PBB: 5.000-7.000 Warga Etnis Tigray dan Oromo di Penjara
Konflik di Etiopia hingga kini belum terungkap jumlah persis korbannya. Akan tetapi, tercatat 5.000-7.000 orang ditahan oleh pemerintah, termasuk wartawan dan pegawai PBB.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
GENEVA, JUMAT — Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Etiopia sudah parah. Perkiraannya, 5.000 hingga 7.000 orang, terutama warga dari kelompok etnis Tigray dan Oromo, ditahan oleh pemerintah atas tuduhan pembangkangan. Bahkan, terungkap juga kasus penyiksaan dan pembunuhan terhadap kedua kelompok etnis tersebut.
Laporan tersebut diluncurkan di markas Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB di Geneva, Swiss, Jumat (17/12/2021). Konflik di Etiopia telah berlangsung selama 13 bulan dan menjadi perang terbuka antara pasukan pemerintah federal dan tentara pemberontak.
”Segera hentikan segala jenis bentuk kekerasan terhadap warga dari kelompok etnis Tigray dan Oromo. Pemerintah dan simpatisannya jangan lagi mengeluarkan pernyataan yang bisa memicu kekerasan, baik di media arus utama maupun media sosial,” kata Wakil Ketua Komisi HAM PBB Nada Al-Nashif. Sebanyak sembilan pegawai PBB juga ditahan oleh Pemerintah Etiopia.
Konflik dimulai pada November 2020. Ketika itu, pasukan federal atas perintah Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed menyerbu Provinsi Tigray. Ahmed menuduh partai politik yang berkuasa di sana membangkang terhadap pemerintah dan menyerang markas tentara federal di Tigray.
Tindakan dari pusat ini memicu kemarahan gerakan separatis di Tigray. Mereka balik memukul pasukan federal. Bahkan, pasukan pemberontak mampu mengambil wilayah hingga 200 kilometer dari ibu kota Addis Ababa. Sejak saat itu, meletus pertempuran terbuka.
Di kesempatan yang berbeda, lembaga swadaya masyarakat Amnesty International dan Human Rights Watch mengeluarkan laporan gabungan yang mengungkapkan ada upaya menargetkan orang-orang dari etnis Tigray dan Oromo. Laporan ini merupakan hasil wawancara dengan para penyintas dari kedua kelompok etnis tersebut, saksi mata, dan anggota aparat pemerintahan di bawah anonimitas.
Semua mengatakan bahwa tentara pemerintah, baik yang turun langsung dari pusat maupun dengan menggunakan kekuatan kelompok etnis yang pro pemerintah, sengaja mengincar orang-orang Tigray dan Oromo. Mereka diusir dari tempat tinggal dan diangkut dengan truk ke kemah-kemah penahanan.
Bagi yang berusaha kabur sebelum rumah mereka dirazia tentara pemerintah, mereka harus menyabung nyawa. ”Kami melewati jalanan dengan mayat-mayat di kanan kiri. Mereka adalah orang-orang yang berusaha melarikan diri seperti kami, tetapi ketahuan dan dibunuh oleh tentara pemerintah,” kata salah seorang penyintas.
Sementara itu, Komite Perlindungan Jurnalis yang berbasis di New York, Amerika Serikat, mencatat bahwa sejak Pemerintah Etiopia menyatakan situasi darurat per 2 November lalu, 14 wartawan ditahan, semua dengan alasan yang dicari-cari. Penahanan terakhir dilakukan terhadap tiga wartawan dengan tuduhan mempromosikan kelompok teroris.
Ketiga wartawan itu adalah Amir Aman Kiyaro yang merupakan wartawan lepas untuk kantor berita Associated Press (AP) serta Thomas Enginada dan Addisu Muluneh dari stasiun televisi nasional Etiopia, Fana Broadcasting. Mereka diketahui melakukan wawancara dengan Tentara Pembebasan Oromo (OLA) yang dicap sebagai kelompok teroris oleh pemerintah.
”Ketiganya melanggar Undang-Undang Antiterorisme. Memberi panggung kepada kelompok teroris sama saja dengan mempromosikan aksi teror,” kata Inspektur Kepolisian Federal Etiopia Tesfaye Olani. Menurut dia, para wartawan itu terancam hukuman pidana kurungan hingga 15 tahun.
Editor Eksekutif AP Julie Pace meminta Pemerintah Etiopia agar segera membebaskan Kiyaro. Ia menjelaskan, sudah tugas wartawan untuk meliput suatu permasalahan dari persepsi semua pihak yang bersangkutan. Mewawancarai kelompok yang berlawanan dari pemerintah ialah guna mendudukkan perkara dan memberi tahu kepada masyarakat global. Atas alasan inilah mengapa kerja jurnalistik menjadi penting.
Sementara Duta Besar Etiopia untuk PBB Zenebe Kebede menyatakan keberatan dengan laporan Komisi HAM PBB. ”Ini fitnah terhadap Pemerintah Etiopia yang berjuang mempertahankan kedaulatan negara. Laporan ini disusun dengan prinsip neokolonialisme yang tidak adil terhadap Etiopia,” ujarnya. (AFP/REUTERS)