Qatar Didesak Akhiri Pelanggaran Pekerja Migran Piala Dunia 2022
Ribuan pekerja yang membangun infrastruktur Piala Dunia 2022 terus menghadapi risiko eksploitasi oleh majikan. Setelah Piala Dunia, nasib para pekerja yang tetap berada di Qatar semakin tidak pasti.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
LONDON, SENIN — Lembaga pembela hak asasi manusia, Amnesty International, Senin (16/11/2021), mendesak otoritas Qatar mengakhiri praktik pelanggaran hak atas para pekerja migran. Praktik pelanggaran hak para pekerja yang membangun infrastruktur untuk Piala Dunia 2022 itu diduga masih marak berlangsung.
Desakan Amnesty International itu dikeluarkan setahun menjelang Piala Dunia 2022 yang akan dipusatkan di Doha pada 21 November-18 Desember 2022. Piala Dunia yang akan diikuti oleh 32 tim nasional menjadi perhelatan piala supremasi sepak bola putra pertama yang digelar di tanah Arab.
”Kenyataan sehari-hari bagi banyak pekerja migran di negara itu tetap keras meskipun ada perubahan hukum yang diperkenalkan sejak tahun 2017,” kata kelompok pembela HAM yang berbasis di London, Inggris, itu. Amnesty International mendesak Qatar untuk menghapus sistem sponsor kafala yang mengikat pekerja asing dengan sistem majikan. Sistem itu membuat mereka lebih rentan terhadap pelanggaran, seperti keterlambatan penerimaan upah dan upah yang tidak dibayar.
”Ribuan pekerja terus menghadapi risiko eksploitasi oleh majikan yang tidak bermoral. Banyak pekerja tidak dapat berganti pekerjaan dan menghadapi pencurian upah,” kata Mark Dummett, Direktur Program Masalah Global Amnesty International. ”Mereka memiliki sedikit harapan untuk pemulihan, kompensasi, atau keadilan. Setelah Piala Dunia, nasib para pekerja yang tetap berada di Qatar semakin tidak pasti.”
Sulit bagi para pekerja migran di Qatar untuk mendapatkan akses ke keadilan. Sebab, banyak dari mereka dilarang berorganisasi sebagai salah satu sarana memperjuangkan hak-hak mereka.
Lembaga itu juga mengatakan, pihak berwenang tidak berbuat banyak untuk menyelidiki skala kematian misterius. Ada sejumlah bukti menunjukkan akibat paling fatal itu bisa terjadi lantaran kondisi kerja yang tidak aman. Sulit bagi para pekerja migran di Qatar untuk mendapatkan akses ke keadilan. Sebab, mereka dilarang berorganisasi sebagai sarana memperjuangkan hak-hak mereka.
Qatar sebelumnya menghadapi kritik atas perlakuan terhadap pekerja migran. Lewat juru bicaranya, Amnesty International menuduh majikan-majikan pekerja migran melakukan eksploitasi dan memaksa kaum pekerja untuk bekerja dalam kondisi berbahaya. Pihak berwenang Qatar bersikeras upaya mereka telah maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan kaum pekerja.
Doha mengklaim upaya-upaya mereka memperhatikan hak pekerja migran itu lebih baik daripada negara-negara lain di kawasan Teluk. Pemerintah Qatar pun menolak laporan media internasional tentang ribuan kematian yang menimpa pekerja migran. ”Qatar menolak pernyataan Amnesty International bahwa reformasi perburuhan belum diterjemahkan ke dalam perubahan di lapangan bagi ratusan ribu pekerja migran,” kata Kantor Komunikasi Pemerintah Qatar dalam sebuah pernyataan.
Menurut Pemerintah Qatar, lebih dari 240.000 pekerja telah berhasil berganti pekerjaan sejak September 2020. Aturan-aturan yang dinilai menghalangi hak-hak pekerja migran sudah dihapus atau diperbarui. Selain itu, lebih dari 400.000 pekerja migran juga telah mendapat manfaat langsung dari upah minimum baru yang diberlakukan pemerintah.
Qatar merujuk pada reformasi lain, termasuk pusat visa baru di negara asal para pekerja. Kebijakan itu dinilai Doha telah secara signifikan mengurangi praktik eksploitatif terhadap para pekerja. Otoritas Qatar juga memberlakukan kebijakan perpanjangan larangan kerja selama musim panas, semata untuk meminimalkan efek tekanan bagi para pekerja. ”Qatar tidak pernah mengelak bahwa sistem tenaga kerjanya terus diperbaiki,” kata Pemerintah Qatar.
Pihak Amnesty International mengakui Qatar telah melakukan reformasi yang hasilnya positif sejak 2017. Kebijakan reformatif itu termasuk pemberlakuan batasan jam kerja untuk kaum pekerja rumah tangga yang tinggal di rumah. Selain itu, pengadilan tenaga kerja ditegakkan bersama dengan disediakannya dana untuk mendukung pembayaran upah yang belum dibayar.
Namun, kelompok pegiat HAM itu menilai bahwa kegagalan penerapan beberapa poin reformasi di Qatar berarti eksploitasi terus berlanjut. ”Qatar adalah salah satu negara terkaya di dunia, tetapi ekonominya bergantung pada 2 juta pekerja migran yang tinggal di sana,” kata Dummet. ”Dengan mengirimkan sinyal yang jelas bahwa pelanggaran perburuhan tidak akan ditoleransi, menghukum majikan yang melanggar hukum, dan melindungi hak-hak pekerja, Qatar dapat memberi kita turnamen (Piala Dunia) yang dapat kita rayakan bersama. Sayangnya, kondisi itu belum tercapai.” (AFP)