Saham Asia dan Harga Minyak Turun Tertekan Merebaknya Galur Omicron
Para pelaku pasar khawatir pemulihan ekonomi akan terganggu jika ledakan kasus Omicron tidak terkendali.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
SYDNEY, SENIN — Pasar saham Asia jatuh dan harga minyak turun pada awal pekan ini, Senin (20/12/2021), dipicu oleh lonjakan kasus varian baru Covid-19, Omicron. Situasi ini menyebabkan negara-negara, terutama di Eropa, melakukan pembatasan lebih ketat. Para pelaku pasar khawatir pemulihan ekonomi akan terganggu jika ledakan kasus Omicron tidak terkendali.
Indeks saham di China turun 0,4 persen di saat indeks MSCI untuk pasar saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,8 persen. Indeks Nikkei Jepang anjlok 1,7 persen, sedangkan indeks saham Korea Selatan 1,2 persen. Indeks S&P 500 berjangka turun 0,8 persen, sementara Nasdaq berjangka melemah hampir 1 persen. Indeks EUROSTOXX 50 berjangka anjlok 1,1 persen dan FTSE berjangka 1,0 persen.
Harga minyak melemah di tengah kekhawatiran penyebaran galur Omicron akan menghambat permintaan bahan bakar dan mengakhiri tanda-tanda membaiknya pasokan. Harga minyak Brent turun 1,66 dollar AS menjadi 71,86 dollar AS per barel. Adapun harga minyak mentah WTI melemah 1,44 dollar AS menjadi 69,42 dollar AS per barel.
Sentimen meringankan bagi pasar keuangan datang dari Beijing. Otoritas China memangkas suku bunga pinjaman satu tahun dan dibekukan dalam waktu 20 bulan. Sejumlah pihak di China berharap otoritas melonggarkan suku bunga lebih lanjut hingga lima tahun.
Sebagaimana diwartakan, akibat penyebaran galur Omicron, Belanda telah mengambil langkah untuk mengunci wilayahnya pada Minggu (19/12/2021). Langkah itu memberi tekanan kepada negara-negara lain di Eropa untuk mengambil langkah serupa.
”Omicron akan menjadi sesuatu yang mencuri Natal di Eropa,” kata Tapas Strickland, direktur ekonomi di lembaga NAB. ”Dengan kasus Omicron berlipat ganda setiap 1,5-3 hari, potensi sistem rumah sakit kewalahan—bahkan dengan vaksin yang efektif—tetap ada.”
Di saat langkah pembatasan kegiatan warga dapat mengaburkan prospek pertumbuhan ekonomi, negara-negara maju menghadapi risiko inflasi yang tinggi.
Di saat langkah pembatasan kegiatan warga dapat mengaburkan prospek pertumbuhan ekonomi, negara-negara maju menghadapi risiko inflasi yang tinggi. Kondisi itu membuat langkah-langkah oleh bank sentral ditunggu.
Naikkan suku bunga
Bank sentral Inggris atau Bank of England (BoE) pada Kamis (16/12/2021) pekan lalu menjadi bank sentral negara anggota G-7 pertama yang menaikkan suku bunga acuannya sejak pandemi Covid-19 memukul ekonomi global. BoE menyatakan harus bertindak sekarang, bahkan ketika Covid-19 galur Omicron melanda Inggris.
Perlu dicatat bahwa otoritas bank sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) secara terbuka telah berbicara tentang kenaikan suku bunga segera setelah Maret tahun depan. The Fed juga kemungkinan mulai menurunkan neraca bank sentral pada pertengahan 2022.
Para pelaku pasar memperkirakan peluang kenaikan Fed Rate sebesar 40 persen pada bulan Maret 2022. Diperkirakan, pada bulan Juni 2022 suku bunga Fed Rate akan dinaikkan.
Pernyataan The Fed seperti itu menjadi alasan utama imbal hasil US Treasury jangka panjang turun pekan lalu. Hal itu menjadikan kurva imbal hasil US Treasury dengan tenor 2-10 tahun cenderung mendatar mendekati kondisi paling datar sejak akhir 2020. Gambaran itu mencerminkan risiko bahwa kebijakan yang lebih ketat akan menyebabkan resesi.
Ekonom Bank of America melihat risiko ini sebagai alasan untuk bersikap lebih pesimistis pada pasar saham. Meski demikian, survei terbaru terhadap para para pengelola dana menunjukkan bahwa hanya 6 persen dari mereka yang memproyeksikan terjadi resesi pada tahun depan dan hanya 13 persen yang melihat potensi pertumbuhan saham secara negatif. Sebagian besar dari mereka tetap optimistis pada saham-saham sektor teknologi.
Mereka juga mencatat bahwa untuk tahun 2021, saham-saham perusahaan di sektor energi, khususnya minyak, memberikan keuntungan tertinggi dengan keuntungan sebesar 48 persen. Saham-saham di sektor keuangan juga tercatat tumbuh hingga 21 persen secara keseluruhan.
Adapun sektor saham yang memberatkan adalah saham-saham bioteknologi yang tercatat minus 22 persen. Data menunjukkan tahun ini adalah tahun terbaik untuk kinerja komoditas sejak 1996, tetapi menjadi tahun terburuk untuk obligasi pemerintah global sejak tahun 1949.
Pada awal pekan ini imbal hasil surat utang AS dengan tenor 10 tahun turun 1,38 persen dan jauh di bawah level puncak sepanjang tahun ini di level 1,78 persen. Pergantian wacana terkait kenaikan suku bunga oleh The Fed, yang dikombinasikan dengan aliran modal dari negara-negara surga pajak, mendukung kenaikan indeks dollar AS. Indeks dollar AS naik mendekati level tertingginya tahun ini di level 96,674, menyusul lonjakan 0,7 persen pada Jumat (17/12/2021).
Sementara itu, nilai tukar euro melemah dan berada di level 1,12 per dollar AS. Mata uang euro turun 0,8 persen terhadap dollar AS pada Jumat, mendekati level terendah tahun ini di level 1,11 per dollar AS.
Adapun nilai tukar yen Jepang bertahan stabil di level 113,49 per dollar AS. Nilai tukar poundsterling turun ke level 1,32 per dollar AS karena kekhawatiran tentang Omicron menghapus semua keuntungan yang telah diraih setelah kenaikan suku bunga yang mengejutkan oleh BoE pada tengah pekan lalu. (AFP/REUTERS)