Semikonduktor, Penangkal Taiwan dari Ancaman Serbuan China
Taiwan saat ini sama pentingnya seperti Timur Tengah bagi dunia sejak Revolusi Industri. Jika Timteng pemasok utama minyak dunia, Taiwan pemasok utama semikonduktor global. Ini membuat Taiwan diperhitungkan AS-China.
Meski telah mengerahkan hampir 150 pesawat tempur pada awal Oktober ini, belum ada tanda China akan memerintahkan tentaranya menyerbu Taiwan. China malah menunjukkan upaya mencegah konflik militer terbuka. Akan tetapi, lain ceritanya di ranah teknologi.
Menandingi Amerika Serikat dan sekutunya, militer China maju pesat dalam 25 tahun terakhir. Dengan anggaran pertahanan jauh di bawah Washington, Beijing memodernisasi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menjadi salah satu militer dengan perlengkapan tercanggih di Bumi.
Baca juga : Tekor karena Semikonduktor
Namun, kata kunci ”canggih” merupakan keunggulan sekaligus titik kelemahan PLA dan China secara keseluruhan. Pada kata kunci itu, Taiwan bisa disebut unggul jauh atas China. Faktor utamanya adalah Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), perusahaan Taiwan yang menguasai 84 persen pasar semikonduktor global di aras tertinggi dan 45 persen pasar semikonduktor secara keseluruhan.
Semua hal yang canggih pada masa ini membutuhkan semikonduktor. Semakin canggih suatu benda, semakin kecil dan semakin rumit semikonduktor yang dibutuhkan.
Peneliti Eurasia Group, Ian Bremmer dan Aly Wyne, menyebut Taiwan pada era 4.0 ini sama pentingnya seperti Timur Tengah bagi dunia sejak era Revolusi Industri. Timur Tengah menjadi pemasok utama minyak dunia dan, dengan itu, dunia bergerak. Sementara Taiwan menjadi pemasok utama semikonduktor global yang dibutuhkan oleh kalkulator biasa hingga pesawat tempur dan satelit tercanggih.
TSMC kini mulai memproduksi semikonduktor berukuran 3 nanometer (nm). Adapun AS baru membangun pabrik semikonduktor 5 nm, sedangkan China masih berupaya menghasilkan keeping 7 nm. Semakin kecil kepingnya, semakin kuat semikonduktor. Pada keping-keping yang lebih kecil itu dimasukkan komponen-komponen terkuat dengan teknologi terbaru.
Beijing berusaha mengatasi ketertinggalan dalam pengembangan semikonduktor dari Taipei. Setiap tahun, mereka mengucurkan puluhan miliar dollar AS untuk mendorong industri semikonduktor domestik. Beijing ingin porsi semikonduktor impor terpangkas. Setiap tahun, China membayar hampir 400 miliar dollar AS untuk mengimpor semikonduktor. Sebagai perbandingan, negara itu hanya mengeluarkan rata-rata 280 miliar dollar AS per tahun untuk mengimpor minyak.
Semikonduktor memang penting bagi perekonomian dan pertahanan nasional China. Industri teknologi yang memberikan nilai tambah tinggi di China masih menggunakan semikonduktor impor. Berbagai produk berlabel ”buatan China” menggunakan semikonduktor buatan Taiwan.
Baca juga : Khawatir untuk Pengembangan Senjata, AS Larang Ekspor Teknologi ke China
Sejumlah pihak menyebutkan, China tertinggal paling sedikit lima tahun dari Taiwan dalam soal kemajuan teknologi semikonduktor. Jika diperincikan ke beberapa perusahaan di China, ketertinggalan malah bisa lebih jauh lagi. Karena itu, Beijing sangat berhasrat memangkas ketertinggalannya. Mereka melakukan berbagai cara demi tujuan tersebut.
Perburuan China
Biro Keamanan Nasional Taiwan menuding China berada di balik rangkaian spionase industri dalam beberapa tahun terakhir. Taipei menuding Beijing membayar banyak orang untuk mencuri teknologi dan rancangan semikonduktor mutakhir dari Taipei.
”Tujuan penyusupan komunis China pada teknologi kami tidak hanya untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga dilandasi tujuan politis untuk membuat Taiwan lebih lemah dan lebih miskin,” demikian pernyataan lembaga itu dalam laporan kepada parlemen Taiwan pada akhir September lalu.
Kementerian Ekonomi Taiwan menuding, China berusaha memacu industri semikonduktornya dengan melancarkan perburuan brutal terhadap pekerja industri semikonduktor Taiwan. ”Juga mencoba mencuri rahasia industri, hal yang mengancam daya saing negara,” demikian tercantum dalam laporan kepada parlemen di Taipei.
Pada April lalu, parlemen Taiwan telah mengusulkan perubahan undang-undang yang mengatur hubungan Beijing-Taipei. Usulan dipicu kekhawatiran bahwa China berusaha menguras keunggulan teknologi Taiwan.
Parlemen mengusulkan penerima uang hibah negara untuk pengembangan teknologi harus mendapat izin pemerintah jika akan bertandang ke China atau bertemu pihak dari China. Pelanggar bisa didenda 360.555 dollar AS. Walakin, tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan teknologi tertentu dan teknologi inti nasional. Tidak pula dijelaskan kriteria penerima hibahnya.
Kekhawatiran Taipei memang beralasan. Banyak pekerja industri semikonduktor Taiwan pindah ke industri semikonduktor China. Meski dilarang membagikan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) milik Taiwan, para pekerja itu mempunyai pengetahuan luas dan mendalam soal semikonduktor. Berbekal kemampuan itu, mereka bisa membantu China terus memangkas ketertinggalannya.
Ancaman dan jaminan
Bagi Taiwan, China yang semakin maju jelas menjadi ancaman serius. Secara ekonomi, dengan semakin maju, China bisa memangkas ketergantungan dari Taiwan. Semakin maju semikonduktor China, semakin sedikit impornya. Kondisi tersebut tidak menguntungkan bagi Taipei.
Secara militer, ada dua dasar kekhawatiran Taiwan. Pertama, senjata-senjata canggih membutuhkan semikonduktor mutakhir. China tidak bisa mengembangkan persenjataan hipersonik, jet tempur, hingga jaringan satelit militer tanpa dukungan semikonduktor mutakhir.
Baca juga : Tandingi Ambisi Teknologi China, AS Siapkan Subsidi Rp 2.400 Triliun
Alasan kedua, status sebagai pemasok utama semikonduktor global adalah penjamin utama Taiwan tidak akan diserang China. Taipei tidak bisa sepenuhnya mengandalkan sokongan Washington. Presiden AS Joe Biden telah menegaskan dukungan Washington pada kebijakan Satu China. Hal itu berarti, AS hanya mengakui China sebagai negara. Meski di sisi lain, AS juga terus mempertahankan dukungan kepada Taiwan.
Selain penegasan Biden, Washington juga terus menunjukkan keinginan mencegah konflik terbuka dengan China. Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley bolak-balik menghubungi Kepala Staf Gabungan China Jenderal Li Zuocheng. Lewat telepon itu, Milley meyakinkan Li bahwa AS tidak berniat menyerang China.
Beijing-Washington juga sigap berupaya meredakan ketegangan setelah kapal selam nuklir AS, USS Connecticut, menabrak ”benda tidak dikenal” di Laut China Selatan pada 2 Oktober lalu. Selang beberapa hari setelah insiden tersebut, Biden mengumumkan dukungan AS kepada kebijakan Satu China. Setelah itu, Penasihat Keamanan Nasional AS Jack Sullivan bertemu Kepala Kebijakan Luar Negeri pada Politbiro Partai Komunis China Yang Jiechi di Zurich, Swiss.
Sejumlah pakar dan lembaga kajian AS pun menyebutkan, AS bisa kalah jika berperang dengan China. Berbagai simulasi menguatkan kesimpulan itu. Apalagi, setelah Afghanistan, semakin banyak sekutu AS ragu Washington akan membela mereka jika ada perang.
Taiwan tidak dalam situasi sangat membutuhkan AS selama industri teknologinya masih unggul atas China. Beijing dan Washington sama-sama sudah merasakan dampak buruk kelangkaan semikonduktor pada perekonomian mereka. Banyak pabrik terpaksa berhenti beroperasi gara-gara tidak tersedia cukup semikonduktor untuk ponsel, televisi hingga mobil.
Baca juga: Kecelakaan Kapal Selam Menyingkap Kelemahan AS dan Sekutunya
Bahkan, kini justru AS-China bergantung kepada Taiwan agar bisa mendapat pasokan semikonduktor.
Kedua negara itu sama-sama tertinggal atas Taiwan untuk urusan semikonduktor. Beijing-Washington sama-sama paham bahwa gangguan pada pasokan semikonduktor akan menyulitkan AS-China dan negara lain.
Pasokan akan semakin terganggu jika China sampai nekat menyerbu Taiwan. Taipei akan sibuk mempertahankan diri, bukan memproduksi semikonduktor, jika sampai ada serbuan Beijing. (AFP/REUTERS)