Persoalan ketimpangan akses terhadap kebutuhan dasar dalam negara dan antarnegara memburuk selama pandemi. Perbaikan mensyaratkan keadilan dan demokratisasi ekonomi.
Oleh
FRANSISCA ROMANA NINIK, KRIS MADA
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS - Pemulihan dunia dari krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19 mensyaratkan prinsip keadilan dan demokratisasi arsitektur ekonomi global. Tanpa komitmen terhadap dua nilai itu, pemulihan dunia akan berjalan pincang.
”Sayangnya norma dan aturan ekonomi internasional saat ini masih kurang demokratis dan inklusif. Oleh karena itu, sudah saatnya mendemokratisasikan arsitektur ekonomi global dan tatanan-tatanan global lainnya. Misalnya, tidak boleh ada monopoli dalam partisipasi di ekosistem rantai pasok global,” kata Menteri Luar Negeri (menlu) Retno Marsudi pada Bali Democracy Forum (BDF) ke-14, Kamis (9/12/2021), di Nusa Dua, Bali.
Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan berbagai lembaga keuangan internasional memperingatkan terjadinya kesenjangan prospek pemulihan ekonomi antarnegara. Sekitar 90 persen negara maju diproyeksikan dapat mencapai level pendapatan per kapita seperti sebelum pandemi pada 2022. Sementara negara-negara miskin dan berkembang memerlukan waktu jauh lebih lama.
Hal ini linier dengan tingkat vaksinasi yang juga timpang. Sebanyak 64,94 persen populasi negara kaya telah divaksinasi setidaknya satu dosis. Sementara di negara berpendapatan rendah, baru 8,06 persen.
Dalam kondisi demikian, Retno melanjutkan, diperlukan lingkungan internasional yang mendukung agar negara miskin dan berkembang bisa pulih dalam waktu yang tidak terlalu lama. Demokrasi adalah katalis terjadinya perubahan positif. ”Dunia memerlukan demokrasi untuk pulih dari pandemi,” kata Retno.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada pidato pembukaan mengatakan, BDF tahun ini merefleksikan kebenaran penting. Salah satunya adalah bahwa pandemi telah menyebabkan pemulihan yang berat sebelah. ”Pemulihan bagi semua bergantung pada kesetaraan bagi semua. Negara-negara kaya dengan cepat memvaksinasi rakyatnya dan berinvestasi untuk pemulihan, tetapi negara-negara berkembang ditinggalkan. Mereka kekurangan vaksin dan terbelit utang,” kata Guterres.
Di tempat terpisah, Wakil Presiden ICRC, Gilles Carbonnier, mengatakan, di masa ketika terjadi erosi multilateralisme, kemanusiaan memberikan dasar untuk memperkuat kerja sama internasional dalam memulihkan tatanan kehidupan dari pandemi. ”Forum ini menjadi semakin penting untuk menyampaikan pesan ini kepada para delegasi,” katanya dalam wawancara khusus dengan Kompas di sela-sela BDF.
Kemiskinan ekstrem di dunia meningkat semasa pandemi. Orang-orang yang berada dalam kemiskinan ekstrem, apalagi di tengah konflik, sama sekali tidak memiliki akses pada kebutuhan dasar. Sementara merujuk laporan Freedom House 2021, kebebasan global menurun dalam 15 tahun terakhir. Tahun lalu, 75 persen penduduk dunia hidup di bawah negara yang mengalami kemunduran demokrasi.
BDF ke-14 mengusung tema, ”Democracy for Humanity : Advancing Economic and Social Injustice during the Pandemic”. Acara yang diselenggarakan secara hibrid itu diikuti 335 peserta dari 95 negara dan empat organisasi internasional. Turut berpartisipasi virtual, antara lain, Menlu Amerika Serikat (AS) Antony Blinken, Menlu China Wang Yi, Menlu Turki Mevlut Cavusoglu, dan Menlu Selandia Baru Nanaia Mahuta
Forum demokrasi juga diselenggarakan Pemerintah AS, Kamis. Bertajuk Summit for Democracy, Washington mengundang 111 peserta untuk menghadiri pertemuan virtual itu. Bersama Malaysia dan Filipina, Indonesia menghadiri forum itu. Singapura dan Thailand, mitra terdekat AS di ASEAN, tidak diundang. China dan Rusia juga tidak masuk daftar undangan. (FRO/RAZ)