Polisi India Gugat Para Penyebar Hoaks Kerusuhan Tripura
Polisi India menindak tegas para provokator dan penyebar hoaks di media sosial. Tidak pandang bulu, di antara mereka yang ditangkap terdapat pengacara, tokoh agama, dan wartawan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
AGARTALA, MINGGU — Menanggapi kerusuhan yang terjadi di Negara Bagian Tripura, India, yang kemudian merembet ke Bangladesh pada Oktober silam, polisi India menindak tegas para provokator dan penyebar hoaks di media sosial. Mulai dari pengacara, tokoh agama, hingga wartawan terkena getah dari keputusan aparat penegak hukum ini.
Hal tersebut diumumkan secara resmi oleh Kepolisian Negara Bagian Tripura di Agartala, Minggu (7/11/2021). Keterangan tersebut menyatakan bahwa polisi mengerucutkan 102 unggahan hoaks, ujaran kebencian, dan ajakan berbuat kekerasan yang disebar di media sosial Facebook, Youtube, dan Twitter. Menurut mereka, unggahan itu dibuat dan disebarluaskan oleh 71 individu yang di antaranya pengacara, tokoh agama, pegiat lembaga swadaya masyarakat, dan wartawan.
”Namun, ini belum berarti para individu otomatis bersalah secara hukum. Polisi akan mendalami apabila mereka menyebarkan unggahan dengan niat menciptakan keonaran di masyarakat atau hanya meneruskan pesan tanpa ada maksud lebih lanjut,” demikian keterangan Kepolisian Tripura seperti dikutip oleh harian lokal The Sentinel.
Menteri Informasi dan Budaya Negara Bagian Tripura Sushanta Chowdury mengatakan bahwa kerusuhan di Tripura adalah pekerjaan provokator dari luar yang hendak membuat keresahan di masyarakat. Tripura merupakan salah satu negara bagian yang mayoritas warganya mendukung Partai Bharatiya Janata (BJP). Ini adalah partai politik pendukung Perdana Menteri Narendra Modi. BJP dikenal berhaluan Hindu sayap kanan dan tidak ramah kepada warga minoritas.
Kerusuhan terjadi pada 26 Oktober di kota Chamtilla. Ketika itu, salah satu organisasi Hindu tengah melakukan parade di jalan yang kemudian berakhir dengan kekerasan. Satu masjid, tiga warung, dan dua rumah milik warga Muslim dibakar. Akibat kejadian ini, muncul kerusuhan di negara tetangga, Bangladesh, yaitu ketika sekelompok warga Muslim menyerang minoritas Hindu.
Hingga kini tidak ada kejelasan mengenai penyebab kerusuhan. Kepolisian mengatakan bahwa semua bermula dari pesan berantai di media sosial yang membuat terjadinya amuk massa. Muncul unggahan pesan, foto, dan video yang menampilkan rumah rusak, korban jiwa, dan kerusuhan yang mengatakan bahwa itu terjadi di Tripura walaupun tidak ada keterangan ataupun bukti. Ini membuat masyarakat semakin panas.
Keputusan polisi mengkriminalkan semua orang yang mengunggah mengenai kerusuhan Tripura, terlepas benar atau tidak ini, menuai protes sejumlah pihak. Salah satunya adalah Perhimpunan Editor India (Editors Guild of India/EGI). Mereka menolak polisi mengkriminalkan para wartawan yang mengunggah mengenai kerusuhan di media sosial.
”Wartawan jelas mengunggah bukti foto, kutipan wawancara, dan fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Jangan disamakan dengan penyebar hoaks. Polisi harus pandai memilah unggahan,” kata keterangan resmi EGI yang dikutip oleh harian The Hindustan Times.
Selain itu, sebanyak 50 organisasi, termasuk Dewan Imam India dan Parisada Hindu Vishva, mengecam kerusuhan di Tripura dan Bangladesh. Mereka meminta agar warga tidak terprovokasi dan polisi segera menangkap para pelaku.
Hoaks
India memiliki masalah besar terkait hoaks. Sebagai gambaran, di negara ini terdapat 340 juta pengguna Facebook. Jumlah ini belum mencakup pemakai media sosial lain, seperti Instagram, Whatsapp, Twitter, dan Youtube.
Facebook, misalnya, mengatakan telah mempekerjakan karyawan untuk menelusuri unggahan dalam 22 bahasa daerah di India. Akan tetapi, mereka selalu tertinggal untuk memoderasi unggahan yang sedemikian banyak.
Dalam berkas Facebook Papers yang diperoleh oleh harian New York Times, Facebook juga bermitra dengan 10 lembaga verifikator fakta di India. Salah satu informan dari lembaga mitra itu mengatakan, setelah mereka memberi daftar unggahan bermasalah karena berisi hoaks, ujaran kebencian, foto atau video eksplisit, ataupun ajakan bertindak kekerasan, ternyata tidak segera diproses oleh Facebook.
Alasannya kompleks karena ketika perusahaan media sosial memblokir unggahan, bukti-bukti bahwa unggahan itu berbahaya terhadap masyarakat dan memang semestinya disensor harus lengkap. Jika tidak, perusahaan akan dianggap berlaku sewenang-wenang dan memberangus kebebasan berpendapat. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Apabila negara tidak boleh menyensor masyarakat, perusahaan tidak berhak.
”Khusus di India, mayoritas akun penyebar hoaks justru terafiliasi dengan partai-partai politik. Ini membuat masalah semakin rumit dan dipolitisasi,” kata Pratik Sinha, salah satu pendiri lembaga cek fakta Alt News kepada BBC.
Ia melanjutkan, kuncinya ialah literasi digital bagi masyarakat. Apabila masyarakat bijak memahami konten media sosial, sebanyak apa pun hoaks yang beredar, warga tidak akan terpancing. (AFP)