Perdana Menteri Inggris Boris Johnson memperkirakan, peluang keberhasilan Konferensi Iklim di Glasgow hanya mencapai skala 6 dari 10.
Oleh
A Tomy Trinugroho, dari Glasgow, Inggris
·3 menit baca
GLASGOW, KOMPAS — Dunia menanti terobosan berarti sekaligus konkret dari Konferensi Iklim di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya, yang dimulai pada Minggu (31/10/2021). Pembaruan komitmen yang lebih tegas serta mekanisme respons terhadap kegagalan implementasi rencana aksi oleh negara-negara diharapkan dirumuskan di Glasgow.
Konferensi iklim Glasgow atau Conferences of the Parties (COP) Ke-26 krusial karena amanah dari COP 21 di Paris, tahun 2015. Kesepakatan Paris 2015 mensyaratkan setiap lima tahun semua pihak harus mencanangkan target nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) yang lebih ambisius ketimbang NDC yang disampaikan di Paris. Konferensi Glasgow seharusnya diadakan pada 2020, tetapi ditunda setahun akibat pandemi Covid-19.
Kesepakatan Paris 2015 diadopsi oleh sebagian besar negara di dunia. Mereka intinya berjanji untuk berupaya menahan kenaikan suhu permukaan Bumi kurang dari 2 derajat celsius ketimbang suhu permukaan saat belum ada mesin uap (pra-industri).
Namun, dalam riset terakhir, pertambahan suhu saat ini sudah mencapai 1,1-1,3 derajat celsius ketimbang era praindustri. Dalam situasi itu, seluruh pihak memahami perlu ada komitmen jauh lebih keras untuk mengurangi emisi karbon guna mencegah pemanasan.
Kalau tidak, dalam waktu lebih tidak lama, suhu permukaan Bumi naik lebih dari 2 derajat celsius. Hal ini diyakini akan membuat pencairan es di kutub lebih masif, muka air laut naik semakin tak terkendali, badai dan hujan deras berlangsung lebih sering, dan pada saat yang sama, udara lebih kering di wilayah lainnya.
Maka, berbagai kalangan melihat kini pemanasan suhu permukaan harus dibatasi maksimal 1,5 derajat celsius. Target itu memerlukan langkah drastis, yakni emisi karbon dioksida seluruh dunia pada 2030 harus lebih rendah 45 persen ketimbang 2010. Selanjutnya, pada pertengahan abad ini atau tahun 2050, emisi karbon dioksida harus nol.
Seperti pada COP sebelumnya, Konferensi Glasgow juga mengundang beribu-ribu orang dari berbagai penjuru dunia. Tak hanya wakil pemerintahan, COP juga memiliki acara yang diikuti aktivis serta pemimpin korporasi. Bersama pemerintah, mereka juga memegang peranan penting dalam upaya mencegah kenaikan suhu permukaan Bumi akibat emisi gas rumah kaca.
Mengingat posisi penting COP 26 Glasgow dalam kaitannya dengan Kesepakatan Paris 2015, kepala negara dan pemerintahan akan datang ke kota tersebut. Presiden Joko Widodo dan Presiden Amerika Serikat merupakan sebagian dari puluhan pemimpin yang akan hadir di Glasgow untuk merumuskan langkah pencegahan kepunahan masal di Bumi akibat emisi karbon yang berlebihan.
Di Bandara Edinburgh, Skotlandia, Sabtu (30/10/2021) siang, kesibukan terjadi. Warga dengan beragam warna kulit dan kebangsaan berdatangan. Kesibukan ini sudah terjadi sejak beberapa hari silam. Selain dari Indonesia, ada rombongan dari Eswatini (negara di Afrika tengah) dan Qatar.
Antrean cukup panjang terjadi di imigrasi bandara. Pemeriksaan meliputi paspor dan surat pengakuan keikutsertaan dalam COP 26 dari pihak penyelenggara.
Perjalanan dari Edinburgh menuju Glasgow, tempat konferensi diadakan, lebih kurang satu jam. Mereka yang tak mendapat hotel di Galagow biasanya mencari tempat menginap di Edinburgh.
Para pemimpin dunia hadir hampir setiap tahun sejak 1995 untuk membahas langkah menghadapi krisis iklim akibat pemanasan global yang dipicu emisi gas rumah kaca. Pertemuan rutin yang disebut COP itu meliputi 190 negara penanda tangan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Sabtu, memperkirakan, peluang keberhasilan COP 26 mencapai skala 6 dari 10. ”Yang perlu kita lakukan adalah menjamin bahwa di COP pemimpin dunia bekerja sama dan membuat komitmen yang tegas,” katanya di Roma. (REUTERS/FRO)