China Berupaya Kuat Menancapkan Kuku Militernya di Indo-Pasifik
China berupaya memperkuat kehadiran militernya di kawasan Indo-Pasfik, di mana Amerika menjadi rival utamanya.
Dalam foto yang dirilis pada 17 Desember 2019 oleh Xinhua News Agency tampak kapal induk Shandong tengah bersandar di Pangkalan Angkatan Laut Sanya yang berada di Provinsi Hainan. (Li Gang/Xinhua via AP, File)
Angkatan Laut China saat ini dilaporkan sedang bersiap meluncurkan kapal induk ketiga dalam beberapa bulan ke depan. Citra satelit terbaru dari galangan kapal Jiangnan, Shanghai, tempat kapal itu dibangun sejak sekitar 10 tahun silam, mengungkapkan pemasangan komponen eksternal utama hampir rampung.
Citra satelit itu hasil rekaman pada Oktober 2021 dan diperoleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC, November lalu. Menurut CSIS, kapal induk ketiga China itu dapat menandingi kapal induk raksasa Amerika, USS Gerald Ford.
Situs CSIS menyebutkan, kapal Tipe 003 tersebut adalah kapal induk generasi kedua Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA). Kapal induk terbaru itu merupakan kapal induk China pertama yang memakai sistem catapult assisted take-off but arrested recovery (CATOBAR) dan sistem peluncur elektromagnetik.
Penggunaan CATOBAR dan sistem peluncur atau ketapel elektromagnetik itu menunjukkan lompatan besar AL China. Dua kapal induk China terdahulu, Liaoning dan Shandong, mengandalkan sistem lepas landas gaya lompat ski yang kurang canggih.
Menurut pakar angkatan laut yang berbasis di Beijing, Li Jie, Tipe 003 juga dilengkapi dengan ketapel elektromagnetik paling canggih di dunia. Dengan sistem ini, kapal induk ketiga China ini dapat meluncurkan jet J-15 yang juga dikenal sebagai ”Flying Shark”.
CATOBAR membantu untuk meluncurkan pesawat dengan muatan yang lebih berat dan bahan bakar yang lebih banyak serta pesawat besar yang memiliki rasio dorong-berat (thrust-to-weight) rendah. Dengan fasilitas yang semakin maju itu, kapal induk ketiga China nantinya dapat menandingi supercarrier Angkatan Laut Amerika Serikat (AS), USS Gerald Ford. Kapal induk raksasa AS dengan panjang 332,9meter itu telah memiliki pembangkit nuklir jenis baru dan menampung lebih dari 75 jet.
Berbeda dari USS Gerald Ford, ketiga kapal induk China itu tidak dilengkapi pembangkit nuklir dan kapasitas tampung pesawat masih di bawah USS Gerald Ford. Pengembangan kapal induk keempat, yang dirancang bertenaga nuklir, sedang berlangsung.
China juga telah menambah armada kapal amfibinya saat memulai program modernisasi Angkatan Laut untuk meningkatkan kemampuannya melakukan operasi secara global. Platform baru China ini termasuk kapal amfibi Yuzhao Tipe 071 dan kapal serbu amfibi Tipe 075 kelas Yushen.
”Rencana Beijing dalam jangka pendek hingga menengah adalah untuk terus membangun armada dengan kapal-kapal baru yang lebih besar,” kata Bryan Clark, Direktur Center for Defense Concepts and Technology di Hudson Institute, AS.
Menurut South China Morning Post (28/12/2021), China sedang membangun lebih banyak kapal perang daripada yang dibutuhkan. Sebagian kapal untuk menopang operasi di dekat pantainya. Sebagian lain dikirim ke perairan internasional untuk mengawal kepentingan China di luar negeri, baik militer, ekonomi, perdagangan, maupun misi kemanusiaan.
Salah satu kepentingan besar Beijing ialah proyek strategi pembangunan global yang dikenal dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI). BRI melibatkan pembangunan infrastruktur dan investasi skala besar di sekitar 152 negara dan organisasi internasional di Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Selatan.
Tumpuan
China mengharapkan semua layanan logistik krusial untuk operasional kapal AL-nya dan kepentingan strategisnya dapat terpenuhi di pangkalan-pangakalan mereka di luar negeri. Layanan logistik itu untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, pasokan makanan, istirahat personel, dan reorganisasi pasukan.
Sejalan dengan meluasnya kepentingan luar negeri Beijing, entah dalam bingkai kerja sama bilateral atau multilateral, serta kepentingan strategis lainnya, China membutuhkan pangkalan baru. Atas alasan-alasan itu kita dapat memahami mengapa China mengincar sejumlah negara pesisir di Indo-Pasifik. China berpikir antisipatif tentang masa depan operasi kapal perangnya; China membutuhkan pangkalan untuk layanan logistik.
Begitulah yang terjadi ketika China membangun pangkalan pertama AL-nya di Djibouti, Afrika Timur. Pangkalan yang dibuka pada 1 Agustus 2017 itu, menurut China, untuk mendukung logistik kapal-kapal AL-nya yang menjalankan operasi antibajak laut di lepas pantai timur Afrika.
China telah menyelesaikan pembangunan dermaga yang cukup besar di Djibouti. Dermaga itu dirancang untuk mampu disandari oleh semua jenis kapal induk China. Dermaga itu juga memungkinkan AL China memproyeksikan kekuatannya di luar wilayah operasi tradisional di Laut China Selatan dan Laut China Timur.
China dilaporkan sedang berupaya membangun pangkalan baru di beberapa negara lain di Indo-Pasifik, di antaranya di Kamboja, Kiribati di Samudra Pasifik, dan Tanzania di Afrika. Setelah berhasil di Djibouti, AL China memproyeksikan kekuatan yang lebih besar lagi di kawasan Indo-Pasifik.
Menurut laporan Foreign Policy, 7 Juli 2021, China mengincar bekas bandara kecil di sebuah pulau karang di wilayah Kiribati. Dengan kedok pembangunan ekonomi dan rehabilitasi akibat perubahan iklim, landasan tepi pantai itu diproyeksikan menjadi pangkalan kapal induk China.
Kiribati terletak tak jauh dari Honolulu, Hawaii, yang menjadi markas besar Armada Pasifik AS. China memiliki kedutaan besar di Kiribati. Sedangkan AS tidak memiliki konsulat atau fasilitas diplomatik di negara itu. Kedutaan Besar AS terdekat ada di Fiji, tapi diplomatnya rutin ke Kiribati.
Sementara itu, santer terdengar kabar, China telah memulai langkah maju di Kamboja. Beijing disinyalir telah memulai pembangunan di Pangkalan AL Ream, Kamboja, yang berada di Teluk Thailand. Sejak 2020, Pemerintah AS mengonfirmasi minat China untuk mendirikan pos militer di Ream.
Gambar satelit telah mengungkapkan pembangunan yang cepat di Ream, termasuk pembongkaran beberapa bangunan yang didanai AS. Pembongkaran terjadi sebelum Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman ke Phnom Penh, Juni 2021.
Setelah itu, Phnom Penh menolak memberikan akses kepada atase pertahanan AS di Kamboja untuk masuk ke Ream. Penolakan itu semakin memperkuat dugaan AS bahwa memang ada pembangunan yang dilakukan secara diam-diam di Ream, yang kemungkinan terkait dengan kepentingan Beijing.
Selain Kamboja, Washington juga telah lama memandang Uni Emirat Arab (UEA) dan Tanzania sebagai negara yang mungkin menjadi target yang dibidik Beijing. Sebuah pangkalan di UEA akan secara signifikan memperluas jejak maritim PLA di dalam dan di sekitar titik-titik penting maritim, termasuk Selat Hormuz dan pintu masuk selatan ke Laut Merah.
Pangkalan di UEA juga bisa menjadi bagian dari rantai lokasi potensial militer China di Samudra Hindia, termasuk di Pakistan dan Myanmar. Meskipun UEA secara tradisional lebih dekat dengan AS daripada China, Abu Dhabi sangat ingin memperdalam hubungannya dengan Beijing.
Kembali ke 2018, misalnya, UEA dan China menandatangani kesepakatan 300 juta dollar AS untuk meningkatkan terminal COSCO Shipping Ports Abu Dhabi. Terminal itu dekat dengan Pangkalan Udara Al Dhafra, di mana 3.500-4.000 personel militer AS berada dan dekat Jebel Ali, pelabuhan di Dubai yang paling banyak dikunjungi kapal AL Amerika dari lokasi mana pun di luar AS.
Sejak itu, UEA memilih Huawei sebagai mitra peluncuran 5G meski ada keberatan dari AS. Tak hanya itu, UEA juga terbuka terhadap Beijing melalui vaksin. UEA disebutkan membeli ratusan ribu dosis vaksin Sinopharm dari China.
Meskipun demikian, belum ada yang pasti dari semua kemungkinan yang dipandang Washington sebagai negara potensial untuk menjadi pangkalan AL China. Washington melihat pengembangan besar-besaran armada laut China dan langkah Beijing mengincar negara-negara di kawasan Indo-Pasifik untuk jadi pangkalan AL China menandakan niat Beijing mengembangkan kemampuan perang. Setidaknya Beijing telah membuat kemajuan serius dalam mengamankan bakal pangkalan-pangkalan baru di Kamboja, Tanzania, Kiribati, dan lainnya.
China telah memulai upaya modernisasi selama bertahun-tahun untuk kepentingan militernya. Presiden China Xi Jinping telah berjanji untuk menyelesaikan modernisasi militer pada tahun 2035, dengan fokus pada peningkatan Angkatan Laut China. Apakah Washington dapat menahan laju China, tak ada yang tahu. (AFP/REUTERS/AP)