Junta Militer Myanmar Kembali Lancarkan Taktik Bumi Hangus
Junta militer Myanmar kembali menggunakan taktik bumi hangus lagi untuk menekan daerah-daerah pendukung kelompok oposisi.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Ketika kembali ke desanya di Done Taw, Myanmar, seorang buruh tani berusia muda tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Di dalam sebuah gubuk, ada sejumlah mayat dalam kondisi saling terikat masih membara. Beberapa saat sebelumnya, sekitar 50 tentara menyerbu Done Taw, l7 Desember, dan membunuh 100 orang, termasuk di antaranya lima remaja.
Dari foto-foto yang diambil teman si buruh tani itu, terlihat ada korban yang dibakar hidup-hidup. ”Saya sangat marah. Ini tidak bisa dibiarkan saja,” kata buruh tani berusia 19 tahun itu. Ia tidak mau disebutkan namanya karena takut ditangkap tentara.
Hasil penyelidikan kantor berita Associated Press (AP) berdasarkan wawancara dengan 40 saksi mata, media sosial, citra satelit, dan data kematian, menunjukkan, pembantaian di Done Taw itu menjadi pertanda bahwa militer Myanmar sudah mulai mengubah strateginya. Mereka menjadikan strategi pembantaian sebagai senjata perang. Pembantaian dan taktik bumi-hangus seperti membakar seluruh desa itu menunjukkan meningkatnya kekerasan militer terhadap warga sipil dan kelompok oposisi.
Sejak kudeta militer, Februari 2021, junta militer Myanmar menindak rakyatnya sendiri dengan brutal, menculik anak laki-laki muda, membunuh tenaga medis, dan menyiksa tahanan. Cara-cara seperti itu sudah sejak lama dipraktikkan pada kelompok etnis minoritas, seperti komunitas Muslim Rohingya, dan menewaskan ribuan orang pada 2017.
Junta militer Myanmar diduga membunuh sedikitnya 35 orang pada saat malam Natal di Desa Mo So, wilayah komunitas etnis Karenni.
Kali ini, junta militer kembali menggunakan metode yang sama dalam menghadapi rakyat dan desa di kelompok etnis mayoritas Buddha Bamar. Sebagian besar pembunuhan dilakukan di wilayah barat laut, termasuk Bamar. Penduduk di daerah itu memberikan dukungan kuat pada kelompok oposisi. Menurut data Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, lebih dari 80 orang tewas di wilayah Sagaing saja sejak Agustus lalu.
Junta militer juga menghancurkan seluruh desa yang diketahui mendukung kelompok oposisi. Dari citra satelit yang diperoleh dari Maxar Technologies terlihat lebih dari 580 bangunan dibakar di kota Thantlang saja sejak September lalu.
”Banyak kasus serupa di segala penjuru negeri, terutama di wilayah barat laut Myanmar. Lihat polanya dan apa yang terjadi, semuanya sistematis dan meluas,” kata Duta Besar Myanmar di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kyaw Moe Tun, yang mendukung para penentang kudeta militer.
Tiga hari setelah serangan di Done Taw itu, harian yang dikelola pemerintah, Global New Light of Myanmar, kemudian membantah informasi pembantaian itu sebagai berita bohong. Koran itu menyebut, ada negara yang sengaja memecah belah Myanmar dengan memicu pertumpahan darah. Sejak junta militer berkuasa, lebih dari 1.375 orang tewas di tangan tentara dan polisi serta sekitar 11.200 orang ditahan.
Pada Mei lalu, kelompok oposisi yang tergabung dalam Pemerintah Persatuan Nasional mengumumkan sayap militer yang baru, Pasukan Perlawanan Rakyat. Pada September kelompok itu mendeklarasikan perang defensif. Kelompok gerilyawan yang menyebut dirinya PDF kemudian muncul di mana-mana dan mengaku patuh pada pemerintahan kelompok oposisi.
Sebelum serangan di Done Taw, junta militer juga pernah menyerang wilayah yang mayoritas beragama Buddha di wilayah Kani. Pada Juli lalu, ada foto-foto pembunuhan di empat desa yang beredar. Empat saksi mata mengaku tentara telah membunuh 43 orang dan membuang mayatnya di hutan.
”Kami semua sekarang ketakutan,” kata seorang perempuan yang adiknya tewas dibunuh tentara.
Serangan tentara di Sagaing dianggap sebagai langkah pembuka junta militer melawan kelompok perlawanan di wilayah barat. Muncul kekhawatiran, gejolak kekerasan akan meningkat.
Dua konvoi militer dengan sekitar 80 truk yang membawa pasukan dan barang-barang kebutuhan dari Sagaing sudah sampai di Negara Bagian Chin. Seorang mantan tentara yang desersi, Maret lalu, mengatakan bahwa pasukan di Chin sudah diberikan perbekalan lagi dan ditambah stok amunisi, bahan bakar, dan makanan di Sagaing.
”Kita bicara soal Bamar yang menjadi inti dasar militer. Itu menunjukkan betapa khawatirnya militer pada rakyatnya sendiri,” kata peneliti di Human Rights Watch, Manny Maung.
Seiring dengan semakin banyak tentara yang masuk ke wilayah Chin, sejumlah warga menuturkan bahwa tentara menghentikan protes dengan cara menembakkan senjata dan memukul pengunjukrasa dengan brutal. ”Militer menembakkan artileri ke arah kota sampai rumah berguncang keras seperti ada gempa bumi,” kata seorang guru.
Guru itu kemudian menyelamatkan diri ke India, Oktober lalu, setelah sepupunya yang anggota PDF, tewas dibunuh penembak jitu.
Di wilayah Matupi, kota yang menjadi lokasi dua kamp militer itu kini tak lagi memiliki anak-anak muda. Menurut seorang mahasiswa yang melarikan diri dengan dua saudaranya, Oktober lalu, tentara mengunci warga di dalam rumah dan membakar mereka. Tentara juga menyembunyikan bom di gereja dan sekolah, membunuh tiga pemimpin unjuk rasa, dan meninggalkan mayat di tengah jalan hanya untuk menakut-nakuti orang.
Thantlang, kota yang berada dekat perbatasan India, juga sudah kosong. Kota itu telah ditinggalkan warganya setelah selama empat bulan terjadi pertikaian sengit. Menurut Organisasi Hak Asasi Manusia Chin dari hasil tangkapan gambar pesawat tak berawak pada Oktober dan Desember terlihat api berkobar dari dalam bangunan yang hancur, seperti gereja, sekolah, dan rumah.
Namun, ada tanda-tanda strategi intimidasi militer itu justru akan memperkuat perlawanan rakyat dan tidak akan membuat rakyat takut. ”Daripada saya mati saat melarikan diri, lebih baik saya menggunakan hidup saya untuk tujuan yang jelas, melawan militer,” kata salah satu warga Kani yang selamat.
Buruh tani di Done Taw tadi kini sudah bertekad akan melawan junta militer Myanmar bersama dengan kekuatan PDF. ”Saya akan berjuang hingga titik darah penghabisan saya bersama mereka. Saya akan melakukan apa saja yang saya bisa sampai saya mati atau ditahan,” ujarnya. (AP)