Stop Pasokan Dana bagi Junta, Perusahaan Energi Tunda Bayar Dividen ke Myanmar
Beberapa perusahaan minyak dan energi multinasional menunda pembayaran dividen kepada Pemerintah Myanmar di tengah kekhawatiran dana itu digunakan untuk membiayai junta militer Myanmar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
SEOUL, SABTU — Posco International Korea Selatan, perusahaan multinasional yang salah satu bidang usahanya adalah energi, menyatakan bahwa mereka tengah meninjau ulang pembayaran dividen untuk proyek gas mereka di Myanmar. Langkah ini menyusul tindakan yang sama dari dua perusahaan energi raksasa, Total dan Chevron, sebagai bagian dari upaya untuk menyetop sumber keuangan junta militer Myanmar.
”Kami tengah mengkaji hal yang diminta komunitas internasional untuk dilakukan, termasuk menangguhkan pembayaran dividen. Pembahasan internal dilakukan dari berbagai sudut dan tidak mudah dilakukan karena kontraknya melibatkan banyak orang,” kata seorang juru bicara Posco International kepada kantor berita Reuters.
Posco International adalah pemilik saham mayoritas dalam proyek gas Shwe di Myanmar dengan menggandeng perusahaan minyak dan gas alam India, ONGC dan GAIL, serta MOGE (Myanmar Oil and Gas Enterprise), semacam badan usaha milik negara milik Pemerintah Myanmar. Mereka bersama-sama mengelola tiga ladang gas alam di Teluk Benggala, lepas pantai barat Myanmar.
Selain mengelola ladang gas alam, Posco International juga memiliki saham pada proyek jalur pipa distribusi gas alam dari Myanmar ke China.
Masyarakat Sipil Korea Pendukung Demokrasi di Myanmar, sebuah gerakan hak asasi manusia di Korsel, menyambut baik rencana Posco untuk meninjau pembayaran atas proyek tersebut dan mendesak tindakan segera. ”Kejahatan militer dibiayai oleh minyak dan gas. Posco harus bertindak sekarang untuk menangguhkan semua pembayaran kepada junta,” kata Kinam Kim, seorang pengacara hak asasi manusia dan juru bicara organisasi tersebut.
Sehari sebelumnya, Total dan Chevron, dua raksasa energi yang bermarkas di Perancis dan Amerika Serikat, telah memutuskan menangguhkan sejumlah pembayaran usaha patungan gas mereka di Myanmar.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan manajemen Total, mereka menyatakan, mengingat situasi yang tidak stabil di Myanmar dan setelah sebuah usulan bersama dengan para pemegang saham Chevron pada pertemuan Perusahaan Transportasi Gas Moattama, mereka memutuskan untuk menangguhkan semua distribusi uang tunai.
Di perusahaan itu, Total merupakan pemegang saham terbesar dengan persentase kepemilikan saham sebesar 31,24 persen. Sementara Chevron menguasai 28 persen saham. Sisanya dimiliki oleh PTTEP (PTT Exploration and Production), sebuah perusahaan Thailand, serta MOGE.
Dalam pernyataannya, Total mengecam keras pelanggaran dan kekerasan terkait hak asasi manusia di Myanmar. Perusahaan itu menegaskan bahwa mereka akan mematuhi setiap keputusan yang diambil oleh komunitas internasional dan nasional yang relevan, termasuk sanksi yang dikeluarkan oleh otoritas Uni Eropa atau Amerika Serikat.
Sementara manajemen Chevron menyatakan, krisis kemanusiaan di Myanmar membutuhkan respons bersama untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Myanmar.
”Setiap tindakan harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk memastikan rakyat Myanmar tidak lagi dirugikan oleh konsekuensi yang tidak diinginkan dan tak terduga dari keputusan yang dimaksudkan baik,” menurut pernyataan manajemen perusahaan.
Analis Rystad Energy, Readul Islam, mengatakan, kebijakan perusahaan energi raksasa merupakan sebuah terobosan karena sejauh ini belum ada sanksi internasional yang menargetkan kegiatan operasional proyek hidrokarbon di negara tersebut. ”Suasana hati tampaknya telah berubah, terutama kalau mengingat sejarah masa lalu Total yang mempertahankan operasinya di Myanmar,” kata Islam.
Operasional militer
Para aktivis sipil Myanmar beserta jaringannya di regional dan internasional selama beberapa bulan terakhir mendesak pemerintah dan perusahaan asing yang beroperasi di negara itu untuk meninjau kembali aktivitasnya sekaligus menutup kemungkinan uang tersebut masuk ke kantong para petinggi junta militer.
Seperti dilansir laman kantor berita Anadolu, selama bertahun-tahun beroperasi di Myanmar, Total telah menjadi salah satu penopang pendanaan bagi junta militer Myanmar. Surat kabar Perancis, Le Monde, yang mengakses dokumen finansial ini, menurut Anadolu, melaporkan bahwa ladang gas Yadana yang menjadi sumber pasokan gas di pasar lokal Myanmar dan Thailand telah mengalihkan pendapatannya ke MOGE yang dikelola oleh eksekutif militer dan sejumlah pensiunan perwira tinggi.
Pendapatan dari Total adalah salah satu sumber pendapatan terbesar bagi militer Myanmar yang menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pemenang pemilu November 2020.
Menurut dokumen tersebut, pada tahun 2019, Moattama Gas Transportation Company (MGTC), perusahaan mitra Total, yang mengangkut gas dari Yadana ke Thailand, mengumumkan omzet hampir senilai 523 juta dollar AS. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran yang tercatat hanya sebesar 11 juta dollar AS.
Keuntungan yang didapat dari eksploitasi ladang gas Yadana dibayarkan dalam bentuk dividen bebas pajak kepada militer. Pemerintah Myanmar hanya mendapatkan sedikit royalti atas nilai eksploitasi gas yang sebenarnya, terutama karena tingginya biaya transportasi yang dipotong dari pendapatan ladang gas.
Menurut laporan tahunan Total 2020, jumlah yang dibayarkan ke Kementerian Keuangan Myanmar tiga hingga empat kali lebih rendah daripada yang didistribusikan ke pemegang saham bersama MOGE, kata laporan itu. Menanggapi laporan Le Monde, Total membela operasinya dengan mengatakan bahwa keuntungan proyek Yadana berada dalam rata-rata industri.
Justice for Myanmar, sebuah kelompok hak asasi, telah meminta Total untuk menangguhkan pembayarannya kepada junta militer dan menempatkan keuntungan dalam rekening yang dilindungi sampai demokrasi kembali. ”Ratusan juta dollar pendapatan gas, yang seharusnya masuk ke rakyat Burma, dimasukkan ke rekening luar negeri di surga pajak dan dikendalikan oleh junta militer yang meneror rakyat,” kata Yadanar Maung, juru bicara lembaga itu.
Namun, Maung menyatakan, keputusan Total yang akhirnya mau menangguhkan pembayaran dividen adalah hanya satu dari sekian banyak sumber pendapatan dari kerja sama perusahaan itu dengan MOGE.
”Ini hanya sebagian kecil dari pendapatan yang diterima junta dari operasi Total di Myanmar, yang juga termasuk bagian pendapatan gas negara, royalti, dan pajak pendapatan perusahaan,” kata Maung. (AFP/REUTERS)