Cerita perjalanan Dubes RI untuk Spanyol memberikan gambaran yang menarik soal mayoritas-minoritas. Pesan toleransinya menginspirasi gagasan poros Madrid-Jakarta.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Spanyol, negara berpenduduk mayoritas pemeluk Katolik, menempati posisi unik di Eropa. Pada abad ke-8 hingga ke-15, kekhalifahan Islam pernah berdiri di negara itu. Pada era kejayaannya, sejumlah ilmuwan Muslim muncul, beberapa yang menonjol adalah Ibnu Rusyd—di Barat dikenal dengan Averroes—lalu Ibnu Hazm dan Al-Zahrawi. Jejak-jejak peninggalan Islam di negara itu masih bisa disaksikan hari ini.
Mengawali tugas diplomatiknya di negara tersebut, seperti ditulis harian ini, Rabu (22/12/2021), Duta Besar RI untuk Spanyol Muhammad Najib mengadakan perjalanan ke sejumlah kota. Salah satunya adalah kota Toledo, sekitar 72 kilometer barat daya ibu kota Madrid. Toledo dulu juga menjadi tempat penting pada era kekhalifahan Islam.
Kota tersebut menarik perhatian Najib. Di kota itu, setiap tahun digelar tradisi parade Corpus Christi, salah satu tradisi yang mencerminkan toleransi beragama, khususnya Islam, Katolik, dan Yahudi.
Salah satu pertanyaan di benak Najib sebagai dubes dari negara berpenduduk mayoritas Muslim: apakah komunitas Muslim di sana mengalami diskriminasi? Wajar pertanyaan itu muncul di tengah kabar soal islamofobia yang belakang kerap menghiasi media, termasuk di Eropa.
Dari observasi plus keterangan yang disampaikan warga Muslim setempat, Dubes Najib menyimpulkan bahwa tak ada diskriminasi dan marjinalisasi terhadap kaum Muslim sebagai kelompok minoritas. Kesimpulan serupa diperoleh dalam perjalanannya ke kota Segovia, 91 kilometer barat laut Madrid. Di kota itu, berdiri Masjid As-Salam. Senada dengan warga Muslim di Toledo, pengurus masjid itu menyampaikan kepada Najib bahwa tak ada diskriminasi ataupun intoleransi.
Gambaran empiris tentang hubungan mayoritas-minoritas di Spanyol, yang diceritakan Najib, menarik jika direfleksikan ke Tanah Air. Jika di Spanyol mayoritas penduduknya adalah Katolik, Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim. Ada ruang dan kesempatan bersama bagi kedua negara untuk berbagi pengalaman soal toleransi beragama, termasuk perlindungan kelompok minoritas. Ada benang merah moderasi beragama di kedua negara yang perlu terus dikembangkan.
Poros Madrid-Jakarta, demikian Najib menyebut kerja sama tersebut. Gagasan-gagasan tentang toleransi, moderasi beragama, dan perlindungan kelompok minoritas ini penting untuk terus digaungkan, apalagi di tengah zaman sekarang yang juga ditandai dengan menguatnya identitas kelompok.
Harus diakui, masih ada sejumlah kabar kurang menggembirakan terkait isu perlindungan minoritas di Tanah Air. Meski demikian, arus utama moderasi dan toleransi beragama tidak boleh tenggelam, apalagi sampai kalah dalam narasi dan pesan, oleh segelintir kelompok kecil di negeri ini. Di sinilah, kita bisa memahami relevansi ide poros Madrid-Jakarta itu.