Pengunjuk rasa khawatir kunjungan Hun Sen justru memberikan legitimasi bagi kekuasaan junta militer Myanmar. Kepada Hun Sen, Presiden Jokowi mengingatkan soal lima poin konsensus untuk mengatasi krisis di Myanmar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
NAYPYIDAW, JUMAT — Kunjungan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen ke Myanmar pada Jumat (7/1/2022) disambut unjuk rasa warga Myanmar penentang junta militer di sejumlah kota. Para pengunjuk rasa khawatir kunjungan Hun Sen selama dua hari untuk bertemu dengan junta justru memberikan legitimasi lebih luas terhadap kekuasaan militer di Myanmar.
Upacara kehormatan di atas karpet merah digelar saat Hun Sen tiba di Myanmar. Kementerian Luar Negeri Kamboja sebelumnya mengatakan, Hun Sen akan bertemu pemimpin junta Min Aung Hlaing. Radio Free Asia yang didanai Amerika Serikat mengutip juru bicara junta yang mengatakan Hun Sen tidak akan bertemu Aung San Suu Kyi. Suu Kyi tengah diadili dan menghadapi hampir selusin kasus yang membawa ancaman hukuman gabungan lebih dari 100 tahun penjara.
Kunjungan dua hari Hun Sen adalah kunjungan pertama kepala pemerintahan asing ke Myanmar sejak diguncang kudeta militer pada 1 Februari 2021. Kunjungan itu terkait dengan posisi Kamboja yang memegang keketuaan Perhimpunan Negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 2022. Sejak militer mengambil alih pemerintahan sipil Myanmar secara paksa, Myanmar dilanda aksi demonstrasi berdarah dan tindakan keras militer terhadap kelompok-kelompok sipil Myanmar.
Aksi demonstrasi menyambut kedatangan Hun Sen di Myanmar dilaporkan digelar di Depayin, Mandalay, Tanintharyi, dan Monywa. Para penentang kekuasaan militer itu mengatakan, kehadiran Hun Sen semata untuk menunjukkan dukungannya terhadap militer Myanmar. Di Depayin, sekitar 300 kilometer utara ibu kota Naypyidaw, para pengunjuk rasa membakar poster Hun Sen. ”Hun Sen jangan datang ke Myanmar. Kami tidak ingin diktator Hun Sen,” bunyi seruan seperti ditunjukkan foto-foto di media sosial media.
Para penentang kekuasaan militer itu mengatakan, kehadiran Hun Sen semata untuk menunjukkan dukungannya terhadap militer Myanmar.
Rencana demonstrasi penentang junta di Myanmar sudah dikemukakan sejak Hun Sen menyatakan rencananya berkunjung ke Myanmar, beberapa hari lalu. Min Ko Naing, aktivis terkemuka di Myanmar, mengatakan dalam sebuah unggahannya di media sosial bahwa Hun Sen akan menghadapi protes besar-besaran atas kunjungannya. Naing menyatakan, kunjungan Hun Sen ke Myanmar justru akan merugikan ASEAN. Badan Koordinasi Pemogokan Umum, yang menampung lebih dari 260 organisasi penentang kudeta, juga mengecam kunjungan Hun Sen. Kelompok itu menuduh Hun Sen mendukung penguasa militer Myanmar.
Di tengah dukungan Indonesia terhadap keketuaan Kamboja di ASEAN, Presiden Joko Widodo ketika berbicara melalui telepon dengan Hun Sen, 3 Januari lalu, mengingatkan soal lima poin konsensus pemimpin ASEAN terkait konflik di Myanmar. Lima poin konsensus itu diingatkan Presiden Jokowi agar tetap menjadi panduan bagi upaya ASEAN membantu Myanmar keluar dari krisis politik dan mengembalikan demokrasi melalui dialog inklusif. Lima poin konsensus tersebut juga tetap menjadi pegangan Utusan Khusus ASEAN dalam berkomunikasi dengan militer di Myanmar.
Dalam pidatonya pada Rabu (5/1/2022) di Phnom Penh, Hun Sen menyerukan agar semua pihak di Myanmar menahan diri dan agar rencana perdamaian dapat ditindaklanjuti. ”Saudara-saudara di Myanmar, apakah Anda ingin negara Anda benar-benar jatuh ke dalam perang saudara atau ingin diselesaikan?” katanya. ”Poin pertama dari konsensus adalah kesabaran, penghentian kekerasan. Ini adalah tujuan yang kami inginkan.”
Hun Sen adalah salah satu pemimpin terlama di dunia dengan kekuasaan lebih dari tiga dekade. Negara-negara Barat dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah lama mengecam dia atas tindakan keras terhadap lawan, kelompok hak-hak sipil, dan media di Kamboja. Wakil Direktur Regional Amnesty International Emerlynne Gil mengatakan, Hun Sen harus membatalkan perjalanannya dan mengarahkan ASEAN ke tindakan tegas untuk mengatasi situasi HAM yang mengerikan di Myanmar. (AFP/REUTERS)