Potret Kegetiran dan Kekelaman Hidup di Korsel dalam Sinema Korea
Film-film Korsel merekam kehidupan orang miskin dan kesulitan keuangan di negara itu. Digambarkan pula bahwa orang Korsel rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang atau memperbaiki kondisi ekonominya.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Lembaga pemeringkat Nielsen memasukkan Squid Game sebagai salah satu dari 10 serial paling populer di berbagai negara pada September-Oktober 2021. Seperti sejumlah sinema Korea Selatan lain yang lebih dahulu terkenal di panggung internasional, Squid Game juga menunjukkan sisi kelam dan kegetiran kehidupan di Korea Selatan.
Sebelum Squid Game, dunia terperangah oleh Parasite. Film besutan sutradara Bong Joon-ho itu meraih puluhan penghargaan di berbagai benua. Bong merekam kemiskinan dan ketimpangan di Korea Selatan.
Seperti Bong, sutradara Hwang Dong-hyuk juga merekam kehidupan orang miskin dan kesulitan keuangan di Korsel lewat Squid Game. Bong dan Hwang sama-sama menggambarkan bahwa orang Korsel rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang atau memperbaiki kondisi ekonominya.
Di Squid Game, mereka rela mati dalam permainan yang menawarkan hadiah 4 juta won. Di Parasite, orang Korsel rela membunuh demi hidup di rumah mewah dan meninggalkan rumah di permukiman kumuh yang rawan banjir.
Meski cerita Parasite sepenuhnya fiksi, Bong tidak menampik film itu terinspirasi kegetiran hidupnya. Bagi banyak orang di luar Korea Selatan, sulit memahami ada kegetiran seperti itu di negara dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita lebih dari 30.000 dollar AS per tahun tersebut. PDB per kapita Korsel hampir 10 kali lipat PDB per kapita Indonesia.
Kegetiran dan kekelaman tidak hanya digambarkan di Squid Game dan Parasite. Jauh sebelum kedua film itu beredar, ada Oldboy yang masuk ke kancah internasional pada 2003. Film besutan Park Chan-wook juga menggambarkan orang Korsel rela melakukan apa saja demi kesenangan. Bedanya, kesenangan di Oldboy dilakukan oleh orang berpunya. Mereka rela membayar untuk menonton orang yang disekap selama belasan tahun.
Cerita di Oldboy memang bukan monopoli Korsel saja. Film-film Amerika Serikat, seperti Death Race atau Hard Target, juga menggambarkan orang-orang yang mendapat kesenangan dari menyaksikan penderitaan orang lain. Orang Jerman pada abad 18 menemukan istilah untuk kondisi itu, Schadenfreude. Artinya, kesenangan yang timbul karena kesusahan orang lain.
Park dan Bong sama-sama dikenal lewat karya-karya mereka yang menggambarkan sisi kelam Korea Selatan. Park fokus ke sinema penuh ketegangan, Bong memilih menyajikan humor yang getir.
Kehidupan keras
Film-film Bong juga menggambarkan kerasnya kehidupan di Korsel. Dalam Parasite, ada tokoh yang harus memalsukan ijazah demi mendapatkan pekerjaan sebagai guru les.
Kehidupan keras dengan persaingan sengit tidak hanya digambarkan lewat film-film Bong. Dalam berbagai serial dan sinema Korsel kerap juga digambarkan pelajar harus ikut les tambahan sampai larut malam agar lulus ujian sekolah dan ujian masuk universitas.
Para keluarga kaya dalam film-film tersebut digambarkan rela membayar guru les dengan biaya mahal demi memastikan anak-anak mereka lulus ujian. Serial Sky Castle dengan salah satu tokoh bernama Kim Joo Young adalah salah satu film Korsel yang memotret fenomena itu. Guru Kim digambarkan punya reputasi membantu para muridnya lolos ujian masuk berbagai universitas ternama.
Lolos ujian masuk perguruan tinggi favorit di Korsel memang menjadi salah prioritas orang-orang di sana. Mereka rela melakukan apa pun, seperti digambarkan murid-murid Guru Kim, demi lolos ujian.
Hal itu lagi-lagi menunjukkan kontradiksi atas citra yang dibangun Korsel. Warga Korsel digambarkan sangat menjunjung etika. Walakin, film-film Korsel menunjukkan ada orang di negara itu yang mau menerabas etika demi mencapai tujuan.
Seperti diungkap Bong, film-film Korsel juga merekam ketimpangan. Dalam jajak pendapat oleh Korea Institute for Health and Social Affairs pada 2019 terungkap, 85 persen responden mengaku ada ketimpangan sangat besar di negara mereka. Kini, 40 persen warga Korsel berusia di atas 65 tahun berada dalam kemiskinan. Mereka tidak dapat berbuat banyak karena sudah tidak lagi di usia produktif.
Dosen di Chung-ang University, Choong Yong Ahn, menyebut ketimpangan semakin terasa sejak krisis 1998. Krisis itu menjatuhkan banyak Chaebol, para konglomerat Korsel. Pembangunan Korsel 1950-1998 memang mirip konsep yang diterapkan Indonesia masa Orde Baru: membina konglomerasi dengan bantuan besar-besaran dari negara.
Selepas krisis 1998, sebagian Chaebol tetap kaya raya dan hal itu lagi-lagi digambarkan dalam film-film Korsel. Rumah seperti istana, bepergian dengan pesawat pribadi atau hanya duduk di kelas tertinggi dalam penerbangan komersial, berkendaraan mobil-mobil kelas atas, dan menggunakan baju buatan perancang ternama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para tokoh dalam film Korsel.
Mereka menawarkan mimpi indah tentang hidup mewah. Bong, Hwang, dan Park menawarkan mimpi versi lain: mimpi buruk. (AFP/REUTERS)