: Dunia Skeptis pada Janji Taliban untuk Perempuan
Bagi Shala, salah seorang perempuan aktivis, kembali menjadi wanita yang selalu terkurung di rumah merupakan trauma terbesarnya. Kebijakan Taliban yang bias jender telah menyebabkan dia kehilangan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil Afghanistan.
Kini, Shala membantu mengorganisasi kelompok perlawanan secara diam-diam. Dia kadang-kadang menyelinap keluar pada malam hari untuk melukis slogan-slogan grafiti, seperti ”Hidup Kesetaraan” di tembok-tembok kota Kabul. Aktivitas ini menyebabkan Shala dan keluarganya terancam. Namun dia mengatakan, suaminya mendukung apa yang dia lakukan.
“Saya ingin memberi contoh kepada para remaja putri, untuk menunjukkan kepada mereka, bahwa saya takkan menyerah untuk berjuang,” kata ibu empat anak, yang memakai nama samaran Shala itu.
Dalam sebuah kesempatan baru-baru ini, beberapa perempuan berkumpu mempersiapkan aksi protes mereka untuk hari berikutnya. Seorang aktivis merancang spanduk untuk menuntut keadilan. Satu tangan memegang ponsel, satu tangan lagi memegang pena. ”Inilah senjata utama kami,” kata aktivis yang tak mau disebut namanya itu.
Lewat ponsel dan pena, perempuan Afghanistan menyuarakan tuntutannya agar dunia mendukung mereka. Mereka mengekspresikan perlawanan terhadap Taliban dan menyalurkan aspirasinya lewat spanduk dan tulisan tangan di tembok-tembok agar dunia bisa membaca dan merasakan penderitaan mereka.
Baca juga: Taliban Sikat Unjuk Rasa dan Berangus Hak Perempuan
Kelompok inti aktivis sering menggunakan nomor ponsel khusus untuk berkoordinasi atau menggelar protes. Dari ponsel, mereka mengirim pesan kepada dunia dengan mengunggah foto atau video di media sosial. Nomor itu kemudian dibuang agar tak terlacak Taliban.
Saat terjadi protes, Taliban sering menghalangi liputan wartawan. Banyak aktivis perempuan menyiasati dengan mendokumentasikan sendiri aksi protes menggunakan ponsel berkualitas tinggi. Mereka mengambil foto beresolusi tinggi dan video untuk kemudian diunggah ke media sosial.
Dalam 20 tahun sejak Taliban terakhir memegang kekuasaan, satu generasi perempuan yang sebagian besar di kota-kota besar telah menitir karir sebagai pebisnis, belajar hingga jenjang doktor, dan menjadi pejabat pemerintah. Pembangkangan yang kini dilancarkan untuk mempertahankan semua capaian itu. Perlawanan perempuan ini tidak saja di Kabul melainkan juga terjadi di kota-kota lainnya seperti Bamiyan, Herat, dan Mazar-i-Sharif.
Dalam enam bulan sejak mengambil kembali kendali atas Afghanistan, Taliban telah menghapus semua simbol, tanda, gambar bekas pemerintahan sebelumnya. Bendera Republik Islam Afghanistan, dari pemerintahan sebelumnya, telah digantikan bendera Emirat Islam Afghanistan di bawah Taliban.
Mural pahlawan nasional dan tugu peringatan untuk menghormati korban perang dalam melawan Taliban dihapus dan dirobohkan. Slogan-slogan Taliban memenuhi dinding-dinding tembok kota. "Dengan pertolongan Allah, bangsa kita mengalahkan Amerika," bunyi salah satu slogan.
Baca juga: Perlawanan Perempuan Afghanistan dari Salon Kecantikan
Salon-salon kecantikan di Kabul telah mencopot poster perempuan cantik yang dirias dengan gaya rambut modis, yang selama ini dipajang di pintu-pintu salon. Ikonografi komandan anti-Taliban mediang Ahmad Shah Massoud yang menghiasi banyak tempat di Kabul telah ditutupi.
Hanya sedikit perempuan dan anak perempuan terlihat di pasar dan warung makan atau kafe. Menjelang malam tiba, jalanan sepi dan pos-poa pemeriksaan Taliban bermunculan.
Di puncak bukit yang menghadap Kabul, bendera hitam, hijau dan merah dari rezim sebelumnya telah diturunkan. Tiang bendera sekarang berdiri telanjang di tengah taman bersalju. (AFP/REUTERS)