Konsentrasi Gas Rumah Kaca Mencapai Rekor Tertinggi
WMO menyebut konsentrasi rata-rata global karbon dioksida (CO2), gas rumah kaca utama, mencapai 413,2 bagian per juta pada 2020. Peningkatan tahun tersebut lebih tinggi daripada rata-rata tahunan selama dekade terakhir.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun pandemi Covid-19 telah menurunkan mobilitas penduduk global, konsentrasi gas rumah kaca kembali mencapai rekor tertinggi pada 2020 dan terus berlanjut pada 2021 ini. Peningkatan emisi karbon berarti meningkatnya suhu dan cuaca ekstrem.
Rekor konsentrasi gas rumah kaca ini disampaikan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dalam laporan ”Buletin Gas Rumah Kaca” yang diterbitkan pada Senin (25/10/2021). Laporan ini muncul bersamaan dengan peringatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa dunia tetap berada di luar target untuk memenuhi tujuannya mengurangi emisi sebagai bagian dari upaya internasional untuk mengekang pemanasan global.
”Buletin Gas Rumah Kaca berisi pesan ilmiah yang gamblang untuk negosiator perubahan iklim di COP 26,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia Petteri Taalas saat meluncurkan laporan tahunan lembaganya tentang gas rumah kaca.
Menurut laporan ini, konsentrasi rata-rata global karbon dioksida (CO2), gas rumah kaca utama, mencapai 413,2 bagian per juta pada 2020. Peningkatan tahun tersebut lebih tinggi daripada rata-rata tahunan selama dekade terakhir meski ada penurunan 5,6 persen dalam emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil karena pembatasan Covid-19.
Kita akan melihat peningkatan suhu global pada akhir abad ini jauh melebihi target kesepakatan Paris 1,5 hingga 2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.
Konsentrasi CO2 saat ini telah lebih tinggi 149 persen dibandingkan dengan tingkat pra-industri. Metana (CH4) telah melebihi 262 persen dan nitrous oxide (N2O) mencapai 123 persen dari tingkat di tahun 1750. Perlambatan ekonomi akibat Covid-19 tidak berdampak nyata pada tingkat atmosfer gas rumah kaca dan tingkat pertumbuhannya meski ada penurunan sementara dalam emisi baru.
Selama emisi berlanjut, suhu global akan terus meningkat. Mengingat umur CO2 yang panjang, tingkat suhu yang telah diamati akan bertahan selama beberapa dekade, bahkan jika emisi dikurangi dengan cepat hingga nol. Bersamaan dengan meningkatnya suhu, ini berarti lebih banyak cuaca ekstrem, termasuk panas dan curah hujan yang tinggi, pencairan es, kenaikan permukaan laut, dan pengasaman laut, disertai dengan dampak sosial ekonomi yang luas.
Taalas mengatakan, tingkat emisi di atas 400 bagian per juta, yang tercapai pada 2015, memiliki dampak negatif besar bagi kehidupan dan kesejahteraan kita sehari-hari. Emisi karbon dioksida yang ditimbulkan manusia, yang sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak dan gas atau dari produksi semen, berjumlah sekitar dua pertiga dari efek pemanasan pada iklim.
Secara keseluruhan, perlambatan ekonomi tahun lalu karena pandemi ”tidak memiliki perbedaan” signifikan dalam menurunkan emisi karbon. Dengan tren saat ini, menurut Taalas, kita akan melihat peningkatan suhu global pada akhir abad ini jauh melebihi target kesepakatan Paris 1,5 hingga 2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.
Menurut laporan WMO ini, konsentrasi karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida jauh di atas level di era pra-industri sebelum 1750, ketika aktivitas manusia ”mulai mengganggu keseimbangan alami bumi”. Laporan tersebut mengacu pada informasi yang dikumpulkan oleh jaringan yang memantau jumlah gas rumah kaca yang tersisa di atmosfer setelah sebagian diserap oleh lautan dan biosfer.
Pergeseran hutan
Dalam laporannya, WMO juga menunjukkan tanda-tanda perkembangan baru yang mengkhawatirkan. Di antaranya, wilayah hutan yang dulu menjadi penyerap karbon, sekarang menjadi sumber emisi.
”Salah satu pesan mencolok dari laporan kami adalah bahwa wilayah Amazon, yang dulunya merupakan penyerap karbon, telah menjadi sumber karbon dioksida,” kata Taalas. ”Dan, itu karena penggundulan hutan. Terutama karena perubahan iklim lokal global. Kelembaban dan curah hujan kita lebih sedikit.”
Kepala Divisi Penelitian Atmosfer dan Lingkungan WMO Oksana Tarasova mengatakan, hasil yang menunjukkan Amazon telah menjadi sumber emisi bukan terjadi di seluruh wilayah ini. Namun, hal ini terutama terjadi di bagian tenggara Amazon yang sudah mengalami deforestasi.
Komitmen tidak memadai
Secara terpisah, Kantor Iklim PBB mengumumkan penilaiannya terhadap komitmen formal yang dibuat oleh negara-negara yang menandatangani Kesepakatan Paris (Paris Agreement), yang dinilai tidak memadai. Disebutkan, emisi global pada 2030 diproyeksikan menjadi 16 persen lebih tinggi daripada tahun 2010, berdasarkan komitmen resmi sejauh ini.
”Peningkatan seperti itu, kecuali jika diubah dengan cepat, dapat menyebabkan kenaikan suhu sekitar 2,7 derajat celsius pada akhir abad ini,” sebut PBB.
Para ahli berpendapat bahwa emisi harus dikurangi setengahnya pada tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat 2010 dan harus mencapai nol emisi pada pertengahan abad. Itu jika kita ingin membatasi pemanasan global pada 2 derajat celsius.
”Melebihi target suhu akan menyebabkan dunia yang tidak stabil dan penderitaan tanpa akhir, terutama di antara mereka yang berkontribusi paling sedikit terhadap emisi GRK (gas rumah kaca) di atmosfer,” kata Patricia Espinosa, yang mengepalai Kantor Iklim PBB.
Espinosa menegaskan, konsentrasi emisi dan komitmen kita untuk menurunkannya saat ini tidak berada di titik yang menurut sains seharusnya berada.
Namun, target penurunan emisi terbaru di China dan India, penghasil emisi nomor satu dan nomor tiga dunia, belum dimasukkan dalam analisis karena mereka belum secara resmi menyerahkannya ke PBB.