Mode ”Meta”: Dirancang di Dunia Maya, Dijual di Dunia Nyata
Jika tak yakin produk mode akan laku terjual di dunia nyata, produk itu bisa dipamerkan di dunia digital terlebih dahulu. Jika ada minat, barulah diproduksi untuk dunia nyata. Cara ini makin diminati dunia mode.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Batas antara dunia digital dan dunia nyata semakin tipis. Apalagi di industri mode. Sebelum menjual produk ke pasar atau publik di dunia nyata, para perancang memanfaatkan platform daring dan metaverse untuk mengembangkan produknya.
Prosesnya dimulai dari sketsa sampai produksi barang di dunia digital. Ambil contoh sepatu, perancang akan membuat sketsa sepatu sampai memakaikan sepatunya pada avatar mereka di platform daring. Setelah itu, jika dianggap bagus dan menarik minat, barulah sepatu itu diproduksi dan dijual di dunia nyata. Cara ini dianggap lebih murah dan berisiko kecil.
”Di kehidupan nyata, membuat produk apa pun sangat mahal harganya. Platform daring lebih terbuka dan bebas untuk menguji apa pun secara virtual,” kata perancang adibusana Perancis, Julien Fournie.
Kehebohan membuat barang-barang virtual ini terjadi di tengah-tengah prediksi datangnya metaverse—realitas virtual dari internet—yang akan menggantikan internet yang kita ketahui hari ini. Dalam beberapa bulan terakhir, jumlah merek yang ikut masuk dan memanfaatkan platform-platform seperti Roblox dan Fortnite meningkat.
Mereka juga tak mau ketinggalan fenomena pergesaran teknologi dan masyarakat. Cara pengguna berinteraksi dengan barang-barang daring relatif berisiko rendah. Biaya pengembangan produknya pun rendah sehingga perusahaan-perusahaan bisa membuat apa saja tanpa ragu.
Achim Berg dari perusahaan konsultan McKinsey & Company menilai, dengan cara ini perusahaan atau produsen bisa mengumpulkan data secara daring untuk mengembangkan produk yang lebih baik dan bisa memprediksi produk apa yang dibutuhkan.
Fenomena atau tren ini mulai ramai saat pandemi Covid-19 karena pandemilah yang membuat jarak antara virtual dan realitas kabur. Gara-gara pandemi, banyak perancang yang tak bisa berkarya karena tidak bisa bertemu dengan orang secara fisik.
Namun, masalah itu kini teratasi. Pada akhir Februari 2021, studio RTFKT bersama dengan artis asal Seattle, Amerika Serikat, FEWOCiOUS, meluncurkan 621 sepatu sneakers edisi terbatas secara virtual melalui non-fungible token (NFT) atau barang digital yang bisa dibeli dan dijual dengan teknologi rantai blok.
Salah satu aspek operasinya adalah mencocokkan setiap sepatu digital yang dijual pada hari itu dengan sepatu nyata yang bisa diambil pembeli enam minggu kemudian. ”Kami rasa ikatan emosional pada obyek fisik itu masih penting dan justru bisa mempererat ikatan pada produk digital,” kata Benoit Pagotto, salah satu pendiri RTFKT, yang diakuisisi perusahaan Nike, Desember 2021, kepada harian The Wall Street Journal.
Aplikasi Aglet yang memadukan sepatu sneakers virtual dengan realitas yang ditambahkan atau augmented reality sudah membuat sepatu seri Telga yang mirip dengan Adidas atau Reebok. Kini, rencana berlanjut untuk membuat sepatu betulan untuk dunia nyata. Sebanyak 500 sepatu produksi pertama sudah habis terjual bahkan sebelum diproduksi.
”Kalau sudah tahu seberapa tinggi permintaannya di dalam platform-platform ini, lebih mudah bagi kita untuk memproduksinya di dunia nyata,” kata CEO Ryan David Mullins.
Variasi lain dari pertumbuhan daring ini ialah adanya platform mode papan atas Farfetch yang meluncurkan formula yang memungkinkan orang untuk memesan produk digital Balenciaga, Off-White, atauoun Dolce & Gabbana. Situs ini sudah berkolaborasi dengan studio DressX yang merancang busana-busana virtual. Busana-busana itu kemudian diproduksi, tetapi hanya bagi yang sudah dipesan terlebih dahulu. Ini dianggap lebih menarik bagi produsen merek mahal ketimbang produsen raksasa busana siap pakai.
Cara produksi itu juga membantu menghindari kelebihan produksi dan barang yang tidak laku terjual. Meski banyak sisi positifnya, tak banyak produsen di industri mode yang memiliki pandangan sama, bisa membuat barang digital menjadi nyata.
”Barang digital toh sudah bisa dipakai, dikoleksi, dan dipertukarkan di dunia metaverse sehingga tidak perlu dibuat nyatanya,” kata rumah mode virtual, The Fabricant.
Namun, perusahaan Dutch masih menganggap dunia digital dan dunia nyata itu bisa berjalan harmonis dan justru saling mendukung karena orang bisa membawa estetika dunia maya ke kehidupan nyata mereka. Pada akhirnya, ini masalah keinginan setiap individu. Jika suatu produk itu bisa diinginkan di dunia virtual, kemungkinan produk itu juga akan laku di dunia nyata. (AFP)