Raksasa Farmasi Bayar Denda pada Warga Indian karena Kecanduan Pereda Nyeri
Kasus kecanduan pereda nyeri dengan opioid telah merenggut lebih dari 500.000 nyawa selama 20 tahun terakhir. Kasus itu juga telah menjerat beberapa perusahaan terbesar di dunia kedokteran Amerika.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Sekelompok perusahaan farmasi dan distributornya sepakat membayar 590 juta dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 8,5 triliun guna menyelesaikan tuntutan hukum terkait dengan kecanduan opioid pada warga suku asli Amerika, suku Indian. Kesepakatan itu adalah kasus terbaru di tengah banjir litigasi yang ditimbulkan oleh krisis opioid di negara itu.
Opioid adalah obat pereda nyeri. Namun, obat ini cenderung membuat konsumennya kecanduan sehingga mengonsumsi berlebih. Kasus kecanduan opioid telah merenggut lebih dari 500.000 nyawa selama 20 tahun terakhir. Kasus itu juga telah menjerat beberapa perusahaan terbesar di dunia kedokteran AS. Perusahaan farmasi McKesson, AmerisourceBergen, dan Cardinal Health telah membuat kesepakatan terpisah dengan suku Cherokee pada September tahun lalu sebesar 75 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,08 triliun.
Merujuk dokumen yang diajukan di pengadilan federal Ohio pada Selasa (1/2/2022) oleh komite penggugat, perusahaan-perusahaan farmasi itu setuju untuk membayar 440 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,3 triliun lagi selama tujuh tahun kepada suku asli Amerika lainnya. Adapun grup perusahaan farmasi Johnson & Johnson, pada bagian terpisah, setuju untuk membayar 150 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,2 triliun selama dua tahun kepada semua suku Indian. Dari total nilai itu, Johnson & Johnson akan membayar 18 juta dollar AS atau sekitar Rp 258 miliar kepada suku Cherokee.
Dalam gugatannya, kelompok Komite Kepemimpinan Suku Penggugat menyatakan bahwa penduduk asli Amerika telah ”menderita beberapa konsekuensi terburuk dari epidemi opioid dari populasi mana pun di AS”. Kondisi itu termasuk pada tingkat overdosis opioid per kapita tertinggi dibandingkan dengan kelompok ras lain. ”Guna membayar biaya (akibat overdosis) yang meningkat ini, kelompok suku penggugat harus mengalihkan dana mereka yang minim dari kebutuhan lainnya. Ini menimbulkan beban keuangan yang parah pada kelompok suku penggugat,” kata komite itu.
Johnson & Johnson, McKesson, dan dua perusahaan lainnya dalam perjanjian itu—AmerisourceBergen dan Cardinal Health—sebelumnya menyetujui penyelesaian global senilai 26 miliar dollar AS atau sekitar Rp 372,9 triliun untuk kasus-kasus terkait opioid. Dalam pernyataannya pada Selasa, manajemen Johnson & Johnson mengungkapkan, uang senilai 150 juta dollar AS yang telah disetujui tersebut telah dipotong dari utangnya dalam penyelesaian kasus-kasus serupa secara global.
”Penyelesaian ini bukan merupakan pengakuan atas kewajiban atau kesalahan apa pun dan perusahaan akan terus membela diri dari litigasi apa pun yang tidak diselesaikan oleh perjanjian akhir,” kata perusahaan itu.
Sejauh ini belum jelas apakah perusahaan lain akan mengambil bagian mereka berdasarkan kesepakatan terbaru dari penyelesaian global. Robins Kaplan, firma hukum yang melakukan negosiasi atas nama penggugat, mengatakan, perjanjian itu masih harus disetujui oleh suku-suku Indian. ”Penyelesaian awal untuk suku-suku dalam litigasi opioid nasional ini adalah langkah pertama yang penting dalam memberikan beberapa ukuran keadilan kepada suku-suku dan komunitas di seluruh AS yang telah menjadi titik awal epidemi opioid,” kata Tara Sutton, seorang pengacara dalam kasus itu.
Douglas Yankton, Ketua Spirit Lake Nation—salah satu kelompok suku Indian yang berbasis di North Dakota—mengatakan, dana penyelesaian gugatan itu akan ”berguna untuk membantu mendanai layanan perawatan kasus-kasus opioid yang signifian, berdasarkan reservasi, dan sesuai dengan budaya setempat”. Steven Skikos, seorang pengacara yang mewakili suku-suku tersebut, mengatakan, kelompok itu mengejar klaim serupa dari produsen-produsen obat lain. ”Mudah-mudahan ini adalah dua (gugatan) yang pertama dari banyak gugatan lainnya,” katanya.
Hingga kini terdapat total 574 suku Indian yang diakui oleh Pemerintah AS. Seluruh suku itu secara sendiri-sendiri maupun gabungan akan dapat berpartisipasi dalam perjanjian, bahkan jika mereka belum mengajukan tuntutan hukum. Banyak tuntutan hukum mengenai krisis opioid berpusat pada Purdue Pharma. Purdue Pharma adalah produsen OxyContin, obat penghilang rasa sakit dengan resep dokter yang sangat adiktif yang disalahkan karena menyebabkan lonjakan kasus kecanduan pada konsumennya.
Seorang hakim pada Desember membatalkan rencana kebangkrutan perusahaan itu. Lewat putusannya, pemilik perusahaan diberi kekebalan dengan imbalan pembayaran 4,5 miliar dollar AS kepada para korban krisis opioid. Gelombang litigasi juga telah membanjiri apotek milik Walmart, Walgreens, dan CVS. Menurut juri pada November lalu, kedua apotek memikul tanggung jawab atas krisis opioid di dua wilayah di Ohio. (AFP)