Gado-gado Pilpres Filipina, Dari PacMan Hingga Dinasti Politik
Filipina akan menggelar pemilihan umum presiden pada 2022. Kandidat yang beragam bersama bayang-bayang politik dinasti masih akan mewarnai.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Wakil Presiden Leni Robredo, Kamis (7/10/2021), akhirnya memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon presiden pada pemilihan umum presiden Filipina tahun depan. Robredo memutuskan maju mencalonkan diri setelah kelompok oposisi gagal mengusulkan satu nama untuk bersaing melawan siapa pun yang didukung oleh Presiden Rodrigo Duterte dan partainya pada pemilihan nanti.
Keputusan itu tidak lepas dari buruknya hubungan duet Robredo dan Duterte selama enam tahun terakhir. Hubungan keduanya tegang selama ini, terutama karena Robredo menjadi kritikus utama kebijakan perang narkoba Duterte yang telah mengakibatkan sekitar 29.000 orang tewas. Sebagian besar korban adalah masyarakat miskin dan kini berujung pada rencana penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional terhadap Duterte.
Sampai saat ini, Robredo masih menjadi satu-satunya bakal calon presiden perempuan yang mendaftarkan diri. Sara Duterte-Carpio, putri Presiden Duterte, sampai saat ini masih belum memastikan diri mendaftar sebagai salah satu kandidat bakal calon presiden di pemilihan umum presiden Filipina 2022.
”Saya mempersembahkan diri saya kepada keluarga Dabawenyo sebagai wali kota untuk ketiga kalinya dan terakhir kali dalam hidup saya sebagai politisi,” tulis Duterte-Carpio di halaman Facebook resminya, Jumat (8/10). Tagar #RunSaraRun2022 menjadi salah satu tagar tren di media sosial Filipina.
Berdasarkan aturan pemilu, para kandidat memiliki waktu hingga 15 November 2021 untuk mundur dari jabatan lama untuk kemudian mencalonkan diri pada posisi lain atau mengajukan kontestan pengganti. Aturan ini menyisakan banyak ruang untuk kejutan sebagaimana terjadi dengan kemunculan Duterte pada menit-menit terakhir pendaftaran kandidat pada pilpres 2015.
Membandingkan dengan Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, atau bahkan Brunei Darussalam, pilpres di Filipina cenderung lebih berwarna. Bakal calon presiden, misalnya, memiliki latar belakang yang unik dan beragam. Misalnya Joseph Estrada yang punya latar belakang bintang film kemudian menjadi politisi. Pada pilpres 1998, ia menang sehingga akhirnya memimpin Filipina meski akhirnya mundur karena kasus korupsi.
Pilpres 2022 tak ada bedanya. Kandidat yang muncul sejauh ini punya latar belakang unik dan berwarna-warni. Robredo, sebelum menjabat wakil presiden, dikenal sebagai pengacara pro bono dan aktivis sosial yang memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang baik.
Ada pula Manny Pacquiao yang merupakan petinju legendaris; Norberto Gonzales, mantan Menteri Pertahanan; Leody de Guzman, tokoh buruh; hingga Isko Moreno yang merupakan mantan artis dan kini menjabat Wali Kota Manila.
Selain nama di atas, beberapa orang dekat Duterte juga ikut mencalonkan diri, yaitu mantan Juru Bicara Kepresidenan Ernesto Abella dan mantan Kepala Kepolisian Nasional Filipina Ronald dela Rosa. Dela Rosa, sebelum terjun ke politik, adalah mantan Kepala Kepolisian Davao semasa Duterte menjabat Wali Kota Davao.
Dela Rosa sempat dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Komandan Satuan Pendukung Siaga Cepat (RSSF) Kepolisian Nasional Filipina terkait pernyataannya di Facebook yang mendukung donor utama kampanye Duterte. Lantas, saat Duterte memenangi pilpres, dia diaktifkan kembali dan langsung diberi jabatan tertinggi di kepolisian sebagai Kepala Kepolisian Nasional Filipina.
Calon kontroversial lain adalah Ferdinand Marcos Jr, putra mantan Presiden Filipina periode 1965-1986 Ferdinand Marcos. Marcos Jr atau yang lebih dikenal dengan Bongbong juga mencalonkan diri sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Duterte pada 2016. Namun, dia kalah tipis dari Robredo dalam pemilihan.Pencalonan Marcos Jr. segera memicu protes oleh lebih dari 100 aktivis sayap kiri. Kelompok ini berjanji akan melakukan penggalangan massa calon pemilih untuk melawannya di pemilihan nanti dan juga berencana menghancurkan patung sang ayah dan Duterte, yang dikenal sebagai sekutu keluarga. Marcos Jr. bergeming dan menyatakan dia siap menghadapi Robredo dan pesaing lainnya.
Richard Heydarian, profesor Sejarah dan Politik Universitas Politeknik Filipina, dikutip dari laman CNN, menilai, tidak ada kandidat kuat dari semua bakal calon presiden yang mendaftar. Dia menilai, pertarungan tahun depan akan sangat kompetitif sehingga perolehan suara para kandidat hanya akan terpaut tipis satu sama lain.
Dengan situasi seperti itu, Dekan Sekolah Pemerintahan (Ateneo Scool of Government) Ronald Mendoza menilai, ada beberapa hal yang menjadi kunci kemenangan kandidat, yaitu nama besar, jaringan, dan kekerabatan. Faktor kunci lain adalah besar-kecilnya dana kampanye serta kemampuan memanfaatkan media sosial untuk kampanye.
”Kalau Anda relatif tidak dikenal oleh calon pemilih, tetapi punya dana cukup besar untuk mengampanyekan diri di media sosial, Anda mungkin bisa mendapatkan suara yang benar-benar tidak sedikit,” kata Mendoza, dikutip dari laman The Guardian.
Tidak mudah untuk mendapatkan dukungan luas di negara dengan karakter hubungan kekerabatan yang sangat kuat dalam politik dalam negerinya tersebut. Banyak ahli menilai, inilah yang membuat demokrasi di Filipina menjadi anomali.
Pablo Querubin, Asisten Profesor Bidang Ekonomi dan Politik di Universitas New York, dalam tesis yang ditulis pada 2011, menyebutkan, lebih dari 40 persen anggota parlemen dan 79 gubernur memiliki hubungan kekerabatan yang erat. Hubungan kekerabatan dan lebih jauh lagi dinasti politik, tulisnya, merusak kualitas demokrasi dan pembangunan ekonomi.
Lebih dari 40 persen anggota parlemen dan 79 gubernur memiliki hubungan kekerabatan yang erat.
Konsekuensinya tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek, tetapi juga jangka panjang. Ini, misalnya, terjadi pada pembangunan ekonomi jangka panjang yang manfaatnya hanya akan dinikmati oleh para kerabat dan anggota dinasti politik yang memetik keuntungan dari posisi status quo mereka.
Dia juga mengatakan, kekuasaan yang hanya terkonsentrasi di sekelompok kecil keluarga dan kerabat penguasa meningkatkan risiko pembuatan dan adopsi kebijakan yang hanya berorientasi pada kepentingan kelompok tertentu semata. Artinya, manfaat utama kebijakan tidak tertuju untuk rakyat.
Maria Ressa, jurnalis Filipina yang baru saja dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 2021, dikutip dari laman CNN, mengingatkan, rakyat Filipina saat ini berada di tepi jurang. ”Siapa pun yang memenangi pemilihan nanti akan menentukan apakah kita akan menegakkan prinsip hukum, apakah perekonomian kita akan berkembang, atau kita bisa selamat melalui masa pandemi ini dan apakah masyarakat kita akan sembuh,” kata Ressa.
Tahun 2022 sudah dekat. Filipina akan memilih. (REUTERS)