Upaya Membangun Kebangkitan Arab Pascapandemi
Bangsa Arab berada di persimpangan jalan dan harus memilih satu dari dua pilihan: konflik terus-menerus atau membangun kerja sama. Tren saat ini, dunia Arab memilih kerja sama. Satu hal bisa mengacaukan pilihan itu.
Pada 13-15 November lalu, Pusat Kajian Politik Uni Emirat Arab (UEA) di Abu Dhabi menggelar seminar dengan tema ”Dunia Pascapandemi”. Di antara salah satu topik pembahasan tema itu adalah tentang kondisi bangsa Arab yang saat ini berada di persimpangan jalan.
Seminar tersebut mendapat perhatian cukup besar dari sejumlah media Arab. Dunia Arab dinilai harus mampu segera keluar dari belenggu pandemi yang sangat mengganggu kehidupan ekonomi dan kesehatan di kawasan tersebut selama hampir dua tahun terakhir ini.
Dunia Arab disebut cukup berhasil menekan penyebaran kasus positif Covid-19 yang melanda dunia sejak Maret 2020. Kini, penyebaran kasus positif Covid-19 di sebagian besar negara Arab rata-rata di bawah angka 1.000.
Menghadapi tahun 2022 dengan penuh optimistis ditetapkan sebagai era pascapandemi atau minimal masa transisi menuju era pascapandemi di dunia Arab. Maka, tahun 2022 harus dijadikan titik tolak untuk meraih kebangkitan kembali bangsa Arab yang sempat terpukul selama masa pandemi.
Baca juga : Menuju Timur Tengah Baru
Di sini, bangsa Arab berada di persimpangan jalan karena harus memilih salah satu di antara dua pilihan, yakni opsi konflik terus-menerus atau membangun kerja sama dan perdamaian.
Dua pilihan tersebut sama-sama terbuka di depan bangsa Arab saat ini. Opsi konflik telah diwariskan dari dampak Musim Semi Arab tahun 2011 yang mengobarkan perang saudara dan krisis politik di sejumlah negara Arab. Konflik dari dampak Musim Semi Arab itu terus berlanjut sampai saat ini di beberapa negara Arab, seperti di Sudan, Irak, Lebanon, dan Aljazair. Krisis politik di sejumlah Arab itu disebut Musim Semi Arab gelombang kedua. Bahkan, perang saudara masih berkecamuk sampai saat ini di Suriah dan Yaman.
Kini, tinggal memilih, apakah konflik tersebut akan terus dibiarkan tanpa ada solusi sehingga terus meluas, merambah ke lebih banyak negara Arab lagi. Atau memilih membangun jalan damai dan kerja sama, baik di antara elemen bangsa di sebuah negara Arab maupun di antara sesama negara Arab.
Dari tren yang terlihat saat ini, fenomena utama di dunia Arab memilih opsi perdamaian dan kerja sama menyambut era pascapandemi ini. Di dalam negeri sejumlah negara Arab, seperti Arab Saudi, UEA, dan Mesir, muncul tekad semakin kuat untuk menggulirkan dan mewujudkan reformasi ekonomi dan sosial-budaya.
Arab Saudi dengan dipimpin Putra Mahkota, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), terus melaju dengan proyek Visi 2030 sebagai proyek reformasi ekonomi dan sosial-budaya yang revolusioner di negara itu. UEA juga terus semakin gencar menyukseskan proyek Visi Abu Dhabi 2030. UEA juga melakukan rekonsiliasi dengan Turki dan rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus.
Baca juga : Karpet Merah bagi Sinema Arab Saudi
Putra Mahkota Abu Dhabi yang sekaligus dikenal penguasa de facto UEA, Mohammed bin Zayed (MBZ), melakukan kunjungan ke Ankara, Turki, dan bertemu Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 24 November lalu. Sebelumnya, pada 9 November lalu, Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed mengunjungi Damaskus dan bertemu Presiden Assad.
Mesir tidak ketinggalan pula turut meluncurkan proyek reformasi ekonomi lewat program ”Hidup Terhormat”. Proyek reformasi ini disampaikan oleh Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi dalam pertemuan dengan para pengusaha pada 15 Juli 2021.
Presiden Sisi menyebut program ”Hidup Terhormat” adalah bagian dari pelaksanaan Visi Mesir 2030 yang mengusung proyek pembangunan secara menyeluruh di semua sektor di Mesir. Bagian dari Visi Mesir 2030 adalah pembangunan ibu kota baru Mesir (sekitar 60 kilometer arah tenggara kota Kairo) dengan biaya sekitar 45 miliar dollar AS. Kantor-kantor Pemerintah Mesir pindah secara bertahap ke ibu kota baru itu mulai Desember ini.
Baca juga : Reformasi Ekonomi dan Masa Depan Mesir
Dalam konteks hubungan antarsesama negara Arab, MBS telah berhasil menggalang rekonsiliasi antara Qatar dan kuartet Arab (Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir) melalui forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di kota Al-Ula, Arab Saudi, pada Januari 2021.
Pengamat politik asal Arab Saudi, Abdulrahman al-Rashed, menulis editorial di harian Asharq Al-Awsat edisi Selasa (7/12/2021) dengan judul ”Mengubur Konflik Pascakesepakatan Al-Ula”. Ia menyebut, lawatan MBS ke negara-negara Arab Teluk pada pekan ini tidak berangkat dari ruang kosong, tetapi bertolak dari landasan yang kuat, yakni semangat rekonsiliasi Al-Ula.
Menurut Rashed, lawatan MBS tersebut melanjutkan dan sekaligus memperkuat misi rekonsiliasi Al-Ula. MBS merasa bertanggung jawab besar sebagai penggagas rekonsiliasi Al-Ula atas kelangsungan rekonsiliasi tersebut. MBS tampaknya menginginkan bersatunya barisan negara-negara Arab Teluk agar bisa memimpin gerakan rekonsiliasi di dunia Arab dan Timur Tengah.
Baca juga : Dinamika Menuju Ekosistem Baru Timur Tengah
MBS tentu tidak menginginkan rekonsiliasi di atas kertas saja atau rekonsiliasi hanya lahiriah. Ia menginginkan rekonsiliasi lahir-batin. MBS sangat menginginkan terwujudnya dunia Arab yang bisa bersatu sikap dalam menghadapi isu nuklir Iran, baik perundingan nuklir Iran yang sedang berlangsung di Vienna, Austria, itu berhasil maupun gagal mencapai kesepakatan nuklir baru.
MBS tidak menginginkan isu nuklir Iran memecah barisan dunia Arab, seperti isu Musim Semi Arab memecah dunia Arab. Perpecahan dunia Arab akibat isu Musim Semi Arab kini telah berhasil dirajut lewat KTT GCC di Al-Ula. Kemudian disusul rekonsiliasi Turki dengan Arab Saudi, UEA, dan Mesir.
Adapula komunikasi langsung antara Arab Saudi dan Iran lewat serangkaian dialog kedua negara tersebut di Baghdad, terakhir ini. UEA juga membangun komunikasi dengan Iran lewat kunjungan Penasihat Keamanan UEA Sheikh Tahnoon bin Zayed al-Nahyan ke Teheran, Senin (6/12/2021) lalu, dan bertemu Sekretaris Dewan Keamanan Tinggi Iran Ali Shamkhani. Sheikh Tahnoon juga bertemu dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi.
Rekonsiliasi tersebut terus harus dijaga dan harus mampu bertahan menghadapi isu besar, seperti isu nuklir Iran, apalagi jika perundingan nuklir Iran di Vienna mengalami jalan buntu alias gagal. Apabila perundingan gagal, isu nuklir Iran pasti menjadi sumber ketidakstabilan di Timur Tengah. Amerika Serikat, Eropa, dan Israel sudah sepakat tidak mengizinkan Iran memiliki bom nuklir.
Kalau Iran memaksa berusaha memiliki bom nuklir, kemungkinan besar pecah perang. Israel sudah bertekad melancarkan perang untuk menghancurkan semua instalasi nuklir Iran, baik perang bersama maupun tanpa AS.
Di mata Israel, apabila Iran memiliki bom nuklir dengan berkuasanya para Mullah di Teheran, hal itu sama saja menjadi tanda awal eksistensi negara Israel berakhir. Sebab, rudal balistik jarak jauh Shahab-3 dan Sejil milik Iran yang memiliki jangkauan tembak sejauh 2.000 kilometer hingga 3.000 kilometer—dengan membawa satu kepala nuklir saja—sudah bisa menghancurkan negara Israel.
Baca juga : Israel Siapkan Rencana B untuk Iran
Jika perundingan Vienna gagal, ini tentu sangat merepotkan negara-negara Arab Teluk karena mereka secara geografis paling dekat dengan Iran. Ini yang mendorong MBS melakukan lawatan ke Oman, UEA, Qatar, Bahrain, dan Kuwait, pekan ini, untuk koordinasi menghadapi isu nuklir Iran itu. Tidak menutup kemungkinan MBS akan melanjutkan lawatan ke negara-negara Arab lain di luar kawasan Arab Teluk seusai lawatan di kawasan Arab Teluk.
Arab Saudi tidak menghendaki rekonsiliasi dan proses reformasi ekonomi di sejumlah negara Arab saat ini tersendat lagi oleh isu nuklir Iran setelah sempat terganggu oleh pandemi selama hampir dua tahun. Arab Saudi bertekad pada tahun 2022 adalah tahun titik tolak kebangkitan dunia Arab dan tidak boleh berputar ke belakang lagi. Apa pun rintangannnya.