Jika Ingin Perekonomian Tumbuh Pesat, Mantapkanlah Konektivitas (1)
Tidak akan ada modernisasi dan pertumbuhan pesat jika pembangunan infrastruktur hanya menunggu hingga pendapatan negara memadai.
Pernah seorang pebisnis Korea Selatan berkata begini. ”Kalian WNI ini sangat sabar ya. Jika berkendara di kemacetan, sabar saja dan tak terdengar bunyi klakson. Kalau ini terjadi di Seoul, para pengemudi langsung menerompeti.” Ada rasa senang dengan pujian ini dan relatif benar adanya.
Namun memang, sungguh sumpek warga DKI Jakarta menjalani kehidupan. Sehari-hari adalah kemacetan setidaknya di jam-jam tertentu. Efeknya, laju kendaraan terpaksa disumbat antara lain dengan plat ganjil genap untuk mengurai kemacetan. Namun, pada dasarnya hal ini adalah hambatan pada mobilitas.
Hal itu karena DKI Jakarta memang bukan ibu kota yang hebat dalam hal jaringan transportasi (getting around). Pada 29 September 2021 situs majalah Forbes mengurutkan 37 kota di dunia soal metropolitan terbaik, DKI Jakarta tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi, Tokyo, Beijing, Hong Kong, Bangkok, dan Singapura masuk di dalam daftar tersebut.
Demikian juga di akhir pekan, kala warga DKI Jakarta ingin menikmati alam pantai di Anyer, Puncak Bogor, atau Bandung, kondisi jalan macet. Pilihan lokasi untuk penyegaran (refreshing) di akhir pekan juga hanya itu-itu saja. Sebab, tidak ada ketersambungan yang mulus dengan sejumlah daerah di luar tiga tujuan wisata itu.
Berkhayal, andai saja bisa melaju mulus di akhir pekan hingga ke Kalianda di Lampung lewat jembatan Selat Sunda yang tak kunjung terwujud. Berkhayal, andai Banten dengan banyak lokasi-lokasi indah yang belum terjamah bisa dicapai dengan kemulusan jalan raya. Berkhayal, jika high-net-worth individual, warga superkaya yang berbasis di Jakarta terangsang berseliweran di Banten ketimbang naik jet pribadi ke Makao, Genting Higlands dan kawasan jet set lainnya di kawasan Asia.
Namun apa daya, hal yang terjadi adalah sumbat botol (bottleneck). Ini berimplikasi menghambat potensi perekonomian dengan segala bentuknya, seperti dituliskan dalam sebuah artikel terbitan Bank for International Settlement (BIS) berjudul ”Bottlenecks: causes and macroeconomic implications” edisi 11 November 2021.
Menaikkan daya asing
Mobilitas merupakan salah satu katalisator penting bagi pembangunan ekonomi. Urusan mobilitas ini tidak hanya soal kelancaran untuk wisata lokal. Mobilitas menaikkan produktivitas yang dikenal dengan sebutan total factor productivity (TPF). Mobilitas memudahkan pergerakan manusia, aliran barang danjasa dan bisa mencegah kenaikan inflasi, demikian lanjutan laporan BIS tersebut.
Kiranya, pemerintah pusat terutama pemerintah daerah, memiliki pengetahuan yang semakin kuat tentang efek ganda dari mobilitas. Laporan Bank Dunia berjudul ”The 1994 World Development Report Infrastructure for Development” menyimpulkan bahwa investasi pada infrastruktur menjadi penyebab penting mengapa pertumbuhan Asia Timur jauh lebih cepat daripada sub-Sahara Afrika.
Mobilitas menaikkan produktivitas yang dikenal dengan sebutan total factor productivity (TPF).
”Studi lain menyebutkan bahwa keberadaan infrastruktur menjadi penyebab output para pekerja di Asia Timur lebih tinggi sepertiga dari output para pekerja di Amerika Latin (Calderon dan Serven 2004). Daya saing Asia dalam perdagangan internasional semakin meningkat karena jaringan produksi yang canggih. Hal ini didorong koneksi infrastruktur yang cepat, andal, mulus, serta efisien,” demikian isi laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2009 berjudul ”Infrastucture Seamless Asia”. Fakta sejarah juga memperlihatkan AS mengalami kemajuan besar dalam perekonomian karena keberadaan jaringan kereta api (The Role of the Railroads in United States Economic Growth, Paul H Cootner, The Journal of Economic History, Dec, 1963).
Belum kolosal
Meski sudah terbukti bahwa infrastruktur adalah jalan menuju kemakmuran, Asia belum tiba pada tahapan urgen tentang pentingnya infrastruktur secara kolosal. Kawasan belum tiba pada pemikiran bahwa konektivitas Asia akan semakin menggelindingkan pembangunan dan pertumbuhan di kawasan.
Untunglah ada satu kejadian dahsyat sekaligus memerihkan. Asia didera hantaman krisis ekonomi Asia 1997-1998. Pinjaman luar negeri saat itu banyak dialokasikan untuk berspekulasi di bisnis properti. Investasi itu berubah menjadi racun ekonomi. Utang tak terbayar dan properti tak terjual. Ada pelarian modal, yang menyebabkan Asia ”dikuasai IMF” dengan resep yang salah pula.
Indonesia termasuk yang paling parah saat krisis itu kontraksi ekonomi 15 persen. Di banyak negara Asia ketika itu sibuk dengan pengeluaran untuk jaring pengaman sosial. Kejadian itu turut menyadarkan Asia tentang perlunya mobilitas. Asia tersadar tentang pentingnya alokasi investasi yang terarah dan pentingnya infrastruktur.
Krisis ekonomi Barat mengentak
Kemudian muncul krisis berikutnya, krisis besar perekonomian Eropa pada 2008 dan AS pada 2009. Efek terbesar adalah terbantingnya pasar bagi produk-produk Asia. Hal ini juga menyadarkan Asia tentang pentingnya penciptaan pasar di kawasannya sendiri. Krisis Barat itu membuat Asia semakin tersadar bahwa status bagus sebagai basis manufaktur global dengan tujuan pemasaran di Barat, suatu waktu akan sangat memilukan.
Asia kemudian semakin melihat dirinya sebagai pasar besar dan juga basis bagi pertumbuhan ekonomi global, bukan lagi sebagai basis manufaktur global. China memimpin Asia tentang pemikiran ini. Akan tetapi untuk menjadikan kawasannya sebagai basis pertumbuhan, Asia harus memiliki konektivitas tinggi. Inilah yang semakin mengkristalkan pemikiran Asia tentang pentingnya hakikat infrastruktur.
Nilai investasi berantakan
Pukulan lain adalah kekayaan Asia sekian lama diinvestasikan di negara Barat dalam bentuk saham dan obligasi terbitan pemerintah Barat dengan keuntungan rendah. Banyak tabungan Asia juga ditanamkan pada sektor-sektor non-produktif, seperti real estat dan produk-produk spekulatif (Asia Infrastructure for Asian Connectivity, Asian Development Bank Institute and Asian Development Bank 2012). Hal itu menyebabkan kerugian ganda. Investasi portofolio asal Asia di Barat juga merugi.
Kejadian itu mendorong Asia untuk berpikir tentang pembiayaan infrastruktur di Asia berbasis kekayaannya sendiri. Hanya saja kekayaan Asia belum dialokasikan ke pembangunan infrastrukturnya sendiri secara signifikan. Kekayaan Asia masih tetap ditanamkan di pasar uang dan pasar modal di New York and London. ”Kekayaan Asia belum dimanfaatkan untuk menaikkan produktivitas,” seperti dituliskan oleh Shiro Armstrong, ANU (Indonesia connects APEC to regional ambitions | East Asia Forum).
Meski demikian, investasi pada infrastruktur di Asia mulai semakin tergerak. Fakta-fakta lain berdasarkan temuan ADB, negara-negara di Asia dengan investasi yang signifikan dalam infrastruktur pulih lebih cepat dari kejatuhan ekonomi akibat krisis 1997 itu. Infrastruktur memainkan peran kunci dalam mendorong dan mempertahankan kecepatan pertumbuhan ekonomi. ADB juga menyarankan, Asia perlu lebih banyak menempatkan dana untuk mendorong peningkatan permintaan regional.
Infrastruktur memainkan peran kunci dalam mendorong dan mempertahankan kecepatan pertumbuhan ekonomi.
Studi ADB di beberapa negara berkembang Asia juga menggambarkan bagaimana infrastruktur, terutama pembangunan jalan dan listrik, turut membantu pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi, karena dorongan infrastruktur, dengan sendirinya memang berperan menurunkan kemiskinan, apalagi tingkat pertumbuhannya sangat tinggi. China telah menyatakan bahwa kemiskinan telah terkikis. Itu buah dari pertumbuhan tinggi.
China termasuk yang paling sadar tentang efek dahsyat infrastruktur. China turut mengembangkan infrastruktur di luar wilayahnya. Temuan lain menunjukkan, hasil dari visi dan aksi China soal infrastruktur di Kawasan Asia memberikan hasil. Perdagangan China dengan lima negara di Asia Tengah naik dari 460 juta dollar AS pada 1992, menjadi 40 miliar dollar AS pada 30 tahun kemudian. Ada kenaikan perdagangan 100 kali selama periode itu, salah satunya karena konektivitas. Pejabat Kementerian Perdagangan China, Wang Wentao, menyatakan itu saat berbicara secara virtual dengan perwakilan dari Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan (The Global Times, 18 Januari).
Mengapa infrastruktur?
Mengapa fokus pada infrastruktur. Profesor David M Lampton, peneliti senior dari Johns Hopkins University, menjelaskan tentang itu pada diskusi virtual 11 Agustus 2011. Dia mengatakan, AS dan Bank Dunia cukup larut dalam waktu lama, bahwa pembangunan infrastruktur bisa membebani satu negara.
Satu negara, misalnya, bisa terjebak utang besar karena memobilisasi dana besar-besaran untuk pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, utang ini membebani jika pendapatan negara tidak memadai. Masalah lain lagi, kemampuan administratif sebuah negara yang memobilisasi pembangunan infrastruktur besar-besaran juga tidak memadai.
Hanya saja, Barat sebenarnya pernah juga melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Marshall Plan, mengambil nama Menlu AS George C Marshall, dicanangkan untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II.
Menurut Prof Lampton, China dengan sistem politik dan paradigmanya, meyakini bahwa jalan menuju pertumbuhan dan modernisasi adalah lewat infrastruktur. ”Tidak akan ada modernisasi dan pertumbuhan pesat jika pembangunan infrastruktur hanya menunggu hingga pendapatan negara memadai,” kata Lampton.
Prinsip China ini menggelinding hingga sekarang.
Baca juga:
China Melanjutkan Tradisi Pembangunan Ekonomi di Asia (2)
Yang Dibutuhkan untuk Menggantikan China sebagai Basis Produksi