Presiden Kais Saied menekankan sifat ”bersejarah” dari pencalonan seorang perempuan di kursi PM. Misi utama PM Bouden adalah mengakhiri korupsi dan kekacauan yang telah menyebar di banyak lembaga negara.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
TUNIS, RABU — Presiden Tunisia Kais Saied, Rabu (29/9/2021), menunjuk Najla Bouden (63) sebagai perdana menteri negara itu. Penunjukan Bouden menjadikan perempuan ahli geologi itu sebagai perempuan pertama yang memegang posisi sebagai perdana menteri di Tunisia dan anggota Liga Arab.
Penunjukan Bouden terjadi setelah Saied merebut kekuasaan di Tunisia dua bulan lalu. Saied pada 25 Juli 2021 memecat Hichem Mechichi dari jabatan PM, menangguhkan parlemen, mencabut kekebalan anggota parlemen, dan mengambil alih pengadilan. Langkah frontal itu dilakukan setelah Tunisia mengalami kebuntuan politik selama berbulan-bulan dalam menghadapi krisis ekonomi dan meningkatnya kematian akibat pandemi Covid-19.
Pada pekan lalu, Saied memperpanjang penangguhan parlemen dan akan memerintah dengan dasar dekrit, menangguhkan sebagian konstitusi pasca-revolusi negara itu. Kemarin ia pun meluncurkan sebuah video yang menunjukkan dirinya bertemu Bouden. Saied lalu meminta Bouden segera menyusun kabinet dalam beberapa jam atau hari mendatang.
Saied berulang kali menekankan sifat ”bersejarah” dari pencalonan seorang perempuan di kursi PM. Ia menyebut penunjukan semacam itu sebagai ”suatu kehormatan bagi Tunisia dan penghormatan bagi perempuan Tunisia”. Dalam videonya, Saied menyatakan misi utama Bouden adalah ”mengakhiri korupsi dan kekacauan yang telah menyebar di banyak lembaga negara”.
Ketika kita melihat daftar riwayat hidup perempuan itu yang merupakan ahli geologi tanpa spesialisasi atau pengalaman lain dalam peran yang sensitif, saya tidak tahu seberapa baik dia akan mampu mengatasi masalah yang sangat besar dan kompleks ini. (Slaheddine Jourchi)
Ilmuwan politik, Slaheddine Jourchi, menyambut baik penunjukan perempuan sebagai PM. Namun, ia memperingatkan bahwa negara itu menghadapi tantangan ekonomi dan politik yang relatif berat. ”Ketika kita melihat daftar riwayat hidup perempuan itu, ahli geologi tanpa spesialisasi atau pengalaman lain dalam peran sensitif, saya tidak tahu seberapa baik dia akan mampu mengatasi masalah yang sangat besar dan kompleks ini,” katanya.
Jourchi mengatakan bahwa dengan menunjuk Bouden, Saied menghindari pencalonan seorang politisi atau siapa pun dengan pengalaman politik minimal. Dia tidak ingin mendapatkan saingan yang bisa berdiskusi dengannya mengenai keputusan penting di negaranya. Di antara dukungan politik terhadapnya, Saied juga mendapat seruan untuk segera membentuk pemerintahan yang lebih stabil.
Sebelum penunjukan Bouden, Kanselir Jerman Angela Merkel menghubungi Saied. Merkel menekankan pentingnya demokrasi parlementer di Tunisia. ”Penting untuk kembali ke demokrasi parlementer dalam dialog dengan semua aktor politik,” demikian pernyataan Merkel sebagaimana dirilis kantor kanselir Jerman.
Beberapa perempuan warga Tunisia di Tunis menyambut baik penunjukan Bouden. Namun, ada di antara mereka yang mengingatkan bahwa dukungan itu tidak berarti bahwa mereka tidak akan kritis terhadap PM. ”Kami akan memperhatikan siapa dia dan apa yang dia lakukan,” kata Yasmine Benhassen (21), mahasiswi di Tunis.
Raoua Gorab, warga yang berstatus pencari kerja, mengatakan, masalah utama di Tunisia adalah memperbaiki situasi di pasar kerja. Akibat pandemi, ia kesulitan mencari kerja karena hampir semua tempat usaha tutup atau bangkrut. Dengan utang mendekati 100 persen dari produk domestik bruto, saat bernegosiasi dengan pemberi pinjaman internasional untuk mendapatkan dana talangan, Tunisia menghadapi inflasi tak terkendali selama bertahun-tahun dan pengangguran tinggi. Kondisi itu semakin buruk di masa pandemi Covid-19.
Bouden menjadi PM kesepuluh Tunisia sejak gerakan massa 2011 menggulingkan diktator lama, Zine El Abidine Ben Ali. Peristiwa ini turut memicu pergolakan Musim Semi Arab. Peralihan kepemimpinan itu telah mendapatkan pujian internasional atas transisi demokrasinya. Namun, belakangan banyak warga Tunisia mengaku mengalami kesulitan ekonomi. Mereka pun larut dalam kekecewaan dengan proses politik yang mereka katakan tidak berfungsi dan korup.
Bouden yang seusia dengan Saied adalah mantan direktur di PromESSE, sebuah proyek reformasi pendidikan tinggi. Sebelumnya ia pernah memegang posisi senior di kementerian pendidikan tinggi Tunisia. Ia adalah ahli geologi berpendidikan Perancis dengan gelar PhD di bidang teknik geologi, berasal dari kota Kairouan. Sehari-hari, dia dosen di sekolah teknik nasional Tunisia.
Tunisia selama beberapa dekade dipandang sebagai pelopor regional dalam hak-hak perempuan. Negara ini melarang poligami pada tahun 1956. Asosiasi Tunisia untuk Perempuan Demokratik (ATFD) menyambut baik terpilihnya Bouden sebagai PM dengan menyarankan Bouden untuk mengambil peran tersebut. Aktivis Bel Haj Hmida memuji sifat simbolis dari penunjukan tersebut, tetapi juga mengingatkan posisi Saied sebelumnya tentang kesetaraan jender.
Selama pemilihan presiden 2019, ia dikritik karena menentang undang-undang warisan yang mengabadikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Saied meraih kekuasaan di tengah gelombang kemarahan terhadap kelas politik yang telah memerintah Tunisia sejak 2011. Namun, ia dinilai gagal menyelesaikan masalah ekonomi dan sosial yang mendesak. (AFP/AP)