Pengurangan Penduduk Korea Selatan Lebih Cepat dari Perkiraan
Tingkat kesuburan di Asia Timur paling rendah di dunia. Kondisi itu akan memicu penurunan populasi, standar hidup, pertumbuhan produk domestik bruto, dan menghadirkan masalah keuangan serius.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
SEOUL, KAMIS -- Pengurangan penduduk Korea Selatan terjadi lebih cepat delapan tahun dari perkiraan awal. Tren pengurangan penduduk di negara-negara Asia Timur bisa berdampak buruk bagi perekonomian kawasan dan global.
Dalam laporan, Kamis (9/12/ 2021), kantor berita Yonhap mengungkap penduduk Korsel tahun 2021 ditaksir 51,75 juta jiwa. Pada 2020, kala angka kelahiran lebih rendah dibandingkan kematian, jumlah penduduk Korsel 51, 84 juta jiwa.
Badan Statistik Korsel juga mengeluarkan prakiraan populasi negara itu berdasarkan perhitungan angka kelahiran dan kematian. Dalam sembilan tahun ke depan, penduduk Korsel akan terpangkas menjadi 51,2 juta jiwa, lalu menjadi 37,7 juta jiwa pada 2070. Bahkan, ada kemungkinan penduduk negara itu tersisa 31,53 juta jiwa.
Pengurangan penduduk tahun 2021 menunjukkan depopulasi Korsel lebih cepat dari perkiraan terdahulu. Pada 2018, Badan Statistik Korsel memprakirakan depopulasi akan dimulai pada 2029. Proyeksi 2018 mengoreksi prakiraan 2016 yang menaksir depopulasi terjadi pada 2032. Depopulasi terjadi terutama karena jumlah bayi yang lahir dan imigran yang datang di bawah angka kematian dan jumlah penduduk yang pindah ke luar negeri.
Pada 2020, tingkat kesuburan Korsel hanya 0,84. Padahal, negara itu butuh tingkat kesuburan 2,1 untuk mempertahankan populasinya di kisaran 52 juta jiwa. Negara itu butuh tingkat kesuburan lebih tinggi lagi jika ingin menambah jumlah penduduk.
Sejak 2017, tingkat kesuburan Korsel terus menurun. “Tingkat kesuburan dan angka kelahiran akan menurun pada tiga atau empat tahun mendatang. Populasi warga usia lanjut akan bertambah dengan laju tercepat di dunia,” kata Kim Su-young, pejabat Badan Statistik Korsel.
Pada 2020, sebenarnya sudah mulai terjadi penurunan jumlah penduduk jika hanya membandingkan angka kelahiran dan kematian. Korsel mencatat 272.400 kelahiran dan 305.100 kematian sepanjang 2020. Fenomena itu disebut pengurangan alamiah dan untuk pertama kalinya terjadi di Korsel.
Masalah Korsel bukan hanya penduduknya semakin berkurang. Negara itu menghadapi pemangkasan penduduk usia produktif atau yang berusia 15-64 tahun. Pada 2020, ada 37,4 juta orang Korsel di rentang usia itu atau setara 72,1 persen populasi. Pada 2070, kelompok umur itu ditaksir hanya tersisa 17,37 juta jiwa atau 46 persen populasi.
Adapun penduduk berusia 65 tahun ke atas berjumlah 8,15 juta jiwa pada 2020 dan menjadi 17,5 juta jiwa pada 2070. Pada 2025, Korsel ditaksir menjadi negara tua karena lebih dari 20 persen penduduknya berusia di atas 65 tahun.
Pada 2020, setiap 100 penduduk usia produktif hanya menanggung 39 penduduk usia lanjut. Pada 2070, perbandingannya akan menjadi 100:117 atau lebih banyak penduduk usia lanjut dibanding usia produktif.
Hal itu akan memberatkan perekonomian. Pengurangan penduduk usia produktif berarti pemangkasan potensi tenaga kerja. Masalah ini bisa menyulitkan usaha menggerakkan dan menumbuhkan perekonomian. Pengurangan usia produktif juga berarti pemangkasan potensi pembayar iuran jaminan pensiun. Mau tidak mau, pemerintah harus menanggung porsi lebih besar untuk menjaga keberlangsungan layanan kesejahteraan pensiunan.
Negara lain
Korsel tidak sendirian soal depopulasi dan penuaan populasi. China dan Jepang juga mengalami fenomena itu. “Dibandingkan Jepang, laju penurunan populasi di negara lain di Asia lebih cepat. Era pertumbuhan ekonomi yang didorong populasi akan segera berakhir. Negara-negara Asia akan menghadapi periode pertumbuhan ekonomi rendah, kecuali bisa memacu produktivitas,” kata Minoru Nogimori, ekonom Japan Research Institute.
Sejak beberapa tahun lalu, berbagai pihak di Jepang sudah mengungkapkan kekhawatiran atas depopulasi. Kini, penduduk Jepang sudah terpangkas dari 127 juta menjadi 125 juta jiwa. Dalam 29 tahun mendatang, penduduk Jepang ditaksir akan menurun lagi menjadi 100 juta jiwa.
Sejak 2016, angka kelahiran di Jepang sudah di bawah 1 juta bayi per tahun. Pada 2020, hanya 840.000 bayi dilahirkan di Jepang. Banyak orang muda Jepang tidak mau punya anak karena khawatir tidak sanggup menanggung biayanya. Angka perkawinan di Jepang merosot 30 persen pada 2019 dan 2020.
Seperti Korsel, Jepang juga menghadapi peningkatan penduduk berusia di atas 65 tahun. Pada 2030, ditaksir 33 persen penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun. Porsinya akan terus meningkat karena usia harapan hidup di Jepang termasuk tinggi, sementara tingkat kesuburannya tergolong rendah.
“Tingkat kesuburan di Asia Timur paling rendah di dunia. Kondisi akan memicu penurunan populasi, standar hidup, pertumbuhan produk domestik bruto, dan menghadirkan masalah keuangan serius,” kata Andrew Mason, pakar demografi Asia Timur pada University of Hawaii.
Berbagai cara pemerintah negara Asia Timur mendorong peningkatan populasi belum berhasil. Di China, pencabutan kebijakan "satu keluarga satu anak" belum bisa membalikkan tren depopulasi. Meski kini masih lebih rendah, China menunjukkan indikasi angka kematian terus meningkat, sementara angka kelahiran terus menurun. Hanya soal waktu bagi China mencapai kondisi angka kematian lebih tinggi dari angka kelahiran. (AFP/REUTERS)