Sebagian rakyat AS meragukan kekuatan demokrasi di negara adidaya itu. Apalagi sejak serangan dan kerusuhan di Gedung Capitol, 6 Januari. Yang lebih mengkhawatirkan, ada pandangan tak masalah memakai cara kekerasan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Sejak serangan dan pendudukan para pendukung mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas Kongres AS di Gedung Capitol, 6 Januari 2021, rakyat AS semakin prihatin dan meragukan kekuatan demokrasi di negara adidaya itu. Serangan dengan kekerasan di Gedung Capitol itu menjadi pertanda betapa kekerasan politik yang meningkat akan mengancam demokrasi AS. Ditambah lagi, ”kebanggaan” rakyat AS pada demokrasi meluntur dari 90 persen pada tahun 2002 menjadi hanya 54 persen saat ini.
Ini merupakan hasil dari dua jajak pendapat oleh CBS News dan Washington Post/University of Maryland yang dipublikasikan, Minggu (2/1/2022). Hasil jajak pendapat CBS News malah lebih mengkhawatirkan karena sekitar 28 persen responden merasa tidak masalah jika menggunakan kekerasan untuk mempertahankan hasil pemilu. Jajak pendapat di Washington Post juga menunjukkan 34 persen responden menilai menggunakan cara-cara kekerasan pada pemerintah sesekali diperbolehkan.
Hasil dari dua jajak pendapat ini menunjukkan kondisi rakyat AS yang semakin terbelah, terutama setelah kerusuhan di Gedung Capitol. Presiden AS Joe Biden pernah berjanji akan memperbaiki hal itu. Sampai saat ini, dua pertiga pendukung Biden masih meyakini tuduhan Trump yang menyebutkan pemilihan Biden sebagai presiden tidak sah itu tidak benar. Sebelum kerusuhan Gedung Capitol, Trump menuding pemilihan presiden AS curang di hadapan ribuan pendukungnya. Trump bahkan menyuruh para pendukungnya memperjuangkan pemilu dengan cara apa pun.
Sekitar 60 persen responden jajak pendapat menilai Trump yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan di Gedung Capitol. Namun, sekitar 83 persen responden di Washington Post berpandangan kerusuhan Gedung Capitol itu bukan sepenuhnya salah Trump. Bahkan, 26 persen responden jajak pendapat di CBS News tetap menginginkan Trump kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2024.
Penyelidikan
Komite khusus di DPR yang menyelidiki kerusuhan di Gedung Capitol itu telah menyelidiki kasus itu selama berbulan-bulan untuk mencari tahu dalang atau siapa saja yang memicu dan mengorganisasi kerusuhan itu. Meski Trump dan lingkar dalamnya tak mau bekerja sama, tim komite khusus DPR itu telah mewawancarai 300 orang dan mengumpulkan ribuan dokumen. ”Kami menemukan fakta bahwa rakyat mulai menggoyahkan integritas demokrasi kita dan ini mengkhawatirkan. Ada upaya terkoordinasi dari sejumlah orang yang tidak setuju pada pemilu," kata Ketua Tim Panel Komite DPR, Bennie Thompson.
Thompson menduga dalang atau orang-orang yang terlibat di balik layar kerusuhan itu berasal dari mereka yang berada di pemerintahan atau Departemen Pertahanan dan beberapa orang di antaranya sangat kaya. Liz Cheney, salah satu anggota di panel itu dari Partai Republik, juga mengecam Trump karena tidak segera menyuruh para pendukungnya untuk mundur. ”Mestinya dia bisa menyuruh mereka segera mundur dan tidak sampai berjam-jam baru minta mereka mundur,” ujarnya.
Jim Wood (62), pensiunan veteran Angkatan Udara AS, tetap tidak bisa percaya Biden yang menang pilpres tahun 2020. Ia masih curiga mesin pemungutan suara gagal menghitung suara dengan benar, surat suaranya palsu, dan ada pemilih yang tidak jelas. Karena tak percaya, ia tak menganggap Biden sebagai presidennya.
”Saya tidak percaya ia terpilih. Saya sudah melihat hasil pemilunya dan saya kira ada yang tidak beres,” kata Wood yang ikut protes ke Gedung Capitol bersama ribuan pendukung Trump, tahun lalu itu. Namun, Wood mengaku tidak ikut masuk ke Capitol.
Sampai sekarang tidak ada bukti otentik mengenai kecurangan pemilu 2020. Wood curiga kecurangan tidak dipublikasikan karena sengaja ditutupi oleh media massa arus utama. Karena mencurigai media massa, Wood kini tak pernah lagi menonton televisi selain untuk melihat laporan prakiraan cuaca. Beberapa bulan setelah pulang dari Gedung Capitol, Wood menemukan kelompok di media sosial Facebook yang mengklaim melindungi pemilu dan menemukan bukti dugaan kecurangan pilpres 2020.
Dengan menggunakan aplikasi bergerak, anggota-anggota Kelompok Integritas Pemilih New Hampshire mendatangi rumah setiap warga di wilayah yang berbatasan dengan Kanada itu untuk menanyakan laporan adanya dugaan kecurangan pemilu. Saat ini terkumpul 5.200 laporan. Hanya saja, tuduhan kecurangan pemilu 2020 itu sudah ditolak pengadilan dan otoritas negara bagian. Meski sudah ditolak pengadilan, dua pertiga pendukung Republik masih meyakini pemilu AS sudah dicuri dari Trump.
Marylyn Todd, akuntan yang memimpin Kelompok Integritas Pemilih New Hampshire itu menjelaskan kelompoknya hanya hendak mencari kebenaran. Inisiatif-inisiatif serupa muncul di negara bagian lainnya, seperti Massachusetts, Michigan, Nebraska, Pennsylvania, dan Utah. (AFP)