Abaikan Multilateralisme Bila Tidak Sesuai Kepentingan Nasional
Amerika Serikat mau membuat blok dagang baru. Tujuannya, antara lain mengamankan rantai pasok bagi AS dan sekutunya.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Digadang akan kembali membawa Amerika Serikat ke multilateralisme, pemerintahan Joe Biden terus-menerus menunjukkan hal sebaliknya. Terbaru, Washington dipastikan tidak akan kembali bergabung dengan blok dagang Trans-Pasifik.
Di sela-sela lawatan ke Asia pada 15-18 November 2021, Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo berkali-kali menegaskan sikap itu. Pemerintah Biden tidak akan bergabung dengan Comprehensive and Progresif Agreement for Trans-Pacific Partneship (CPTPP).
Blok dagang itu dirintis AS pada masa pemerintahan Barack Obama atau kala Biden menjadi Wakil Presiden AS. Pada masa pemerintahan Donald Trump, AS keluar dari blok dagang yang dulu bernama Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) itu. Kini, blok yang bernama CPTPP itu beranggota Australia, Brunei Darussalam, Chile, Jepang, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Singapura, Selandia Baru, dan Vietnam. Pada September 2021, China dan Taiwan sama-sama mendaftar menjadi anggota CPTPP.
Guru Besar Hubungan Internasional pada George Washington University Robert Sutter menyebutkan, kondisi politik dalam negeri menjadi salah satu penyebab AS tidak akan bergabung dengan CPTPP. Demokrat hanya unggul tipis atas Republikan di Kongres. Padahal, Biden butuh sokongan Kongres mengesahkan berbagai agendanya.
Karena itu, Biden akan berusaha mempertahankan seluruh suara Demokrat ditambah, jika mungkin, sebagian suara Republikan. Keinginan itu berarti Biden harus berkompromi dengan sayap progresif Demokrat. Selama hampir setahun terakhir, berkali-kali sayap itu justru menjadi pengkritik lebih keras atas aneka kebijakan dan rencana kebijakan Biden. Dalam berbagai kesempatan, sayap itu juga secara terbuka menentang perjanjian dagang multilateral.
Olek karena itu, menurut Sutter, kecil kemungkinan AS di bawah Biden akan bergabung ke CPTPP. Bahkan, sayap progresif di Demokrat akan tetap menolak AS bergabung di CPTPP itu meski ada manfaatnya dalam persaingan AS dengan China.
Pernyataan Raimondo di Jepang, lalu diulang di Singapura, membenarkan dugaan Sutter. Sementara itu, jika nanti akhirnya diterima di CPTPP, China akan bergabung dengan dua blok dagang terbesar di Bumi.
Selain CPTPP, China bergabung dengan Kemitraan Ekonomi Kawasan Komprehensif (RCEP) yang beranggota 15 negara. Gabungan produk domestik bruto (PDB) CPTPP setara hampir 14 persen PDB global. Sementara gabungan PDB RCEP setara 30 persen PDB global. Selain itu, anggota RCEP dihuni 3 miliar dari 7,9 miliar penduduk Bumi.
Manuver di RCEP dan CPTPP, serta berbagai forum lainnya, semakin menunjukkan China lebih menyokong multilateralisme. Sementara AS sejak era Trump terus-menerus menunjukkan kecenderungan menjauhi multilateralisme.
Tawaran lain
Raimondo berkeras, tidak bergabung dengan CPTPP bukan berarti AS mengingkari multilateralisme. Lawatannya ke Jepang, Singapura, dan Malaysia adalah bagian dari upaya membentuk kerangka kerja sama perdagangan baru.
Ia menyebutkan, kerangka kerja itu akan melebihi CPTPP. Namun, ia tidak merinci apa kelebihan kerangka itu. Ia hanya menyebut CPTPP sebagai kesepakatan dagang tradisional. ”Posisi pemerintahan Biden pada kesepakatan dagang Pasifik adalah tidak bisa bergabung untuk saat ini,” ujarnya.
Menurut dia, perundingan untuk membentuk kerangka kerja baru akan dimulai pada 2022. Lawatannya ke Jepang, Malaysia, dan Singapura bagian dari upaya pembentukan itu. Ia menyebut aliansi dagang itu disebut bentuk ekonomi dari koalisi negara-negara demokratis.
Tujuan kerangka itu, antara lain, mengamankan rantai pasok bagi AS dan sekutunya. Terkait rantai pasok, AS memandang pada masa mendatang harus ada perhatian khusus pada beberapa komoditas atau sektor tertentu. Secara spesifik ia menyorot semikonduktor dan kecerdasan buatan. Keunggulan ekonomi hingga militer di masa depan akan sangat bergantung pada kedua sektor itu.
Kini, banyak negara sudah merasakan dampak gangguan pasokan semikonduktor pada perekonomian mereka. Berbagai perusahaan terpaksa memangkas produksi gara-gara kekurangan pasokan semikonduktor. Akibatnya, ada potensi pendapatan senilai lebih dari Rp 10 triliun gagal didapat setiap hari. Perusahaan besar AS, seperti GM hingga Apple mengalami kondisi itu.
Raimondo mengatakan, harus ada pembenahan aturan di setiap negara untuk semikonduktor dan kecerdasan buatan. AS mau aturan itu disusun bersama dengan sekutu dan mitranya. ”Kita harus menyusun standar dan tata kelola untuk penggunaan kecerdasan buatan yang aman dan pantas,” ujarnya.
Aturan itu harus spesifik karena penerapannya berbeda. Kecerdasan buatan di bioteknologi tentu berbeda dengan di logistik. ”Sangat rumit. Harus berdasarkan kasus, harus lentur berbasis kebutuhan industri,” katanya.
Kondisi itu membuat perjanjian dagang umum seperti CPTPP sulit diterima AS untuk saat ini. Apalagi, di dalam negeri pun ada penolakan CPTPP. Dari AS, sekali lagi komunitas internasional belajar bahwa kepentingan nasional harus diutamakan. Bahkan, harus lebih diutamakan dibandingkan multilateralisme. (AFP/REUTERS)