Ditekan Junta, Keluarga Putuskan Hubungan dengan Anak-anaknya
Banyak orangtua di Myanmar mengumumkan pemutusan hubungan dengan anak-anak mereka yang terlibat dalam gerakan oposisi, menentang junta Myanmar. Taktik lama Tatmadaw.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Tugasnya sebagai jurnalis membuat So Pyay Aung kini menjadi buronan junta militer Myanmar. Gambar bergerak yang diambilnya ketika aparat keamanan membubarkan protes warga sipil dengan tongkat kayu dan perisai, yang lantas disiarkan secara langsung di situs berita Suara Demokratik Burma tahun lalu, membuatnya diburu oleh Tatmadaw.
Menyadari bahaya yang mungkin menghampirinya, bersama istri dan putrinya yang masih bayi, dia berpindah dari satu kota ke kota lain di Myanmar, menghindari kejaran junta. Berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain bersama keluarganya, bukan sebuah hal yang mudah. Dia tak mungkin meninggalkan keluarganya yang kemungkinan bakal diciduk Tatmadaw dan kemudian dijebloskan ke jeruji besi.
Setelah berkali-kali berpindah tempat tinggal, akhirnya So Pyay Aung berhasil mencapai perbatasan Thailand. Ia menetap sementara waktu di sana, sambil tetap menjalankan kerja jurnalistiknya seoptimal mungkin.
Namun, bulan November lalu, Pyay Aung cukup terpukul ketika membaca sebuah pengumuman di surat kabar milik negara, Myanmar Alinn. Di sana, dia membaca pengumuman yang dibuat oleh sang ayah, Tin Aung Ko.
"Saya menyatakan tidak mengakui anak saya karena dia melakukan aktivitas yang tidak dapat dimaafkan yang bertentangan dengan kehendak orang tuanya. Saya tidak akan memiliki tanggung jawab apa pun terkait dengan dia," tulis Tin Aung Ko, sang ayah, dalam pengumuman di surat kabar tersebut.
"Ketika saya melihat surat kabar yang menyebutkan pemutusan hubungan dengan saya, saya merasa sedikit sedih. Tetapi saya mengerti bahwa orangtua saya takut akan tekanan. Mereka mungkin khawatir rumah mereka akan disita atau ditangkap,” kata Pyay Aung.
Ayahnya, Tin Aung Ko, menolak berkomentar.
Taktik Junta
Selama tiga bulan terakhir, setiap hari, enam atau tujuh keluarga di Myanmar memasang pemberitahuan di surat kabar milik negara yang berisi pemutusan hubungan dengan putra, putri, keponakan atau bahkan cucu mereka karena secara terbuka menentang kudeta militer Myanmar, setahun lalu.
Pengumuman seperti itu mulai muncul pada November tahun lalu setelah junta pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing mengumumkan akan mengambil alih properti orang-orang yang menentang mereka, termasuk orang-orang yang memberi perlindungan. Setelah pengumuman itu dikeluarkan, aparat keamanan merangsek rumah-rumah dan properti warga yang dicurigai terlibat langsung atau secara tidak langsung memberi perlindungan kepada penentangnya, yang sebagian besar adalah anak-anak muda.
Sejak aksi pembangkangan sipil (civil disobedient movement), 3 Februari 2021, dimulai, anak-anak muda ini terus bergerak. Beberapa memilih melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian terbesar memilih bergerak bersama rakyat Myanmar dengan cara gerilya. Diantara mereka ada yang memilih bergabung dengan kelompok bersenjata di bagian-bagian terpencil negara itu. Bersama dengan pemerintah sipil yang digulingkan junta, mereka membentuk Pasukan Pertahanan Rakyat.
Lin Lin Bo Bo, mantan penjual mobil adalah salah satunya. Perempuan berusia 26 tahun ini bergabung dalam gerakan yang digalang oleh aktivis sipil. Mereka menentang junta yang dipandang tak memiliki hak untuk berkuasa.
Sama seperti Pyay Aung, Bo Bo kini tidak lagi diakui oleh keluarganya. Orang tuanya, San Win dan Tin Tin So, melalui surat kabar terafiliasi junta The Mirror, menyatakan tidak mengakui Bo Bo sebagai bagian dari keluarganya lagi.
Ditemui di perbatasan dengan Thailand, Bo Bo menuturkan, sang ibu berbicara kepadanya bahwa mereka tidak mengakuinya setelah tentara datang ke rumah keluarga dan mencarinya. Bo Bo tentu saja sedih mendengar pernyataan sang ibu dan membaca pengumuman itu. Dia menangis.
"Rekan-rekan saya mencoba meyakinkan saya bahwa tidak dapat dihindari bagi keluarga untuk melakukan itu (ketika mereka) di bawah tekanan, namun aku sangat patah hati,” katanya.
Wai Hnin Pwint Thon, juru kampanye senior lembaga hak asasi manusia Myanmar, Campaign Burma, mengatakan, taktik seperti ini pernah digunakan oleh Tatmadaw saat kerusuhan terjadi tahun 2007 dan akhir 1980-an. Menolak atau tidak mengakui anggota keluarga secara terbuka memiliki sejarah panjang dalam budaya Myanmar.
"Anggota keluarga takut terlibat dalam kejahatan. Mereka tidak ingin ditangkap, dan mereka tidak ingin mendapat masalah,” kata Pwint Thon.
Akan tetapi, tindakan seperti itu tidak permanen. Keluarga yang terpecah karena tekanan junta militer, seperti yang tengah terjadi sekarang ini, bisa bersatu kembali. Kecuali, bila orang tua benar-benar memutuskan hubungannya dengan cara legal.
"Kecuali mereka melakukannya dengan benar dengan pengacara dan surat wasiat, maka hal-hal ini tidak benar-benar dihitung secara hukum," katanya.
Dua orang tua yang memasang pengumuman di surat kabar junta, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut menarik perhatian militer, mengatakan, pemberitahuan itu terutama dimaksudkan untuk mengirim pesan kepada pihak berwenang bahwa mereka seharusnya tidak bertanggung jawab atas tindakan anak-anak mereka. Akan tetapi, di sisi lain, mereka menghormati apa yang dilakukan oleh putra atau putri mereka, untuk bergabung dengan kelompok perlawanan.
"Putri saya melakukan apa yang dia yakini, tetapi saya yakin dia akan khawatir jika kami mendapat masalah. Aku tahu dia bisa mengerti apa yang telah kulakukan padanya,” kata salah satu Ibu.
Sepanjang tahun 2021, sekitar 1500-an warga, sebagian besar adalah demonstran, tewas di tangan aparat keamanan junta. Mereka, menurut data Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar (AAPP) juga menangkap hampir 12.000 orang. Junta mengatakan angka-angka itu dibesar-besarkan.
Juru bicara junta tidak menanggapi permintaan konfirmasi soal ini. Namun, mengomentari kemunculan pengumuman-pengumuman sejenis di surat kabar terafiliasi junta, dalam sebuah konferensi pers pada bulan November tahun lalu. Juru bicara militer Zaw Min Tun mengatakan bahwa orang-orang yang membuat pernyataan seperti itu di surat kabar masih dapat dituntut jika terbukti mendukung oposisi terhadap junta.
Pyang Aung, yang sempat khawatir kehidupan orang tuanya di bawah rezim militer, khawatir perpisahan dengan kedua orang tuanya bersifat permanen. Kekhawatiran tidak memiliki tempat tinggal juga menjadi salah satu yang dikhawatirkannya.
Sedangkan bagi Bo Bo, yang menangis saat membaca pengumuman, berharap revolusi segera berakhir. Meski ada “pemutusan” status keluarga, Bo Bo berharap dia tetap bisa pulang ke rumah kedua orang tuanya, termasuk membantu penghidupan mereka. (Reuters)