Sebuah pesawat nirawak penuh muatan bahan peledak menghantam rumah kediaman Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi di Baghdad, Minggu (7/11/2021) dini hari. Kadhimi dilaporkan selamat, tetapi tujuh pengawalnya terluka.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
BAGHDAD, MINGGU — Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi lolos dari upaya pembunuhan terhadap dirinya yang dilakukan dengan pesawat nirawak di rumah kediamannya di Baghdad, Minggu (7/11/2021) dini hari waktu setempat. Pejabat Irak mengatakan, PM Kadhimi tidak mengalami cedera dalam insiden itu, tetapi tujuh pengawalnya luka-luka.
Dua pejabat Irak mengatakan kepada kantor berita The Associated Press, serangan dengan pesawat nirawak (drone) itu terjadi di kediaman Kadhimi di area zona hijau yang dijaga ketat oleh aparat keamanan. Kedua pejabat itu tak mau disebutkan identitasnya karena tidak memiliki otoritas mengeluarkan pernyataan resmi.
Tak lama setelah menjadi target serangan pesawat nirawak itu, Kadhimi mengunggah pesan melalui Twitter: ”Roket-roket pengkhianatan tak akan menggoyahkan sedikit pun keteguhan dan kekuatan tekad para petugas keamanan yang tampil heroik. Saya baik-baik saja dan bersama orang-orang di sekeliling saya. Alhamdulillah.”
Melalui pernyataan tertulis, Pemerintah Irak menyebutkan, pesawat nirawak itu berupaya menghantam rumah Kadhimi. Pesawat nirawak tersebut membawa penuh muatan bahan peledak. Kadhimi disebutkan ”tidak terluka dan dalam kondisi baik”.
Sejumlah warga di Baghdad mendengar ada suara ledakan, disusul dengan rentetan baku tembak, dari arah area zona hijau. Area ini merupakan lokasi kediaman para pejabat Irak dan kedutaan-kedutaan besar negara asing.
”Aparat keamanan melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait upaya (pembunuhan) yang gagal ini,” demikian pernyataan Baghdad.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada kejelasan tentang siapa berada di balik serangan tersebut. Juga belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab.
Insiden serangan terhadap Kadhimi itu terjadi di tengah ketegangan antara aparat keamanan Irak dan milisi-milisi Syiah pro-Iran. Para pendukung milisi pro-Iran itu sudah hampir satu bulan terakhir ini berada di tenda-tenda di luar zona hijau setelah mereka menolak hasil pemilu parlemen belum lama ini.
Unjuk rasa penolakan hasil pemilu parlemen tersebut telah menelan korban jiwa. Hari Jumat lalu, pengunjuk rasa berpawai menuju area zona Hijau. Terjadi baku tembak, hingga menewaskan seorang pengunjuk rasa, sementara puluhan aparat keamanan terluka. Kadhimi memerintahkan penyelidikan atas insiden tersebut untuk mengungkap siapa yang memantik baku tembak dan melanggar aturan untuk tidak melepaskan tembakan.
Amerika Serikat, Dewan Keamanan PBB, dan pihak-pihak lain di kalangan komunitas internasional memuji pelaksanaan pemilu parlemen Irak, 10 Oktober lalu. Pemilu itu disebut sebagai hajatan pemilu Irak yang paling bebas dari kekerasan dan secara umum berlangsung tanpa kendala teknis dalam pelaksanaannya.
Namun, milisi-milisi Syiah pro-Iran menolak hasil pemilu tersebut dan menuntut penghitungan ulang. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka mengancam untuk meletupkan kekerasan. Mereka kemudian mendirikan tenda-tenda di dekat area zona hijau.
Pemilu parlemen, Oktober lalu, digelar lebih cepat dari jadwal yang seharusnya sebagai respons atas tuntutan rakyat Irak dalam berbagai unjuk rasa pada akhir tahun 2019. Dalam unjuk rasa kala itu, puluhan ribu warga Irak turun ke jalan-jalan di Baghdad dan provinsi-provinsi di wilayah selatan yang didiami mayoritas warga Syiah.
Aksi tersebut kerap dijuluki ”Musim Semi Arab di Irak” mengingat besarnya skala unjuk rasa yang terjadi. Mereka mengangkat isu korupsi, pelayanan buruk bagi warga, dan tingginya angka pengangguran. Mereka juga memprotes besarnya campur tangan negara tetangga, Iran, melalui milisi-milisi yang didukung Teheran.
Milisi-milisi pro-Iran itu mulai kehilangan popularitas di Irak sejak 2018 saat mereka memetik keuntungan besar dari pemilu. Banyak dari anggota milisi-milisi pro-Iran tersebut dinyatakan bertanggung jawab atas tindakan keras terhadap massa pengunjuk rasa tahun 2019 dan atas tindakan mereka menentang otoritas pemerintahan.
Pihak pemenang dalam pemilu Oktober lalu adalah kubu ulama Syiah yang berpengaruh, Muqtada al-Sadr. Kubu Sadr meraup perolehan kursi terbanyak di parlemen, yakni 73 dari 329 kursi. Sadr berupaya menjalin hubungan baik dengan Iran, tetapi ia secara terbuka menentang campur tangan luar terhadap urusan domestik Irak.
Sejumlah unjuk rasa belakangan ini tampaknya dimaksudkan untuk menekan Sadr agar faksi-faksi pro-Iran menjadi bagian dari kabinet pemerintahan Irak berikutnya. Sebagai pemenang, blok Sadr akan mencari mitra-mitra koalisi dan menunjuk perdana menteri.