Nobel Perdamaian untuk Penjaga Nalar dan Demokrasi
Penghargaan Nobel Perdamaian untuk Ressa dan Muratov adalah bentuk pengakuan betapa kerja jurnalis yang dijalani saat ini sangat sulit dan membutuhkan tenaga untuk menghadapinya.
Bersamaan dengan kemunculan media sosial yang membombardir warga dengan informasi hingga berita bohong, demokrasi di banyak negara mengalami penurunan kualitas. Jurnalis dan media pun dihujat oleh para penghamba kekuasaan dan penguasa. Namun, sejatinya, tak ada negara yang demokratis tanpa kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Komite Nobel Norwegia, di luar dugaan, menganugerahi Nobel Perdamaian untuk dua jurnalis, yakni Maria Ressa dan Dmitry A Muratov. Ressa adalah jurnalis, Pemimpin Redaksi dan CEO Rappler Filipina. Sementara Muratov adalah jurnalis dan Pemimpin Redaksi Novaya Gazeta, sebuah media independen Rusia. Penghargaan bagi Ressa dan Muratov adalah penghargaan Nobel Perdamaian ketiga yang diberikan kepada jurnalis sepanjang 120 tahun terakhir.
Dua penghargaan Nobel Perdamaian sebelumnya diberikan kepada Ernesto Moneta, edito surat kabar dan pemimpin gerakan perdamaian di Italia, tahun 1907. Yang kedua diberikan kepada Carl von Ossietzky, jurnalis Jerman penentang Hitler dan Nazi, yang membuatnya harus mendekam di penjara. Dia memenangi penghargaan itu tahun 1935.
Kebebasan pers, kebebasan berekspresi adalah syarat mutlak sebuah masyarakat yang demokratis. Tidak ada masyarakat yang demokratis tanpa kebebasan berekspresi.
Ketua Komite Nobel Norwegia Beritt Reis-Andersen mengatakan, penghargaan untuk Ressa dan Muratov adalah penghargaan bagi sosok yang mengabdikan hidupnya untuk menjalani tugas dan kewajiban yang sangat penting (bagi demokrasi, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi). Komite menggarisbawahi bahwa kedua jurnalis ini sangat berani dan mewakili sikap jurnalis yang profesional dengan kualitas yang sangat tinggi.
”Kebebasan pers, kebebasan berekspresi adalah syarat mutlak sebuah masyarakat yang demokratis. Tidak ada masyarakat yang demokratis tanpa kebebasan berekspresi,” kata Reiss-Andersen.
Tekanan dan Ancaman
Ressa, saat pengumuman itu dibacakan, tengah berada di ruang virtual bersama ratusan jurnalis di Asia Tenggara untuk berbicara tentang tekanan yang dihadapi oleh para jurnalis. ”Oh Tuhan. Terus terang aku sangat terkejut. Penghargaan ini buat kita semua,” katanya.
Penghargaan itu, lanjutnya, adalah bentuk pengakuan betapa kerja jurnalis yang dijalani saat ini sangat sulit dan membutuhkan tenaga untuk menghadapinya. ”Terima kasih kepada Komite Nobel untuk penghargaannya dan pengakuan bahwa kerja jurnalis saat ini sangat sulit dan penuh tantangan. Tapi, kita juga semua berharap bisa memenangi pertempuran untuk menyuarakan kebenaran itu,” ujar Ressa.
Filipina, dalam satu dekade terakhir, menjadi tempat yang tidak bersahabat kepada jurnalis. Tragedi pembantaian Ampatuan yang menewaskan puluhan jurnalis menjadi salah satu bukti ketidakamanan bagi jurnalis di Filipina. Federasi Jurnalis Internasional menyebut Filipina sebagai negara paling mematikan bagi jurnalis. Sejak 1986, ada 186 jurnalis tewas. Sebanyak 13 orang di antaranya tewas sejak 2016 ketika Rodrigo Duterte mulai menjabat sebagai presiden.
Baca juga : Nobel 2021 suluh bagi jurnalisme
Lembaga Reporter Tanpa Batas (RFS) menempatkan Filipina pada peringkat ke-138 Indeks Kebebasan Pers tahun 2020 dari 178 negara. Negara bekas jajahan Spanyol ini lebih baik satu peringkat dari Sudan Selatan yang laten dengan konflik.
Ressa memulai karier jurnalistiknya di stasiun televisi People’s Television Network di Kota Quezon tahun 1987. Setelah itu, ia melanglangbuana ke beberapa stasiun televisi nasional dan internasional, seperti ABS-CBN dan CNN. Dia sempat mengepalai CNN biro Jakarta selama satu dekade dan menancapkan kariernya sebagai seorang jurnalis investigasi, terutama persoalan terorisme di wilayah Asia Tenggara dan Asia.
Setelah mundur sebagai jurnalis televisi dan mendirikan media sendiri, Rappler, peran media sebagai pilar demokrasi benar-benar dipegang teguh oleh Ressa dan para jurnalisnya. Karya jurnalistik Rappler memusatkan perhatian dan bersikap sangat kritis terhadap perang narkoba yang dilancarkan Duterte, yang telah mengakibatkan 29.000 warga tewas di tangan polisi. Perang narkoba itu dinilai bagian dari penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan bentuk otoritarianisme Duterte.
Secara tersamar, ketidaksukaan Duterte terhadap media, termasuk Ressa, disampaikannya ketika dia dilantik, Juni 2106. ”Hanya karena Anda seorang jurnalis, Anda tidak terbebas dari pembunuhan. Kebebasan berekspresi tidak dapat membantu Anda jika Anda telah melakukan sesuatu yang salah,” kata Duterte, dikutip dari laman RSF.
Baca juga : Trio ekonom AS raih Nobel Ekonomi 2021
Kekritisan Ressa terhadap pemerintahan Duterte berbuah ancaman kematian, ancaman pemerkosaan, doksing, pelecehan, dan meme yang rasis hingga misoginis. Dalam laporan ICFJ (International Center for Journalist), laman media sosial Facebook-nya merekam 90 pesan kebencian dalam satu jam.
Di dalam laporan yang sama, ICFJ juga menyebut, sebagian besar pelecehan dan ancaman dipicu oleh pernyataan publik Duterte yang mengutuk Ressa dan Rappler sebagai penjahat. Pelakunya adalah para pendengung (buzzer) atau key opinion leader yang memiliki pengaruh di media sosial dan merupakan orang-orang yang pro terhadap Duterte.
Kita harus menyadari, apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan apa yang ada di hadapan kita, apa yang terjadi di masa depan.
Selain pembusukan melalui serangan via platform digital, serangan terhadap Ressa dilakukan secara legal formal, melalui institusi hukum. Bersama mantan reporter Reynaldo Santo Jr, Ressa dinyatakan bersalah karena memfitnah seorang pengusaha kaya, salah satu kawan dekat Duterte. Selain itu, Ressa dan Rappler juga dianggap tidak mematuhi aturan pemerintah soal pajak.
Ressa mengatakan, jurnalis di seluruh dunia tengah mengalami masa kegelapan, masa-masa yang sulit. Namun, ia berharap semua jurnalis, para penjaga nalar bagi sebuah negara yang demokratis, tetap bertahan, berpegang teguh pada tugas sucinya.
”Kita harus menyadari, apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan apa yang ada di hadapan kita, apa yang terjadi di masa depan. Dan, hal itu membuat kita mendapatkan kekuatan yang lebih untuk mengatakan bahwa yang kita kerjakan telah berada pada jalur yang tepat,” kata Ressa.
Pers bebas
Seperti Ressa, Muratov dikenal sebagai jurnalis yang kritis. Ia adalah pendiri surat kabar independen Rusia, Novaya Gazeta. Muratov yang mendirikan Novaya Gazeta bersama beberapa rekan kerjanya di surat kabar sebelumnya, Komsomolskaya Pravda, tahun 1993.
Kekritisan Novaya Gazeta ditandai dengan penerbitan puluhan ribu artikel kritis tentang korupsi, kekerasan polisi, penangkapan tidak sah, penipuan pemilu, pabrik troll yang berujung pada disinformasi dan berita bohong, sampai penggunaan pasukan militer, baik di dalam Rusia maupun di luar negeri.
Kekritisan surat kabar itu membuat enam jurnalis surat kabar ini terbunuh, termasuk Anna Politkovskaja yang mengungkap perang di Chechnya. Meski banyak ancaman pembunuhan, Muratov menolak meninggalkan kebijakan independen surat kabar tersebut. Dia secara konsisten membela hak jurnalis untuk menulis apa pun yang mereka inginkan tentang apa pun yang mereka inginkan, selama mereka mematuhi standar profesional dan etika jurnalisme.
Mengutip tulisan Ilya Yablokov, dosen jurnalisme dan media digital di Universitas Sheffield, Inggris, di laman The Conversation, kesulitan keuangan yang sempat menimpa Novaya Gazeta tidak membuat Muratov menggadaikan independensinya. Dukungan dari sejumlah politisi dan pengusaha, termasuk mantan pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, yang mendukung pers bebas, membuat surat kabar ini melewati masa-masa sulit itu. Gorbachev diketahui memiliki saham 10 persen di media ini.
Selain mendedikasikan penghargaan ini bagi rekan-rekannya yang telah meninggal, Muratov mendedikasikan Nobel Perdamaian bagi tokoh oposisi Rusia, Alexei Navalny, yang kini berada di penjara.
Maria Angelita Ressa
Usia: 58 tahun
Pendidikan:
- Princeton University
- University of The Philippines Diliman
Karier:
- PT-4
- Kepala Biro CNN Jakarta
- Pemimpin Redaksi ABS-CBN
- The Wall Street Journal (kolumnis)
- Pendiri dan CEO Rappler Filipina
Penghargaan:
- Golden Pen Freedom Award 2018
- Knight International Journalism Award 2018
- Gwen Ifill Press Freedom Award 2018
- Time’s 100 Most Influential People 2019
- Nobel Perdamaian 2021
Dmitry Andreyevich Muratov
Usia: 59 tahun
Pendidikan: Kuybyshev State University
Karier:
- Volzhsky Komsomolets (koresponden)
- Komsomolskaya Pravda
- Pendiri dan Pemimpin Redaksi Novaya Gazeta (1993-sekarang)
Penghargaan:
- International Press Freedom Award 2007
- Golden Pen Freedom Award 2016
- Nobel Perdamaian 2021