Solusi Alternatif Dunia untuk Myanmar
Solusi alternatif perlu dilakukan dunia untuk menyelesaikan kemelut di Myanmar. Negara yang memiliki ikatan ekonomi dengan Myanmar berpeluang memberikan tekanan kepada militer Myanmar untuk tak lagi melakukan kekerasan.
”Please use your liberty to promote ours” – Aung San Suu Kyi
Seperti permohonan Suu Kyi yang disampaikan lewat The New York Times dua dekade silam, dunia harus menggunakan kebebasannya untuk mendorong kebebasan di Myanmar. Kegentingan situasi di Myanmar saat ini telah mencapai titik nadir, di mana perangai junta militer semakin tak keruan.
Bersamaan dengan kebuntuan diplomasi di tingkat global dan regional, puluhan demonstran dihabisi dan ratusan lainnya ditahan. Tak ayal, dibutuhkan solusi alternatif di luar kerangka kerja institusi internasional untuk segera menemukan solusi perdamaian di Myanmar.
Setidaknya selama sebulan ini isu Myanmar telah dibawa ke beberapa ruang majelis organisasi internasional. Di tingkat regional, pertemuan tingkat menteri ASEAN diselenggarakan pada awal Maret lalu.
Selain itu, soal krisis Myanmar ini pun juga telah sampai ke meja Dewan Keamanan (DK) PBB. Sebagai majelis tertinggi di PBB, dunia tentu mengharapkan DK dapat menghasilkan resolusi yang tegas sehingga memberikan efek kejut bagi kesewenangan junta militer.
Sayangnya, upaya di tingkat regional hingga kini masih jalan di tempat. Berdasarkan pernyataan dari pertemuan tingkat menteri tersebut, sikap ASEAN masih sangat normatif.
Secara kolektif, negara yang hadir dalam pertemuan menyatakan keprihatinan mereka atas situasi di Myanmar dan menyerukan kedua belah pihak menahan diri untuk tidak menggunakan kekerasan. Selanjutnya, ASEAN juga mendorong bagi junta militer untuk membebaskan para politisi yang kini sedang ditahan.
Setali tiga uang, diplomasi di tingkat DK PBB juga masih mandul. Meski telah bertemu tak lama setelah peristiwa kudeta di awal Februari, hingga kini masih belum ada pernyataan bersama (joint statement) dari DK PBB.
Perkembangan terakhir menunjukkan, China dan Rusia menjadi penghalang utama tekanan dari DK PBB. Kedua negara anggota tetap tersebut kukuh berpendapat bahwa persoalan di Myanmar merupakan urusan rumah tangga dan prinsip nonintervensi harus dijunjung tinggi.
Ketergantungan Myanmar kepada China
Kebuntuan di ruang sidang DK sebetulnya tak sulit untuk diprediksi. Sejak lama, Beijing memang telah melindungi pihak militer dari tekanan di gelanggang internasional. Hal ini utamanya terjadi ketika mereka masih berkuasa selama era 1990 hingga 2000-an ketika dunia Barat memalingkan wajah mereka.
Akan tetapi, kedekatan ini tak selamanya langgeng. Setelah Presiden Thein Sein memulai reformasi demokrasi, Myanmar mulai membangun rapor dengan dunia Barat, terutama dengan pemerintahan AS di bawah Obama. Dengan mulai luruhnya sanksi ekonomi yang sekian lama berkerak di tubuh Myanmar, ketergantungan negara tersebut ke China pun juga ikut luntur.
Di satu sisi, seiring berjalannya waktu, demokrasi di Myanmar mulai berbentuk. Bersamaan dengan itu, hubungan antara pemerintah sipil dan dunia Barat pun kian mesra. Hal ini tampak dari mulai masuknya investasi asing langsung dari AS. Semenjak kedatangan Obama di Yangon, investasi dari AS yang sebelumnya macet mulai masuk hingga mencapai puncaknya pada 2017 yang mencapai 128 miliar Dollar AS dalam setahun.
Di sisi lain, China juga semakin getol untuk mengalirkan dana ke Myanmar. Untuk mengimbangi pengaruh AS, China langsung megguyur negara tersebut dengan investasi sebesar 3 triliun dollar AS pada 2015. Meski berangsur-angsur menurun, China konsisten menjadi salah satu negara penyumbang investasi terbesar bagi Myanmar hingga saat ini.
Pengaruh China semakin tidak terelakkan ketika dunia internasional kembali menghukum Myanmar akibat kasus diskriminasi kaum Rohingya. Kepemimpinan sipil Aung San Suu Kyi yang masih seumur jagung pun harus diuji dengan tekanan internasional, utamanya di bidang ekonomi. Tak ayal, Myanmar yang dijauhi dalam pergaulan internasional pun semakin bergantung pada aliran investasi dari Beijing.
Hal ini tampak jelas dari hasil kunjungan Xi ke Yangon pada 2020. Saat itu, China dan Myanmar meneken 33 kontrak perjanjian proyek terkait dengan rencana insiatif sabuk dan jalan (belt and road initiative/BRI).
Di bawah tajuk Myanmar Economic Corridor, proyek-proyek senilai miliaran dollar AS berupa rel kereta api, pelabuhan di Rakhine, zona ekonomi khusus di perbatasan Myanmar dan proyek lainnya di Yangon akan dibangun hingga beberapa tahun ke depan. Dengan kunjungan ini, pengaruh China pun tak lagi sebatas di kalangan militer, tetapi telah merembes hingga ke pemerintahan sipil.
Dinamika hubungan China dengan dua pemangku kebijakan di Myanmar ini penting untuk diperhatikan. Selama ini pihak militerlah yang memiliki kuasa atas perekonomian Myanmar.
Meski secara de jure milik negara, BUMN-BUMN raksasa serta aset-aset penting negara semuanya dikontrol oleh petinggi militer serta keluarganya. Tak ayal, kedekatan pemerintahan sipil dengan Xi pun membuat gerah pihak militer yang akhirnya melancarkan kudeta pada Februari lalu.
Selain dari segi ekonomi, Myanmar juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan China perihal pertahanan. Hingga kini, bersama dengan beberapa negara lain, seperti Rusia dan India, China menjadi salah satu penyuplai senjata paling besar ke Myanmar.
Selama rentang waktu dua dekade, lebih dari 88 persen persenjataan Myanmar diimpor dari China dan Rusia saja. Maka, tak heran apabila kepentingan militer Myanmar beririsan dengan kepentingan dari kedua negara tersebut.
Sanksi bisa jadi solusi
Melihat situasi ini, mengharapkan ada solusi dari institusi internasional, baik di tingkat regional maupun global, agaknya mustahil. Sampai kapan pun, selama kepentingan China dan Rusia masih berkelindan dengan pihak junta militer, DK PBB pun tak akan mampu berbuat banyak mengingat kedua negara ini memiliki hak veto.
Selain itu, upaya yang dilakukan di ASEAN juga masih terasa sangat ”sopan” terhadap pihak junta militer. Hingga kini, diplomasi ASEAN berfokus pada mendorong deeskalasi kekerasan, pembebasan tahanan politik, dan memastikan pihak junta benar-benar menyelenggarakan pemilu untuk mengembalikan kuasa kepada sipil.
Meski terlihat mulia, hal ini bisa disalahdiartikan sebagai pemberian legitimasi bagi pihak junta yang kini berkuasa. Tak hanya itu, pendekatan ini juga berbeda dengan yang dilakukan oleh beberapa negara Barat yang sama sekali tak memberikan rekognisi kepada junta dan langsung segera menjatuhkan sanksi pembekuan aset dan embargo.
Akan tetapi, bukan berarti tak ada upaya alternatif yang dapat ditempuh untuk mengupayakan perdamaian di Myanmar. Salah satunya ialah sanksi yang diberikan oleh negara yang dilakukan di luar kerangka kerja institusi internasional.
Kebijakan ini telah dilakukan oleh AS yang menjatuhkan sanksi terhadap berbagai lembaga negara terkait dengan junta militer serta beberapa petinggi militer Myanmar. Tak hanya AS, beberapa negara lain, seperti Kanada, Inggris, dan Australia, memberikan sanksi yang serupa.
Walakin, junta militer secara gamblang menyatakan tidak gentar dengan tekanan global. Dengan percaya diri, junta militer menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan benar dan tak melanggar konstitusi. Selain itu, petinggi junta juga percaya diri dengan resistensi Myanmar yang selama ini terbukti baik-baik saja meskipun berkali-kali diterpa sanksi.
Jika dilihat, masuk akal apabila junta militer masih bisa berkata demikian. Dari segi ekonomi, investasi asing yang masuk dari Barat hanya sekitar 10 persen. Terlebih lagi, dari negara-negara Barat yang menjatuhkan sanksi, sebagian besar berasal dari Inggris saja. Sementara sebagian besar suntikan investasi datang dari tetangga di Asia, seperti Singapura, Hong Kong, dan China.
Sama halnya dalam hal pertahanan. Sanksi yang diberikan oleh AS dan negara Barat lainnya terhadap Myanmar mungkin tak banyak membuat junta militer gusar. Pasalnya, hanya Perancis dan Jerman yang memiliki hubungan dagang senjata dengan Myanmar. Tak hanya itu, skala perdagangan senjata antara kedua negara tersebut dan Myanmar pun sangat kecil yang nilainya tak sampai 1 persen.
Maka dari itu, negara yang memiliki ikatan ekonomi yang kuat dengan Myanmar harus mau memberikan sanksi yang tegas. Apabila China terlalu sulit untuk dibujuk, Singapura bisa menjadi pemberi sanksi yang telak bagi junta. Hal ini mengingat Singapura merupakan sumber investasi asing utama bagi Myanmar selama 2013-2020.
Dalam rentang waktu itu, investasi sebesar lebih dari 18 triliun mengalir dari Singapura ke Myanmar. Dengan besaran tersebut, Singapura menyumbang lebih dari separuh investasi asing yang masuk ke Myanmar.
Selain Singapura, negara lain, seperti India, juga perlu berani bertindak tegas. Meski tak sebesar Singapura, keterikatan Myanmar terhadap India dalam hal persenjataan dan ekonomi bisa menambah tekanan yang berarti bagi junta untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.
Meski sanksi hampir mustahil untuk menekan pihak militer untuk mundur, paling tidak aksi tegas tersebut bisa membuat mereka berpikir ulang apabila akan menangkap atau membunuh demonstran. (LITBANG KOMPAS)