Korban Tewas 225 Orang, Kerusuhan di Kazakhstan Sisakan Tanda Tanya
Situasi di Kazakhstan mulai kembali stabil. Akan tetapi, rakyat di negara itu bertanya-tanya: apa yang sebenarnya telah terjadi di negara mereka?
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Almaty, kota terbesar di Kazakhstan, sudah tenang. Pasukan keamanan yang dipanggil dari Rusia sudah angkat kaki. Tidak ada lagi ledakan maupun kebakaran. Orang-orang sudah pulang ke rumah masing-masing. Akan tetapi, ada rasa sedih dan penasaran yang menggantung di atmosfer pusat ekonomi Kazakhstan tersebut.
Pada hari Sabtu (15/1/2022), Kejaksaan Agung Kazakhstan mengeluarkan keterangan bahwa ada 225 orang yang tewas akibat kerusuhan yang berlangsung sejak tanggal 4 Januari tersebut. Sebanyak 19 korban jiwa merupakan aparat penegak hukum dari kepolisian maupun militer. Di samping itu, ada 2.600 orang luka-luka dan 12.000 orang ditahan oleh polisi.
Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev kemudian turut mengeluarkan pernyataan. “Korban tewas ini termasuk bandit dan teroris internasional yang hendak melakukan makar,” tuturnya.
Pegiat hak asasi manusia Galym Ageleuov berpendapat, adanya terorisme dan makar ini menjadi dalih bagi Tokayev untuk meminta bantuan pasukan Pakta Keamanan Kolektif. Ini organisasi militer kerja sama antara Rusia dan negara-negara bekas Uni Soviet. Tak berapa lama kemudian, pasukan yang dilepas dari Rusia ini pun memasuki Kazakhstan untuk membantu aparat penegak hukum lokal mengendalikan situasi.
Selepas keterangan dari pemerintah itu, publik malah semakin bingung. Hal ini diperparah belum berfungsinya internet sehingga berbagai propaganda dan teori konspirasi santer beredar. Media arus utama yang dikuasai pemerintah bukannya memberi pencerahan, malah terus mendorong narasi mengenai terorisme ini.
Di depan berbagai rumah sakit, anggota keluarga serta kerabat para korban tewas menunggu untuk diizinkan menjemput jenazah. Para petugas keamanan yang berbadan tegap menyuruh mereka mengantre dan memperingatkan agar tidak ada seorang pun membuka mulut kepada wartawan.
Salah seorang dari anggota keluarga korban tewas, Dauren Bitkembayev (30), menolak menelan bulat-bulat ucapan pemerintah. Kedua orangtuanya, pasangan lansia pensiunan pegawai kantor pos dan pensiunan guru, tewas dalam kerusuhan. Mobil mereka terjebak kekacauan dan setelah itu dibakar serta ditembaki. Menurut informasi yang beredar, pelaku penembakan adalah tentara.
“Bagaimana mungkin tentara melihat sepasang kakek dan nenek, lalu menyimpulkan mereka adalah teroris internasional sehingga harus ditembaki? Ada yang tidak beres dalam penanganan kerusuhan ini,” kata Bitkembayev. Walaupun demikian, ia meragukan kebenaran akan terungkap karena pemerintah pasti menguburnya dalam-dalam.
Para pengamat politik negara terbesar di Asia Tengah itu memang belum menemukan fakta yang muncul ke permukaan. Akan tetapi, ada satu pola yang disepakati oleh mereka semua, yaitu persaingan kekuasaan antara Tokayev dengan pendahulunya, Nursultan Nazarbayev.
Nazarbayev merupakan presiden Kazakhstan dari tahun 1989 hingga tahun 2019. Bahkan, ibu kota Astana diganti namanya menjadi Nursultan. Ketika melepaskan jabatan tersebut untuk pensiun, ia secara langsung menunjuk Tokayev sebagai pengganti menjadi kepala negara.
Meskipun sudah turun takhta, pengaruh Nazarbayev dan keluarganya masih sangat terasa. Menantunya, Kairat Sharipbayev (58) dan Dimash Dosanov (40) menjabat sebagai pemimpin di badan usaha milik negara. Sharipbayev di perusahaan gas nasional Qazaqgaz dan Dosanov di perusahaan logistik perminyakan KazTransOil. Keluarga ini dituduh mengendalikan harga dan distribusi bahan bakar di negara itu.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan pelambatan ekonomi di Kazakhstan. Pada saat yang sama, harga bahan bakar naik. Warga sangat mengandalkan bahan bakar elpiji untuk kendaraan mereka. Bahkan, elpiji dikenal dengan istilah “bensinnya orang miskin”. Selama pandemi, harga elpiji naik dari 60 tenge menjadi 120 tenge atau sekitar Rp 3.900 per liter.
Tokayev segera meminta pemerintah daerah menurunkan harga menjadi 60 tenge per liter, demikian pula dengan komoditas kebutuhan pokok lainnya. Akan tetapi, warga sudah kadung marah dengan pemerintah. Mereka berunjuk rasa memprotes kenaikan harga bahan bakar dan bereskalasi menjadi protes antipemerintah.
Di saat itu, Tokayev mengeluarkan tuduhan bahwa ini semua gara-gara Dinasti Nazarbayev. Perilaku politik keluarga ini membuat kesenjangan ekonomi di Kazakhstan. Uang dari hasil penjualan kekayaan mineral yang berlimpah tidak diterima rakyat. Sharipbayev dan Dosanov kemudian dicopot dari perusahaan masing-masing dengan alasan keputusan dewan direksi. Adapun Nazarbayev tidak terlihat batang hidungnya sejak akhir tahun lalu.
Apapun persaingan politik dan perebutan kekuasaan di Kazakhstan kemungkinan akan terus menjadi misteri. Pada saat yang sama, rakyat yang berduka terampas hak untuk mengetahui kebenaran mengenai peristiwa yang menghilangkan nyawa anggota keluarga mereka. (AFP/REUTERS)