Abaikan WHO, Uni Eropa Terapkan Vaksinasi Covid-19 untuk Anak-anak
Uni Eropa memutuskan tidak mengikuti anjuran WHO yang menekankan akses kesetaraan vaksin global. Mereka bersikeras menerapkan vaksinasi untuk anak-anak dan vaksin penguat bagi warga sembilan bulan setelah vaksin kedua.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BRUSSELS, KAMIS — Uni Eropa pada hari Kamis (25/11/2021) memutuskan bahwa vaksin Covid-19 merek Pfizer-BioNTech akan digunakan untuk menyuntik anak-anak berumur 5-11 tahun demi menangani pandemi. Keputusan itu dipahami oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, tetapi belum direkomendasikan saat ini. WHO berpandangan, cara paling efektif mengatasi pandemi ialah memastikan semakin banyak penduduk dunia yang divaksin.
Pengumuman keputusan tersebut disampaikan Badan Obat-obatan Eropa (EMA). Mereka melakukan uji klinis kepada 2.000 anak dan memutuskan bahwa Pfizer aman disuntikkan dalam dua dosis dengan jeda tiga pekan. EMA juga masih melakukan uji klinis vaksin Covid-19 Moderna untuk anak-anak berumur 6-11 tahun.
Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn mengatakan, di negara tersebut proses vaksinasi anak-anak akan dimulai pada 20 Desember mendatang. Adapun Austria telah memulai vaksinasi untuk anak-anak jauh sebelum EMA membuat keputusan. Di sana, anak-anak umur 5-11 tahun sudah mulai diimunisasi.
WHO merespons keputusan Eropa dengan pernyataan tertulis. Mereka mengerti bahwa negara-negara maju ingin melindungi penduduk dari Covid-19. Akan tetapi, hasil penelitian membuktikan bahwa gejala Covid-19 pada anak dan remaja tergolong ringan dan tidak mengakibatkan kematian apabila tidak diiringi penyakit bawaan.
Oleh sebab itu, WHO tetap berpegang pada prinsip bahwa semua vaksin yang ada sebaiknya jangan diberikan dulu kepada anak-anak, melainkan disumbangkan ke negara-negara yang membutuhkan. Advokasi kepada kelompok masyarakat yang terus menolak vaksinasi juga perlu dilakukan.
WHO menargetkan, pada akhir tahun 2021, setidaknya 40 persen penduduk dunia divaksin lengkap. Target pertengahan tahun 2022 adalah 70 persen. Apabila hampir semua penduduk Bumi divaksin, kegiatan mulai bisa kembali seperti normal.
Anjuran WHO itu sukar dituruti Uni Eropa (UE). Saat ini, mereka justru mengumumkan mewajibkan dosis penguat kepada semua orang yang hendak memasuki wilayah tersebut. Alasannya ialah menjaga agar daya tahan tubuh tidak berkurang walaupun telah menerima vaksinasi dosis lengkap.
”UE hanya mengakui sertifikat vaksin maksimal hingga sembilan bulan setelah dosis kedua. Setelah itu, wajib diikuti dengan dosis penguat,” kata Komisioner UE Didier Reynders.
Korban meningkat
Sementara itu, vaksinasi bagi kelompok yang menolak ini sangat penting. Saat ini, angka korban jiwa akibat Covid-19 di Eropa mencapai 1,5 juta jiwa. Berdasarkan perhitungan WHO, pada musim semi 2022 jumlah korban jiwa itu bisa mencapai 2 juta jiwa. Di Jerman saja per tanggal 24 November jumlah korban jiwanya sudah 100.119 orang sejak awal pandemi tahun 2020.
Institut Robert Koch mendata, angka kasus positif di Jerman adalah 419,7 per 100.000 penduduk. Mayoritas penularan Covid-19 terjadi di antara mereka yang belum divaksin. Jerman baru memvaksinasi 69 persen penduduknya. Bagi negara kaya, angka itu tergolong rendah. Perancis, misalnya, telah memvaksinasi 75 persen warganya.
Calon Kanselir Jerman, Olaf Scholz, mengemukakan bahwa ia menyetujui semua tenaga kesehatan wajib divaksinasi. Akan tetapi, pemerintah masih berdebat soal mewajibkan vaksinasi bagi semua anggota masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Austria.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Belanda Hugo de Jonge mengungkapkan bahwa sejumlah rumah sakit menghentikan layanan kemoterapi maupun pencangkokan organ demi memberikan lebih banyak ruangan dan tempat tidur kepada pasien Covid-19. Bahkan, asosiasi rumah sakit mengusulkan kepada pemerintah agar layanan rawat inap semalam agar dihentikan sementara.
Belanda telah memvaksinasi 85 persen warganya, tetapi angka kasus positif terus naik hingga 40 persen setiap pekan. Guna menghadapi situasi darurat, pemerintah tengah menyiapkan aparat militer dan mahasiswa kesehatan untuk diturunkan apabila dibutuhkan jika kasus tidak terkendali. (AP/AFP)