Serangan dan perintah penangkapan terhadap tenaga kesehatan oleh junta militer Myanmar menyebabkan layanan kesehatan tidak berfungsi. Banyak dokter dan perawat bersembunyi dari kejaran junta.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
YANGON, MINGGU — Sistem layanan kesehataan Myanmar semakin kesulitan menangani pandemi Covid-19 selepas kudeta 1 Februari 2021. Pekerja kesehatan dan warga menolak datang ke rumah sakit yang dikelola pemerintah. Sementara klinik swasta kesulitan sumber daya untuk menangani pandemi.
Selepas kudeta, ratusan dokter dan perawat ditangkap junta. Sebab, mereka menolak mengakui kudeta dan bekerja untuk junta. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, 150 pekerja kesehatan ditangkap dan 13 tewas.
Selain itu, tercatat sedikitnya 179 serbuan oleh aparat terhadap pekerja dan fasilitas kesehatan. Junta juga menerbitkan perintah penangkapan atas ratusan dokter dan perawat karena dituding menghasut warga untuk menentang junta.
Kombinasi fakta-fakta itu membuat banyak tenaga kesehatan menolak ajakan junta untuk kembali bekerja di klinik dan rumah sakit pemerintah. Sebagian dari mereka memilih bekerja di klinik dan rumah sakit swasta. Salah satunya rumah sakit Chika di dekat perbatasan Myanmar-India.
Dalam laporan Reuters pada Minggu (30/5/2021), rumah sakit itu merawat sejumlah pasien Covid-19. ”Kami tidak punya cukup oksigen, peralatan kesehatan, listrik, dan dokter serta ambulans. Dari 11 orang, hanya 3 orang yang bisa bekerja,” kata kepala perawat di rumah sakit itu, Lun Za En.
Perawat di rumah sakit hanya bisa menyediakan mesin pengubah cairan penyegar saluran pernapasan menjadi uap. Pasien yang menghirup uap dari mesin itu bisa lebih terbantu kemampuan bernafasnya.
Seharusnya, pasien Covid-19 dilayani dengan mesin penyaring oksigen dari udara. Masalahnya, mesin itu membutuhkan listrik. Sementara pasokan listrik ke RS Cikha hanya beberapa jam setiap hari.
Lun Za En dan sejumlah rekannya menolak mogok. Sebab, mereka khawatir tidak ada yang merawat pasien apabila mereka ikut mogok. ”Junta tidak akan mengurus pasien kami,” katanya.
RS Cikha merupakan salah satu tujuan warga Myanmar untuk berobat. Sebab, banyak rumah sakit dan klinik di berbagai penjuru Myanmar tutup. Mayoritas karena pekerjanya menghindari kejaran aparat.
Bukan hanya rumah sakit, pusat pemeriksaan gejala Covid-19 juga banyak yang tutup. Akibatnya, pemeriksaan menurun drastis dari rata-rata 1.700 per hari menjadi maksimal 1.200 per hari. Penurunan jumlah pemeriksaan dikhawatirkan membuat sebaran Covid-19 tidak terpantau secara akurat.
Gara-gara tes menurun, jumlah pasien Covid-19 juga berkurang. Di salah satu rumah sakit di Yangon, perawat mengaku sudah lama tidak menerima pasien baru.
WHO sangat cemas dengan fakta itu. Apalagi, India dan Thailand yang bersebelahan dengan Myanmar kini menghadapi lonjakan kasus Covid-19. Sejak dulu, warga Myanmar bolak-balik ke India dan Thailand untuk berbagai alasan. Mobilitas itu dikhawatirkan membuat penyebaran Covid-19, termasuk virus galur baru, menjadi amat cepat di Myanmar. Apalagi, layanan kesehatan di Myanmar mendekati titik tidak mampu melayani pasien Covid-19.
Bila negara tetangga punya rencana untuk penanganan, dengan segala dinamikanya, junta Myanmar sama sekali tidak pernah menunjukkan kejelasan cara menghadapi pandemi. Mayoritas tenaga kesehatan yang tidak mau bekerja menjadi salah satu alasan Myanmar kesulitan menghadapi pandemi. Tenaga kesehatan memilih bersembunyi daripada ditangkap atau bekerja untuk junta.
Pemerintahan tandingan
Tidak hanya junta, kelompok oposisi juga tidak pernah mengungkap rencana penanganan pandemi. Sejak kudeta, kelompok oposisi masih sibuk menyelamatkan diri dari kejaran junta sembari terus berkonsolidasi.
Dalam pernyataan pada Sabtu (29/5/2021), Barisan Nasional Chin (CNF) menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG). Sejumlah tokoh oposisi membentuk NUG dan berusaha mencari pengakuan sebagai pemerintahan Myanmar yang sah.
CNF dan NUG menyatakan akan bersama-sama menghancurkan kediktatoran dan menerapkan sistem demokrasi federal di Myanmar. Mereka menyatakan saling mengakui dan bermitra secara sejajar.
CNF merupakan salah satu kelompok pemberontak di Myanmar. Pada 2015, CNF menandatangani gencatan senjata dengan pemerintah Myanmar. Selepas kudeta, CNF dan beberapa pemberontak mengecam kebrutalan oleh junta.
Pakar Myanmar pada International Crisis Group, Richard Horsey, mengatakan, kesepakatan CNF-NUG hanya simbolis. Sebab, CNF tidak punya kekuatan militer yang sesungguhnya. Meski demikian, CNF dihormati banyak pihak karena faktor pemimpin mereka. (AFP/REUTERS)