Turis China Terkunci di Negaranya, Asia Tenggara Lirik Sumber Turis Alternatif
Pandemi Covid-19 memaksa otoritas dan pelaku pariwisata di Asia Tenggara untuk memetakan ulang sumber wisatawan. Ini karena wisatawan China, andalan selama ini, masih terkunci di negaranya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
BANGKOK, KAMIS — Negara-negara di Asia Tenggara mulai membuka kembali pariwisatanya menyusul langkah yang dilakukan Thailand, Oktober lalu. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah sumber pendapatan utama pariwisata Asia Tenggara selama ini adalah wisatawan dari China yang kini jarang melancong ke luar negeri. China saat ini masih memberlakukan pembatasan pergerakan secara ketat guna menangani pandemi Covid-19.
Penerbangan internasional China hanya beroperasi 2 persen dari jumlah sebelum pandemi. China menerapkan aturan nihil Covid-19. Setiap kali ada kasus positif, pemerintahnya tidak ragu memberlakukan karantina wilayah. Melihat situasi ini, para pelaku industri pariwisata meragukan bahwa jawaban kebangkitan pariwisata di Asia berada di tangan turis dari China. Apalagi, rumitnya karantina di negara tersebut membuat warganya memilih melancong di dalam negeri.
”Kita harus mencari sumber-sumber wisatawan yang baru. Salah satu contoh positif dilakukan oleh Maladewa sepanjang tahun 2020. Negara itu mempromosikan pariwisata ke Rusia dan India. Sekarang, wisatawan dari kedua negara itu mulai berdatangan,” kata Direktur Utama Asosiasi Perjalanan Asia Pasifik (PATA) Liz Ortiguera kepada Channel News Asia, Kamis (11/11/2021).
Hal serupa dilakukan oleh Thailand. Data Pemerintah Thailand menyebutkan, negara itu kehilangan 50 miliar dollar AS dalam setahun akibat pandemi Covid-19. Sebagai gambaran, pada tahun 2019, Thailand didatangi 40 juta wisatawan mancanegara. Sekarang, pada tahun 2021, pemerintah negara itu menargetkan bisa mendatangkan 180.000 wisatawan. Ini pun hanya untuk tujuan pariwisata tertentu, seperti Phuket dan Pattaya.
Pemerintah Thailand telah membuka izin wisata kepada warga dari 63 negara, termasuk Indonesia. Syaratnya ialah sudah divaksin Covid-19 lengkap dari vaksin merek AstraZeneca, Pfizer-BioNTech, Moderna, Johnson and Johnson, Sinovac, Sinopharm, dan Sputnik V; sudah memesan hotel dan tes polimerase berantai (PCR) begitu mendarat di Thailand; serta memiliki asuransi senilai 50.000 dollar AS. Semua data ini diunggah ke aplikasi Thailand Pass.
Menurut Kementerian Luar Negeri Thailand, mereka mengabulkan 50 persen permohonan kunjungan wisatawan melalui aplikasi ini. Setengahnya lagi gagal karena syarat dokumen kurang, baru menerima satu dosis vaksin, atau memakai vaksin yang tidak diakui oleh Thailand.
Thailand bidik UEA
Seperti dilansir harian Pattaya Mail, Otoritas Pariwisata Thailand (TAT) kini mengincar wisatawan dari Uni Emirat Arab (UEA). Negara-negara di kawasan Timur Tengah masuk dalam 63 negara yang sudah diakui untuk datang oleh Pemerintah Thailand. Namun, untuk program Visit Thailand 2022, mereka fokus pada warga UEA.
”Pandemi ini kesempatan bagi kita untuk memetakan ulang potensi pariwisata dan sumber asal wisatawan. Kita bisa fokus mempromosikan Thailand ke negara-negara sahabat yang mungkin selama ini belum terlalu banyak mendapat perhatian,” kata Direktur TAT Thosaporn Sirisumphand.
Sementara itu, Filipina berencana membuka gelembung perjalanan dengan Korea Selatan. Menteri Pariwisata Filipina Bernadette Romulo-Puyat, seperti dikutip oleh Bloomberg, mengatakan bahwa sistem gelembung itu masih dalam pembahasan kedua negara.
Selain itu, Filipina juga ingin memudahkan kedatangan bagi warga Filipina yang berdomisili di luar negeri untuk liburan ke tanah air. Aturan mengenai pelonggaran karantina juga masih dibahas walaupun menurut kajian Bloomberg, Filipina termasuk negara yang paling tertinggal dalam vaksinasi Covid-19 di Asia Tenggara.
Di Indonesia, pemerintah telah membuka izin bagi wisatawan dari 27 negara. Bagi mereka yang telah divaksin lengkap, masa karantina dikurangi dari lima hari menjadi tiga hari. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengungkapkan, pada pertengahan November akan datang rombongan wisatawan dari India dan Perancis. Sempat ada permintaan agar wisatawan yang sudah divaksin lengkap tidak perlu dikarantina.
”Tentu saja kami tolak. Karantina ini wajib. Kami bisa mengusahakan penyingkatan waktunya dari delapan hari menjadi lima hari. Sekarang sedang didiskusikan dengan epidemiolog, apakah bisa diturunkan jadi tiga hari,” ujar Sandiaga, awal November lalu.
Myanmar ikut-ikutan
Di tengah kecamuk politik, Myanmar juga berniat membuka pariwisata. Kementerian Perhotelan dan Pariwisata negara ini sekarang dikelola oleh junta militer, demikian juga dengan semua tujuan wisata. Mayoritas hotel masih tutup. Bahkan, perusahaan pelayaran wisata Sungai Mekong, Padaw Cruise, yang telah beroperasi selama 25 tahun, memutuskan untuk hengkang dari negara itu. Listrik dan internet juga tidak stabil.
”Kami akan mengizinkan wisatawan yang sudah menerima vaksin Covid-19 lengkap untuk datang. Kepastiannya akan diumumkan pada waktu yang belum bisa ditentukan,” kata Wakil Direktur Bidang Humas dan Informasi Kementerian Perhotelan dan Pariwisata junta, Zeyar Htun, kepada CNN.
Permasalahannya, mayoritas negara di dunia menganjurkan warganya untuk tidak berkunjung dulu ke Myanmar dengan alasan penanganan pandemi di negara itu belum maksimal dan risiko keamanan akibat konflik masih terus berkecamuk. (REUTERS)