Soal Diplomasi Papua, Indonesia Ingin Jadi Pendekar Serigala
Indonesia masih sering dikritik oleh beberapa negara terkait isu Papua. Secara internal, model pembangunan Jakarta terhadap Papua sendiri masih menjadi pekerjaan rumah. Diplomasi internasional tak kalah menantang.
Sesi Debat Umum Ke-76 Perserikatan Bangsa-Bangsa berlangsung 21-27 September 2021. Seperti biasa, ada tradisi ”balas pantun” antara Indonesia dan Vanuatu soal Papua.
Vanuatu menuding Indonesia melanggar hak asasi manusia (HAM). Sementara Indonesia defensif menanggapinya, termasuk dengan melontarkan komentar pedas bahwa Vanuatu mengusik kedaulatan dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
Baca juga: Vanuatu Kembali Soroti Isu HAM di Papua
Metode diplomasi defensif ini bukan hal baru. Untuk tataran global, juara dari pemakaian metode ini adalah China. Para diplomatnya dikenal dengan julukan ”pendekar serigala”, yang diambil dari judul film aksi Zhanlang, di antaranya juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin dan Zhao Lijian.
Setiap muncul kritik, pendekar serigala akan segera membalas dengan sindiran dan kecaman keras. Isu pelanggaran HAM di Xinjiang dan agresivitas di Laut China Selatan adalah kritik yang selalu dilontarkan kepada China oleh negara-negara pesaing. Negara pesaing itu tidak tanggung-tanggung, sebut saja Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa.
Indonesia tampaknya ingin menciptakan jurus yang lebih kurang sama untuk menghadapi Vanuatu. Kemiripannya adalah setiap kali berbalas tanggapan, bukan data yang diutarakan, tetapi protes dan keluhan. Salah satu contohnya ialah ketika Perwakilan Tetap Indonesia di PBB lebih menekankan kritik bahwa Vanuatu tidak memberi kecaman ataupun ucapan dukacita terhadap korban jiwa akibat tindakan kelompok bersenjata di Papua.
Dalam wawancara dengan Kompas, Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa, dan Tonga Tantowi Yahya menjelaskan bahwa Vanuatu memiliki landasan filsafat mereka sendiri untuk menyatukan ras Melanesia di dunia. Ia sendiri juga sering menghadapi pertanyaan dari berbagai pihak mengenai situasi HAM di Papua.
”Mayoritas dari penanya sebenarnya tidak memiliki pengetahuan mendalam mengenai Indonesia ataupun Papua, dan mereka bereaksi dari kabar yang tersiar di media sosial. Pengalaman saya ialah jika kita menjelaskan baik-baik situasi dan perkembangan Indonesia sebagai bangsa, diskusi dengan para penanya pun menjadi lebih produktif,” ujarnya.
Baca juga: Vanuatu Bicara Papua, Indonesia Respon Tegas
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh dosen Ilmu Politik Universitas Pelita Harapan, Adriana Elizabeth. Ia menjelaskan, diplomasi defensif itu adalah refleksi dari belum optimalnya pendekatan berbasis dialog yang dilakukan di dalam negeri. Ia mencontohkan, proyek jalan Trans-Papua yang ambisius ternyata tidak dikomunikasikan dengan intensif dengan warga, terutama masyarakat adat, sehingga memunculkan penolakan.
”Ini bukan karena warga tidak mau ada pembangunan, melainkan terkait pembebasan lahan dan makna lahan tersebut, tidak hanya bagi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga kepercayaan warga,” katanya.
Ia memberi contoh positif dalam pembukaan penambangan LNG Tangguh yang melibatkan masukan warga. Hasilnya, pembagian konsesi lahan berlangsung dengan jelas. Warga tidak hanya menerima ganti rugi, tetapi ada program pemberdayaan yang intensif dan berkelanjutan.
Isu di Papua sejatinya sama dengan isu di Jakarta maupun wilayah lain di Indonesia. Penggusuran lahan dan tempat tinggal, tidak adanya akses masyarakat terhadap sumber daya alam, kesenjangan sosial, dan minimnya lapangan kerja. Permasalahannya, apabila di wilayah lain warga bisa berunjuk rasa, warga Papua yang mengutarakan protes sering dicap sebagai separatis.
Baca juga: Pemerintah Diminta Antisipasi Eskalasi Kekerasan di Papua
“Kita juga harus ingat bahwa cap separatis ini datang dari pemerintah. Alasannya bisa karena aparat tidak mau repot menangani persoalan spesifik sehingga menggunakan cap ini sebagai pencegah masyarakat protes, bisa juga karena kurang memahami situasi,” ujar Adriana.
Adriana juga memaparkan masih sukarnya aparat di lapangan untuk bersikap terbuka. Reformasi di kepolisian, TNI, dan sektor penegakan hukum lainnya baru berjalan di Jakarta. Apabila di daerah, termasuk di Papua, susah sekali bagi media arus utama sekalipun mendapatkan kejelasan informasi karena aparat pemerintah sering memilih menutup diri.
Akibatnya, masalah kian berlarut-larut karena tidak ada kejelasan penyebabnya sehingga sukar dicari jalan keluar yang terbaik. Padahal, budaya Papua memiliki sistem dialog atau para-para adat, rumah honai, dan muna adat. Artinya, selalu ada pintu untuk mendudukkan perkara yang menurut Adriana kurang dimanfaatkan. Hasilnya adalah status quo dan semakin banyak kekerasan sosial.
“Padahal, keterbukaan informasi berarti Indonesia bisa menunjukkan bahwa ada berbagai upaya untuk memastikan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Papua. Otonomi daerah adalah salah satunya. Ini tentu harus diiringi kebijaksanaan untuk mendengar kritik penerapannya, baik dari dalam dan luar negeri,” tuturnya.
Baca juga: Refleksi Hubungan Indonesia-Vanuatu Pasca-Sidang Umum PBB
Hal serupa juga terjadi terkait izin peliputan dari media asing. Pada tataran pusat, pemerintah mengatakan semua media arus utama bebas datang dan menggali informasi. Ini adalah langkah yang patut dipuji. Akan tetapi, penerapan di lapangan tetap terkendala kurang terbukanya aparat sehingga wartawan tidak bisa memperoleh informasi dari setiap pihak.
Apabila Indonesia keberatan dengan hasil liputan, masih ada banyak cara untuk memberi sanggahan. Paling jitu ialah dengan data dan fakta. Di sini kedewasaan Indonesia harus ditunjukkan, yaitu mengakui bahwa di balik semua pembangunan, tetap ada masalah yang belum terselesaikan sehingga memunculkan isu separatisme.
Baca juga: Berbau Separatis, Penegnalan Kampus Uncen Dihentikan
“Kedewasaan diplomat dan aparat harus dijaga ketika menjawab berbagai pertanyaan dan kritik terkait penanganan separatisme. Ini juga harus kita jadikan lagi pemantik diskusi sebenarnya definisi separatisme itu apa di masa sekarang dan semestinya bagaimana cara menanganinya? Tanpa ada pembahasan ulang ini, korban jiwa akan terus berjatuhan," papar Adriana.
Ia menekankan, hal terpenting ialah, warga hanya ingin dilibatkan dalam pembangunan, bukan sekadar menerima hasil pembangunan yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Untuk itu dialog mesti dikembangkan. Tidak perlu skala masif melainkan forum kecil-kecil dalam ukuran komunitas justru lebih efektif. (DNE)