Inflasi Turun, China Berpeluang Lanjutkan Kembali Pemulihan
Inflasi berangsur-angsur turun di China. Ini memberikan ruang bagi otoritas di negara itu untuk mendorong kembali pemulihan ekonomi domestik. Di saat yang sama, lonjakan Omicron masih menjadi tantangan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
BEIJING, RABU — Tingkat inflasi di China mereda pada Desember 2021 setelah harga makanan dan komoditas turun. Kondisi itu memberi ruang bagi para pembuat kebijakan di negara itu untuk menentukan sejumlah kebijakan untuk melanjutkan pemulihan ekonomi yang tersendat, termasuk lewat penurunan suku bunga.
Di tengah dinamika pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi China akan ikut menentukan pemulihan ekonomi global. Sebab, sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS), perdagangan luar negeri sejumlah negara berhubungan dengan ekonomi China. Sudah pasti demikian pula dengan AS.
Seperti kebanyakan negara lain, China telah mengalami lonjakan aneka rupa harga hampir sepanjang tahun lalu karena kenaikan biaya energi. Hal itu memberikan tekanan pada ekonominya yang juga dihantam oleh krisis di sektor properti utama lewat tekanan gagal bayar pada perusahaan raksasa Evergrande Inc.
Inflasi harga produsen di China pada Oktober 2021 bahkan mencapai 13,5 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Ini merupakan level tertinggi dalam 26 tahun terakhir di negara itu. Kondisi itu meningkatkan kekhawatiran akan implikasinya terhadap ekonomi global karena peran penting China sebagai eksportir.
Namun, tekanan terhadap inflasi dilaporkan mulai mereda dalam dua bulan terakhir di 2021. Harga produsen di China pada Desember, seperti dilaporkan pada Rabu (12/1/2022), naik 10,3 persen dari tahun sebelumnya. Angka ini di bawah perkiraan para ekonom, yakni di level 11,1 persen sekaligus di bawah inflasi harga produsen pada November sebesar 12,9 persen.
Dengan demikian, inflasi alias perubahan harga konsumen juga mengalami tren yang sama. Inflasi per Desember naik 1,5 persen. Ini lebih rendah dibandingkan inflasi November sebesar 2,3 persen sekaligus proyeksi para analis untuk Desember.
Analis China Renaissance Securities Hong Kong, Bruce Pang, menyatakan, inflasi ”tidak akan menjadi persoalan pada 2022”. Ia memperkirakan sejumlah ukuran inflasi inti, di luar kenaikan harga makanan dan energi, akan tetap berada di bawah 1,5 persen.
Kondisi ini membuka peluang bagi Bank Rakyat China sebagai bank sentral di negara itu untuk menurunkan tingkat suku bunganya. ”Kemungkinan penurunan suku bunga pada triwulan pertama tinggi dan kesempatan terdekat adalah bulan ini,” kata Bruce.
Dan Sheana Yue dari Capital Economics mengatakan, tren saat ini menunjukkan kekhawatiran inflasi tidak akan menahan bank sentral China dari ”langkah-langkah pelonggaran lebih lanjut, termasuk penurunan suku bunga acuan”. Sejumlah analis menilai Bank Rakyat China dapat memangkas biaya pinjaman paling cepat minggu depan. Jika ini benar terjadi, langkah itu merupakan yang pertama dilakukan bank sentral China sejak April 2020.
Bikin pusing
Inflasi yang melonjak di China pada tahun lalu telah memusingkan para pembuat kebijakan di negara itu. Merespons situasi yang ada, pengambil kebijakan mencoba menyeimbangkan dua kepentingan sekaligus.
Satu sisi, otoritas berusaha ketat menjaga harga agar tidak lepas kendali. Di sisi lain, otoritas berupaya mendorong perekonomian agar mulai bergerak di tengah ragam masalah, terutama yang terjadi pada pasar properti dan kesulitan ekonomi akibat langkah-langkah penguncian warga sehubungan pandemi Covid-19.
Dihubungi di Jakarta, analis riset Capital Asset Management, Desmon Silitonga, berpendapat, sudah cukup lama Bank Rakyat China tidak mengubah kebijakan suku bunganya. Dikatakan bahwa dampak perubahan kebijakan moneter di China tidak terlalu signifikan terhadap Indonesia. Di Indonesia yang selalu menjadi sorotan adalah kebijakan yang diambil bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Desmon juga menilai lonjakan tingkat inflasi seperti di China dan juga AS hanya bersifat sementara. Dampak bagi perekonomian Indonesia dan juga global diperkirakan tidak terlalu signifikan. Apalagi terkait penanganan kondisi pandemi Covid-19 secara langsung, negara-negara termasuk Indonesia mulai melaksanakan dan menggencarkan pemberian vaksin penguat. Hal ini akan memperkuat pemulihan ekonomi global.
”Hadirnya vaksin booster akan menjadi faktor utama yang mendukung (pemulihan ekonomoi global), juga belanja stimulus yang masih digelontorkan oleh banyak negara,” katanya.
Bank Indonesia (BI) sejauh ini mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen. Tim riset Manulife Investment Management menilai BI mengindikasikan perubahan di 2022 ke arah kebijakan moneter yang pro-stabilitas.
Adapun sejumlah kebijakan lain akan tetap akomodatif untuk menopang pemulihan ekonomi. Hal itu, antara lain, mencakup kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar, dan kebijakan ekonomi keuangan inklusif.
Perubahan ini didorong oleh ekspektasi kenaikan inflasi dan kemungkinan defisit neraca berjalan di pada 2022. Hal itu diperkirakan juga untuk menopang tekanan nilai tukar yang akan terjadi akibat kebijakan The Fed yang lebih agresif.
The Fed dituntut mengambil kebijakan moneter yang efektif mengendalikan harga. The Fed juga harus menghindari gangguan yang muncul dalam proses pemulihan ekonomi AS. Otoritas itu juga harus dapat mengantisipasi kepanikan pasar karena rezim uang tunai murah yang telah memicu reli hampir dua tahun, segera dihentikan.
Tingkat inflasi AS tahun lalu berada di level tertinggi dalam kurun empat dekade terakhir. Melanjutkan tren kenaikan inflasi sejak awal 2021, inflasi tahunan di tiga bulan terakhir konsisten meningkat. Berturut-turut adalah 6,2 persen, 6,8 persen, dan 7 persen.
The Fed mulai mengurangi program pembelian surat utang besar-besaran yang dipilih pada awal pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, bank sentral itu juga mengisyaratkan akan mulai menaikkan suku bunga dari rekor terendah mereka mulai Maret mendatang. Para pengamat memperkirakan The Fed akan menaikkan tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali pada tahun ini.
Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global yang dirilis per 11 Januari memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat dari tahun lalu yang diperkirakan 5,5 persen. Proyeksinya, 4,1 persen pada 2022 dan 3,2 persen pada 2023. Salah satu catatannya adalah meningkatnya inflasi, utang, dan ketimpangan pendapatan berpotensi mengganggu pemulihan ekonomi di negara miskin dan berkembang.
Dana Moneter Internasional (IMF) baru akan mengumumkan proyeksi ekonomi global 2022 pada 25 Januari atau molor seminggu dari rencana. Menurut juru bicara IMF, Selasa, ini untuk memperhitungkan dinamika kasus Covid-19 mutakhir.
Managing Director IMF Kristalina Georgieva pada konferensi Reuters Next, bulan lalu, menyatakan, IMF kemungkinan akan menurunkan lebih lanjut proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Ini berkaitan dengan lonjakan kasus Omicron. Pada Oktober lalu, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global sebesar 5,9 persen pada 2021 dan 4,9 persen pada tahun ini. (AFP/REUTERS/BEN)