Selama generasi muda masih bergerak, nyala api demokrasi Myanmar tak akan padam. Hanya, mereka tak bisa bergerak sendirian dan membutuhkan dukungan komunitas internasional karena krisis kemanusiaan di ambang pintu.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Sudah hampir satu tahun kudeta militer, situasi Myanmar tak kunjung membaik. Junta militer juga seakan tak peduli. Padahal, junta sudah mendapat tekanan dari komunitas internasional, seperti ASEAN yang tidak mengundang Myanmar ikut KTT ASEAN. Sanksi-sanksi pun belum mempan. Kini, Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris menjatuhkan sanksi lagi pada puluhan orang dan pejabat pemerintah serta entitas bisnis yang berafiliasi dengan junta militer karena terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar.
Hanya, sanksi-sanksi yang dijatuhkan selama ini belum mempan karena menurut organisasi hak asasi manusia (HAM) Global Witness, tidak memengaruhi industri gas alam Myanmar. Industri gas alam merupakan sumber penghasilan junta militer. Jika itu tidak terganggu, junta militer pun tidak akan terdampak.
Keputusan pengadilan menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan meringankan menjadi 2 tahun pada Aung San Suu Kyi (76) juga menunjukkan junta seakan tak terganggu dengan tuntutan dan protes rakyat dalam dan luar negeri. Suu Kyi didakwa bersalah atas tuduhan menghasut dan melanggar protokol kesehatan Covid-19. Ini baru putusan kasus pertama dari belasan tuntutan yang dijatuhkan padanya. Namun, Suu Kyi membantah semua tuduhan.
Komunitas internasional mengecam putusan itu dan junta menilai reaksi komunitas internasional sebagai bentuk campur tangan pada proses hukum dan masalah dalam negeri Myanmar. Junta militer menegaskan posisi semua orang sama di depan hukum dan tidak ada yang kebal hukum. Hubungan Myanmar dengan komunitas internasional memburuk sejak kudeta. Apalagi dengan banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan junta militer. Pekan lalu, junta militer dilaporkan membunuh 11 warga Sagaing dan membakar jasad mereka. Ini lagi-lagi menuai protes dan kecaman.
Memprotes junta militer, pengunjuk rasa anti-kudeta kembali mogok, menutup usaha, dan mengosongkan jalanan. Tidak ada toko, restoran, dan warung yang buka, bahkan tak ada satu pun pedagang kaki lima. Jalanan yang biasanya macet relatif lebih sepi. ”Kami mau memberitahukan pada dunia soal pelanggaran HAM yang parah di Myanmar. Diam itu teriakan yang paling keras. Kami menuntut hak kami dan harus ada revolusi,” kata ketua pemrotes, Khin Sandar.
Gelombang protes yang digerakkan oleh anak muda menunjukkan setidaknya Myanmar masih memiliki harapan untuk tetap bisa bergerak menuju negara demokrasi. Upaya memenjarakan Suu Kyi memang akan menjauhkannya dari politik. Namun, generasi muda yang sebelumnya sempat merasakan suasana kebebasan di era sebelum kudeta militer tidak akan bisa dibungkam.
”Kudeta dan setelahnya bukan akhir dari proses demokratisasi Myanmar karena terbukti generasi muda tetap memperjuangkan demokrasi. Kudeta justru menunjukkan akhir yang dramatis bagi generasi kepemimpinan Myanmar yang lebih tua,” kata Priscilla Clapp, yang pernah menjadi kepala misi AS di Myanmar pada 1999-2002.
Gerakan prodemokrasi kini menghadapi tantangan untuk tetap melanjutkan perlawanan terhadap junta militer. Mereka mendesak komunitas internasional untuk terus menekan agar pemerintahan sipil dan terpilih bisa kembali berkuasa. Selain itu, mereka mengonsolidasikan dukungan dari kelompok-kelompok etnis yang sejak lama memperjuangkan pemerintah pusat.
Tidak seperti generasi sesepuh, anak-anak muda Myanmar, terutama yang tinggal di perkotaan, lahir dan besar dalam suasana kebebasan. Tidak ada kekhawatiran akan dipenjara hanya karena mengekspresikan diri dan berpendapat. Mereka sudah hidup bersama gawai canggih, media sosial Facebook, dan tumbuh besar dengan memercayai bahwa negaranya bergerak ke arah lebih baik. Bukan malah mundur seperti sekarang.
Anak-anak muda Myanmar juga lebih mudah mendekati kelompok-kelompok etnis minoritas ketimbang generasi sesepuh. Mereka tidak hanya membentuk pemerintahan bayangan yang melibatkan etnis minoritas di dalam kabinetnya, tetapi juga beraliansi dengan kelompok milisi etnis yang selama ini memperjuangkan otonomi dan hak untuk menguasai tanah yang kaya akan sumber daya alam.
Mereka tetap melawan kudeta dan di saat yang sama mereka juga merundingkan sistem politik yang lebih demokratis dan lebih beragam secara etnis. ”Ini yang tidak pernah terjadi pada gerakan perlawanan terhadap junta militer sebelumnya karena dulu belum ada pengalaman dengan institusi-institusi demokrasi,” kata Clapp.
Generasi muda yang sejak awal turun ke jalan juga mendapatkan dukungan dari rakyat karena mereka dianggap membawa harapan baru. Kepemimpinan Suu Kyi sempat dinilai mengecewakan, terutama oleh komunitas internasional, karena tidak memperjuangkan nasib kelompok etnis Rohingya. Pada masa Suu Kyi pula, tetap ada undang-undang keamanan zaman kolonial Inggris yang digunakan untuk mengadili siapa saja yang membelot atau kritis pada pemerintah. ”Ini melanggengkan pembungkaman perbedaan pendapat,” kata Jane Ferguson, pakar Myanmar dari Australian National University.
Semasa Suu Kyi itu juga, meski militer sudah tak berkuasa memegang tampuk kepemimpinan, mereka tetap masih bisa mengendalikan pemerintahan. Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional di George Washington University, Christina Fink, menilai junta militer akan tetap melakukan apa saja hanya untuk meneror rakyat agar patuh dan takut pada militer.
”Dulu memang mereka berhasil pakai cara itu. Tetapi sekarang beda. Kelompok oposisi sekarang lebih tersebar dan bentuk perlawanannya beda-beda. Junta militer semakin susah menanganinya,” ujarnya.
Perjuangan memang masih panjang karena junta militer pasti akan berusaha bertahan. Namun, api demokrasi Myanmar belum padam selama anak-anak muda masih terus bergerak. Hanya, mereka tak bisa berjuang sendirian. Komunitas internasional harus tetap hadir menekan junta militer terus karena krisis kemanusiaan Myanmar sudah di ambang pintu. (REUTERS/AFP/AP)