Joe Biden menganggap serbuan massa pendukung Trump itu sebagai bentuk pemberontakan. Para pendukung fanatik Trump memang berupaya menghentikan sidang Senat yang ingin mengesahkan pasangan Joe Biden-Kamala Harris.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Berbagai kalangan di dunia terperangah atas aksi kerusuhan para pendukung Donald Trump, yang gagal terpilih kembali dalam pemilihan presiden November lalu.
Kerusuhan pada Rabu (6/1/2021) di Gedung Capitol Hill, Washington DC, benar-benar memberikan tamparan keras terhadap citra Amerika Serikat sebagai kampiun demokrasi. Tidak sedikit orang menggeleng-gelengkan kepala tentang agresivitas pendukung Trump, yang tiba-tiba menyerbu Gedung Capitol, menghentikan sidang Senat untuk pengesahan kemenangan pasangan Joe Biden-Kamala Harris dari Partai Demokrat.
Serangan itu tidak hanya menghentikan sidang Senat, tetapi merusak sejumlah properti ruangan dan meminta korban jiwa. Paling tidak lima orang tewas. Tentu saja tidak begitu gampang menjelaskan fenomena serbuan massa pendukung Trump ke Gedung Capitol Hill, satu simbol demokrasi bangsa AS.
Mantan Presiden AS Barack Obama, serta George Bush Jr dan Jimmy Carter turun tangan, menyerukan agar bangsa AS kembali ke jati diri yang menghargai demokrasi. Pengamat cenderung berpendapat, aksi pendukung Trump merupakan ironi bagi AS sebagai bangsa yang dikenal sebagai kampiun demokrasi. Serbuan massa itu tidak lagi dalam kategori sebagai kebebasan berekspresi dalam koridor demokrasi, tetapi termasuk tindakan pengacauan.
Tidak berlebihan jika presiden terpilih Joe Biden menganggap serbuan massa pendukung Trump itu sebagai bentuk pemberontakan. Para pendukung fanatik Trump memang berupaya menghentikan sidang Senat yang ingin mengesahkan pasangan Joe Biden-Kamala Harris sebagai pemenang pemilu 3 November 2020. Lebih mencengangkan lagi, Trump tak mengakui kekalahan, bahkan terus menghasut para pendukungnya melakukan protes dan kerusuhan.
Tidak berlebihan jika presiden terpilih Joe Biden menganggap serbuan massa pendukung Trump itu sebagai bentuk pemberontakan.
Sikap Trump menjadi pertanyaan karena belum ada presedennya. Pemimpin, kalah atau menang, melakukan penghasutan terhadap pendukungnya. Semestinya, seperti sudah menjadi tradisi, pemimpin yang kalah mengakui kemenangan lawan, sekaligus menyerukan para pengikutnya memberikan dukungan penuh terhadap presiden terpilih.
Trump tidak melakukan itu, bahkan bertindak sebaliknya. Kepemimpinan Trump memang penuh kontroversi. Semula orang tidak menduga Trump yang bersikap rasis bisa terpilih dalam pemilihan presiden tahun 2016. Sikap rasis Trump memecah belah AS. Polarisasi sosial bertambah karena Trump juga cenderung mengumbar pernyataan yang kontroversial.
Sebelum pemilu dilaksanakan, Trump mengumbar janji tentang kepastian akan meraih lagi kemenangan dalam pemilihan presiden. Bahkan, dengan percaya diri, Trump terus-menerus menyatakan, jika dirinya mengalami kekalahan, sudah pasti karena kecurangan. Namun, Trump tidak pernah bisa membuktikan kebenaran atas tuduhannya.
Kerusuhan Rabu lalu, selama empat jam, berhasil diatasi, tetapi tampaknya ketegangan belum surut sampai Biden-Harris benar-benar dilantik 20 Januari mendatang. Drama politik di AS ke depan masih menarik diikuti sampai Biden-Harris benar-benar berkantor di Gedung Putih.