Perawat Myanmar Bergerilya Tembus Blokade Junta untuk Merawat Pasien
Demi merawat pasien Covid-19 dan pejuang perlawanan terhadap junta militer Myanmar, banyak perawat diam-diam membuka klinik darurat di perkampungan. Obat-obatan pun harus dicari sendiri dengan cara diselundupkan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Di tengah perkampungan atau hutan, sekelompok perawat Myanmar bergerilya membuka klinik-klinik darurat demi merawat pasien-pasien Covid-19 dan para pejuang perlawanan anti-junta militer. Para perawat itu juga berjuang membawa masuk obat-obatan dengan menyelundupkannya melewati pos-pos pemeriksaan militer.
Saat bertugas membantu pasien, para perawat yang semuanya sukarelawan itu selalu membawa tas isi lengkap ke mana-mana. Mereka selalu dalam posisi siap siaga untuk segera lari apabila posisi mereka ketahuan oleh junta militer.
Selama ini tenaga medis selalu berada di ujung tombak dalam gerakan pembangkangan rakyat menentang kudeta militer, sejak Februari lalu. Kekerasan junta militer terhadap rakyat Myanmar telah menewaskan hingga lebih dari 1.300 orang.
Akibat gerakan pembangkangan rakyat dan pemboikotan lembaga-lembaga pemerintah, banyak rumah sakit kekurangan karyawan dan tenaga medis. Apalagi, karena junta militer menangkap dan membunuh banyak tenaga medis yang ikut protes turun ke jalan.
Aye Naing—bukan nama sebenarnya—memutuskan meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit segera setelah kudeta militer meletus. Sejak Juni lalu ia menjadi sukarelawan di Negara Bagian Kayah. Di wilayah ini, militer Myanmar dan anggota perlawanan antikudeta kerap bentrok.
”Kalau, misalnya, ada pertikaian, kami harus segera lari dan bersembunyi di hutan,” kata Aye Naing di klinik darurat yang dibangun di sekolah yang tidak dipakai lagi di dekat kota Demoso, Negara Bagian Kayah.
Setelah diterjang gelombang pandemi Covid-19, Juni lalu, dengan kasus sampai 40.000 kasus, junta militer mengklaim, kasus baru sudah turun menjadi sekitar 150 hari per hari dan varian Omicron disebutkan belum ada di Myanmar. Namun, tidak ada data yang pasti karena sistem layanan kesehatan Myanmar nyaris lumpuh sehingga tes Covid-19 pun terbatas.
Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), di Kayah terdapat sekitar 85.000 orang yang mengungsi akibat gejolak kekerasan di daerah itu. Kamp-kamp pengungsian yang padat dikhawatirkan akan memudahkan penyebaran Covid-19.
Sebagian besar pasien Aye Naing datang dari keluarga pengungsi dan anggota perlawanan dari kelompok milisi Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) yang tersebar di seluruh negeri untuk melawan junta militer.
”Saya diberi tahu, tidak banyak dokter dan tenaga medis di sini, padahal masyarakat di sini membutuhkan bantuan. Jadi, saya memutuskan untuk datang ke sini dan mencoba membantu dan mencarikan persediaan obat-obatan,” kata Aye Naing.
Di salah satu desa, tim Aye Naing juga melakukan tes swab gratis. Warga yang kemudian diketahui positif diberi obat parasetamol atau vitamin. Hanya itu obat-obatan yang tersedia. Oksigen-oksigen hasil sumbangan warga juga harus digunakan dengan hemat. Proses pengisian ulangnya tak mudah karena harus dibawa ke kota besar dan melewati pos-pos pemeriksaan militer di sepanjang jalan.
Setelah selesai piket, Aye Naing selalu segera melepaskan semua pakaian perlindungan dirinya dan membersihkannya, termasuk masker, lalu dikeringkan untuk kemudian digunakan lagi keesokan harinya. Tidak ada stok pakaian dan alat pelindung diri (APD) yang baru sehingga harus bertahan dengan yang ada.
Laporan dari lembaga internasional Human Rights Watch menyebutkan, junta militer memblokir bantuan kemanusiaan dan obat-obatan yang hendak dikirimkan ke daerah-daerah yang diketahui melawan junta militer.
”Tentara biasanya memeriksa siapa pun yang lewat dan menahan mereka yang membawa obat-obatan. Ini pekerjaan penuh risiko,” kata Hla Aung, perawat yang juga bekerja di klinik darurat.
Laporan dari lembaga internasional Insecurity Insight, Dokter untuk Hak Asasi Manusia, dan Johns Hopkins University menyebutkan bahwa selama enam bulan setelah kudeta, setidaknya ada 90 tenaga medis ditahan dan 25 orang tewas.
Meski pekerjaannya berisiko tinggi, Aye Naing mengaku akan tetap bertahan. ”Dukungan orangtualah yang membuat saya kuat. Ayah saya juga sudah mengirimkan banyak obat untuk membantu warga,” ujarnya. (AFP)