Gara-gara pernyataan kontroversial seorang menteri, hubungan dua negara bisa memburuk. Apalagi jika ada latar belakang politik yang melibatkan persaingan dua kekuatan besar. Inilah yang sedang terjadi di Lebanon.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIRUT, JUMAT — Pemerintah Arab Saudi, Jumat (29/10/2021), memerintahkan Duta Besar Lebanon untuk Kerajaan Arab Saudi angkat kaki dari Riyadh dalam waktu 48 jam dan menghentikan semua impor dari Lebanon. Langkah itu diambil karena Arab Saudi berang dengan komentar seorang menteri Lebanon yang menggambarkan perang di Yaman sebagai akibat dari agresi Arab Saudi.
Pemerintah Arab Saudi, sebagaimana dilaporkan media Pemerintah Arab Saudi, juga memerintahkan Duta Besar Saudi di Beirut untuk pulang ke Riyadh. Namun, ditegaskan bahwa langkah-langkah diplomatik Riyadh itu tidak akan memengaruhi puluhan ribu warga Lebanon dan keluarga mereka yang tinggal dan bekerja di kerajaan kaya minyak itu.
Langkah Riyadh tersebut lantas diikuti Kerajaan Bahrain. Beberapa saat setelah pengumuman Riyadh, Bahrain juga memerintahkan duta besarnya di Lebanon untuk kembali ke Bahrain.
Keputusan Saudi untuk menghentikan semua impor dari Lebanon bisa makin menekan ekonomi Lebanon. Arab Saudi merupakan pasar utama produk ekspor Lebanon selama beberapa dekade terakhir.
Di sisi lain, Lebanon tengah sangat membutuhkan mata uang asing menyusul krisis ekonomi dan keuangan terburuk dalam sejarah modernnya. Sejak krisis ekonomi Lebanon pada akhir 2019, mata uang Lebanon telah kehilangan lebih dari 90 persen nilai tukarnya, puluhan ribu warga kehilangan pekerjaan, dan tiga perempat penduduknya kini hidup miskin.
Respons keras terhadap Lebanon itu dipicu oleh pernyataan kontroversial Menteri Informasi Lebanon George Kordahiyang membuat geram Arab Saudi. Dalam video yang viral di media sosial beberapa hari terakhir, Kordahi menyebutkan bahwa perang di Yaman sebagai agresi oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Dia menambahkan bahwa perang di Yaman adalah sesuatu yang ”tidak masuk akal” dan harus dihentikan karena dia menentang perang di antara orang-orang Arab.
Di Lebanon sendiri, isi video itu sendiri telah membuat gaduh. Kantor Perdana Menteri (PM) Lebanon menyebutkan, PM Najib Mikati membahas situasi mutakhir itu dengan Presiden Michel Aoun sebelum menelepon Kordahi. Mikati meminta Kordahi untuk mengambil ”keputusan yang tepat demi kepentingan nasional” atas tindakan-tindakannya.
Mikati meminta Kordahi untuk mengambil ”keputusan yang tepat demi kepentingan nasional” atas tindakan-tindakannya.
Mikati menyatakan penyesalannya dan meminta Arab Saudi untuk meninjau kembali keputusannya. Ia menambahkan bahwa pemerintahnya ”dengan tegas menolak” apa pun yang merusak ”hubungan persaudaraan yang dalam” antara Lebanon dan Arab Saudi.
Sebelumnya, Mikati menekankan, komentar Kordahi tidak mewakili pendapat Pemerintah Lebanon. Apalagi, komentar terkait Arab Saudi itu adalah penggalan video lama yang diambil sebelum Kordahi dilantik sebagai menteri bulan lalu. Kordahi, seorang mantan pembawa acara televisi, adalah sosok yang dekat dengan Gerakan Kristen Marada, sekutu kelompok Hezbollah.
Kordahi sendiri memilih bergeming dengan pendiriannya. Dalam konferensi pers di Beirut beberapa hari lalu, ia menyatakan menolak meminta maaf atas isi wawancara yang viral itu. Ia mengaku materi wawancara dalam bentuk video itu disiarkan pada 5 Agustus, sebulan sebelum dirinya dilantik sebagai menteri.
Dia menambahkan bahwa sejak menjadi menteri, dia mematuhi kebijakan pemerintah untuk tidak mengungkapkan pendapatnya. ”Kita di Lebanon tidak boleh terus menjadi sasaran pemerasan oleh siapa pun, apakah mereka itu sebagai entitas negara, duta besar, atau individu,” kata Kordahi yang menyatakan tidak berencana mengundurkan diri dari jabatannya atas polemik yang muncul.
Arab Saudi mengatakan, kelompok Hezbollah telah membantu pemberontak Houthi di Yaman. Baik kelompok Hezbollah maupun Houthi didukung oleh Iran. Ini merupakan bagian Poros Perlawanan yang juga mencakup Pemerintah Suriah dan milisi Syiah yang kuat di Irak. Arab Saudi sendiri selama ini menjadi pendukung utama Lebanon.
Di Timur Tengah, Arab Saudi terlibat persaingan ketat dengan Iran yang menjadi sekutu utama kelompok Hezbollah yang kuat di Lebanon. Ketegangan di antara dua kekuatan regional itu sering kali berujung pada kebuntuan pengambilan keputusan dalam politik Lebanon.
Arab Saudi adalah salah satu negara Teluk yang memberlakukan sanksi terhadap kelompok Hezbollah. Arab Saudi mencantumkan Hezbollah yang didukung Iran sebagai organisasi teroris. Hubungan antara Arab Saudi dan Lebanon telah tegang dalam beberapa bulan terakhir atas apa yang dikatakan kerajaan itu sebagai bentuk kendali Hezbollah atas Lebanon. (AP/BEN)