Imperium-imperium yang Berpindah Pusat Pemerintahan
Pemindahan ibu kota negara atau pusat pemerintahan bukanlah fenomena baru dalam sejarah. Sebagian ibu kota itu masih jadi kota penting hari ini. Pemindahan ibu kota adalah bagian dari upaya dinasti bertahan hidup.
Andalusia, Baghdad, Damaskus, Istanbul, Kairo, Moskwa, Roma, dan St Petersburg sama-sama pernah menjadi ibu kota berbagai imperium besar selama berabad-abad. Negara memindahkan ibu kota karena berbagai alasan.
Pada awal November 2021, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi memerintahkan kegiatan pemerintahan mulai dipindahkan dari Kairo ke ibu kota baru. Hingga kini, nama ibu kota baru itu belum diumumkan. Untuk sementara, nama yang digunakan adalah Ibu Kota Pemerintahan Baru. Kawasan ini direncanakan bisa menampung hingga 6,5 juta orang berikut aneka fasilitasnya.
Baca juga : Melihat Pesona Ibu Kota Baru Mesir
Kala memerintahkan pembangunannya pada 2015, Sisi beralasan bahwa Kairo sudah terlalu padat dan tidak akan sanggup lagi menanggung beban sebagai pusat pemerintahan, bisnis, hingga kebudayaan. Dengan bantuan China, Sisi membangun kawasan 700 kilometer persegi—sedikit lebih luas dari DKI Jakarta—sebagai ibu kota baru Mesir.
China dipilih membantu Mesir membuat ibu kota baru. Negara kawasan Asia Timur itu memang mempunyai pengalaman panjang berpindah-pindah ibu kota. Sejarah China selama ribuan tahun mencatat lebih dari 10 kota pernah menjadi ibu kota negara itu. Selama beberapa dekade terakhir, China juga gencar membangun kota-kota baru.
Karena itu, mudah saja bagi China membangun kawasan baru untuk memindahkan ibu kota Mesir dari Kairo. Memang, Kairo, yang sejarahnya terlacak sejak 5.100 tahun silam, akan tetap ada. Di kota itu tersimpan berbagai sejarah, antara lain, karena pernah menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah, Fatimiyah, Kesultanan Mamluk, dan tentu saja Republik Mesir.
Kairo menyaksikan jatuh bangun berbagai dinasti yang memperebutkan status sebagai ahli waris sah Empat Khalifah (Khulafa’ al-Rasyidin). Perebutan yang dimulai sejak abad ke-7 sampai abad ke-15.
Perang perebutan kekuasaan terjadi karena semua merasa paling berhak menjadi pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan. Silsilah Dinasti Umayah, Abbasiyah, dan Fatimiyah memang sama-sama terlacak sebagai kerabat Nabi Muhammad SAW. Sementara Dinasti Ayubiyah dan Utsmani serta Kesultanan Mamluk sangat sulit dicari bukti kekerabatannya dengan Nabi Muhammad SAW.
Berebut kekuasaan
Dinasti-dinasti itu bergantian berkuasa. Bahkan, pada era tertentu, mereka berkuasa secara bersamaan di daerah yang berbeda. Selama 900 tahun, mereka terus saling berperang demi memperebutkan kekuasaan. Perebutan kekuasaan pada pertengahan abad ke-7 menghasilkan Dinasti Umayah yang secara resmi didirikan Muawiyah bin Sufyan, Gubernur Syam atau kini dikenal sebagai Suriah.
Baca juga : Napak Tilas Kairo dari Era Fatimid
Karena statusnya sebagai Gubernur Syam, Muawiyah awalnya memusatkan pemerintahan di Damaskus, kota yang sejarahnya terlacak sampai abad ke-15 sebelum Masehi (SM). Pada masa kekuasaan Muawiyah, untuk pertama kali ada pemindahan pusat kekuasaan dari Madinah ke Damaskus. Dinasti Umayah sempat memindahkan ibu kota selama beberapa tahun ke Harran di Turki selatan. Selanjutnya, seiring jatuhnya Umayah dan digantikan Dinasti Abbasiyah di Irak, kekuasaan Dinasti Umayah kemudian dipusatkan di Andalusia atau Cordova, Spanyol.
Dinasti Umayah pindah dari Timur Tengah ke Semenanjung Iberia, antara lain, karena kalah dalam perang melawan Dinasti Abbasiyah. Sebelum akhirnya dialihkan ke Kairo, pusat kekuasaan Abbasiyah juga berpindah-pindah dari Kufah, Anbar, Baghdad, hingga Raqqa.
Era pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad masih terus dikenang sebagai puncak peradaban Islam. Berbagai karya ilmiah Yunani kuno dan Romawi digali ulang oleh para akademisi yang disokong sepenuhnya oleh penguasa Abbasiyah. Para akademisi itu juga melakukan berbagai riset sendiri. Berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini dimungkinkan, antara lain, karena kerja-kerja para akademisi pada era Dinasti Abbasiyah.
Seperti halnya semua imperium, Dinasti Abbasiyah juga harus terus menghadapi berbagai upaya pemisahan dan perebutan wilayah. Salah satu serbuan paling serius dilancarkan Mongolia pada abad ke-13. Untuk melawan pasukan Kubilai Khan, pasukan Abbasiyah membentuk pasukan yang dikenal sebagai Mamluk.
Kala akhirnya bisa mengusir pasukan Mongol, para jenderal Mamluk memutuskan membentuk pemerintahan sendiri yang dipusatkan di Kairo. Apalagi, kala itu Baghdad sudah berantakan setelah dikuasai Mongol hampir setengah abad. Sebelum Kesultanan Mamluk berkuasa, Kairo sudah lebih dulu dijadikan ibu kota Dinasti Fatimiyah.
Baca juga : Jejak Tradisi Belajar di Al-Azhar
Peninggalan Dinasti Fatimiyah yang masih bertahan sampai sekarang adalah sebagai bangunan di kampus Universitas Al-Azhar. Ada pula Masjid Al- Hakim dan Dua Istana yang seluruhnya berada di Kairo.
Kerajaan lain
Orang-orang Arab menyebut Kairo sebagai Al-Qahirah atau penakluk. Pemerintahan yang berpusat di Kairo memang berusaha terus menaklukkan kerajaan lain. Fatimiyah sekaligus berhadapan dengan pasukan Umayah, Abbasiyah, dan Romawi Timur.
Baca juga : Suka Duka Pindah ke Ibu Kota Baru
Disebut Romawi Timur karena pusat kekuasaan digeser dari Roma ke arah timur. Kekacauan di Roma membuat Konstantin Agung memindahkan pusat pemerintahan Romawi ke Bizantium pada awal abad ke-4. Kaisar Kristen pertama di Romawi itu pun memilih mengganti nama Bizantium, kota yang sudah ada sejak 10 abad sebelum Masehi, menjadi Roma Constantinopolitana.
Konstantin lebih suka menyebut Nova Roma. Sementara khalayak menyebutnya dengan Konstantinopel. Dari kota di antara Laut Hitam dan Laut Tengah itu, Kerajaan Romawi Timur memerintah sampai runtuh pada abad ke-15.
Anak Konstantin Agung, Konstantin II, membangun Magna Ecclesia sebagai gereja resmi negara pada pertengahan abad ke-4. Konstantin II menilai, Hagia Irene yang dibangun Konstantin Agung terlalu kecil untuk jadi pusat gereja negara. Setelah bolak-balik renovasi karena berbagai alasan selama 172 tahun, Justinian I memerintahkan renovasi besar-besaran dan hasilnya adalah Haghia Sophia. Sampai abad ke-15, Haghia Sophia menjadi gereja terbesar sebelum akhirnya diubah Sultan Mahmud II menjadi masjid.
Pengubahan oleh Mahmud II terjadi setelah ia merebut Konstantinopel dari Romawi Timur yang semakin melemah. Mahmud II adalah salah satu keturunan Usman I, Adipati
Bithinia dan bawahan Kesultanan Seljuk pada akhir abad ke-13, yang merupakan pendiri Dinasti Utsmani. Selama 1,5 abad, ibu kota Utsmani berpindah dari Sogut, Bursa, dan Erdine.
Perpindahan terjadi karena wilayah kekuasaan dinasti itu semakin membesar. Puncaknya, pemerintahan Utsmani itu memusatkan kekuasaan di Konstantinopel. Seabad setelah mengalahkan Romawi Timur atau Bizantium, pasukan Utsmani mengalahkan tentara Kesultanan Mamluk yang berpusat di Kairo.
Bukan hanya Mamluk, Utsmani juga merambah sampai ke Eropa hingga beberapa abad kemudian. Kekuasaan Utsmani membentang sampai separuh Hongaria dan sebagian Ukraina di utara serta Mekkah di selatan.
Baca juga : Memilih Perang Besar daripada Janda Baik
Kampanye ke utara, antara lain, membuat Utsmani berhadapan dengan Kekaisaran Rusia. Kekaisaran itu adalah salah satu dari sedikit imperium yang tidak sering memindahkan ibu kota. Kekaisaran Rusia hanya mempunyai dua ibu kota, yakni Moskwa dan St Petersburg.
Kini, kedua kota tersebut sama-sama menjadi daerah penting di Federasi Rusia. Banyak bangunan berusia ratusan tahun masih digunakan sampai sekarang di kedua kota itu. (AFP/AP/REUTERS)