Perempuan Hakim Afghanistan, dari Pejuang Keadilan Jadi Buruan Kriminal
Setelah Taliban berkuasa, perempuan hakim di Afghanistan kini hidup dalam persembunyian. Mereka mendapat ancaman pembunuhan dari para kriminal yang dulu dipenjara, tetapi dibebaskan Taliban baru-baru ini.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
KABUL, RABU — Sebanyak 220 perempuan hakim di Afghanistan diketahui masih dalam persembunyian akibat dikejar-kejar oleh kriminal yang mereka penjarakan dulu. Hidup mereka terancam sehingga terpaksa berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Uluran tangan untuk membantu mereka menyelamatkan diri mendesak dibutuhkan.
Para perempuan yang dulu berprofesi sebagai hakim ini tersebar di seluruh provinsi di Aghanistan. Mereka sepanjang kariernya telah memvonis banyak orang, mulai dari tuduhan pembunuhan, kekerasan seksual, hingga kekerasan domestik. Hidup mereka berubah drastis ketika Taliban merebut pemerintahan Afghanistan pada 15 Agustus 2021.
Beberapa hari setelah Taliban menggulingkan Presiden Ashraf Ghani, mereka membebaskan sejawat mereka yang dipenjara. Tidak hanya itu, bahkan narapidana kriminal lain yang tidak berhubungan dengan Taliban akhirnya juga dibebaskan. Sebagai gambaran, di penjara terbesar Pul-e-Charkhi, Taliban membebaskan semua tahanan yang terdiri dari ribuan laki-laki, 760 perempuan, serta 100 tahanan usia anak dan remaja.
Dampaknya langsung dirasakan oleh para perempuan hakim. Salah satu contohnya adalah Masooma, bukan nama sebenarnya. ”Saya langsung menerima teror melalui telepon dan pesan singkat. Langsung saat itu juga saya sekeluarga mengemasi barang-barang dan pergi dari rumah,” tuturnya kepada BBC dari persembunyiannya.
Masooma sudah dua kali mengganti nomor telepon selulernya. Jika dulu ia bersama keluarga hidup mapan dari penghasilan sebagai hakim yang terhormat, kini terpaksa hidup berpindah-pindah menumpang dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Tak ada penghasilan bagi keluarganya. Rekening banknya pun tidak bisa diakses karena nanti identitasnya terungkap.
Menurut dia, beberapa hari setelah kabur, salah satu tetangga menelepon Masooma dan mengatakan ada serombongan laki-laki mendatangi rumahnya. Mereka menggedor-gedor pintu dan berteriak-teriak dan akhirnya pergi ketika mendapati rumah Masooma kosong.
Ia kemudian meminta tetangganya menggambarkan ciri-ciri pemimpin kelompok itu. ”Dari sana saya tahu itu adalah salah satu orang yang saya dakwa 20 tahun penjara karena membunuh istrinya. Dulu, ketika vonis dijatuhkan, ia bersumpah akan balas dendam kepada perempuan yang berani menghukumnya,” kata Masooma.
Hakim-hakim ini mayoritas menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Beberapa di antaranya berupa kejadian ekstrem yang berakhir dengan pembunuhan. Berdasarkan catatan lembaga hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch, 87 persen perempuan di Afghanistan mengalami setidaknya satu jenis kekerasan selama hidupnya. Kekerasan itu berupa verbal, psikis, fisik, sosial, seksual, dan kriminal.
Asma, salah satu perempuan hakim yang juga sedang bersembunyi, mengungkapkan, di provinsi tempatnya dulu bekerja, ia paling banyak menangani kasus perceraian dengan anggota Taliban. Dulu di masa ketika Taliban tidak berkuasa, menangani kasus perceraian sudah menjadi tantangan bagi para perempuan hakim. Gedung pengadilan tempatnya bekerja, misalnya, pernah ditembak roket oleh milisi Taliban yang tidak terima dengan vonis hakim.
”Tidak terbayangkan ketika Taliban kembali berkuasa akan seperti apa nasib perempuan berpendidikan dan berkarier. Apalagi di sektor penegakan hukum. Taliban mengatakan bahwa perempuan hakim tidak sesuai dengan kaidah Emirat Islam Afghanistan,” ujarnya.
Juru bicara Taliban Bilal Karimi mengatakan, sejak awal Taliban telah mengumumkan amnesti bagi semua pegawai pemerintah Afghanistan. Semestinya, ini termasuk perempuan hakim. Taliban hanya berjanji menghancurkan geng kriminal dan gembong narkoba.
”Silakan jika ada mantan pegawai pemerintah yang diganggu oleh milisi, bisa lapor kepada Taliban. Kami memiliki satuan khusus untuk menyelidikinya,” ucap Karimi.
Sementara itu, sejumlah negara mengupayakan pengungsian bagi para perempuan hakim. Asosiasi Perempuan Hakim Internasional (IWJA) yang dipimpin oleh Hakim Dame Suzan Glazebrook dari Selandia Baru telah berhasil mengungsikan 30 perempuan hakim per Agustus lalu. Mereka tengah mendata para hakim yang masih bersembunyi.
”Kendalanya ialah para hakim ini terpaksa berpindah-pindah. Banyak dari mereka dan anggota keluarganya tidak memiliki paspor karena meninggalkan rumah dengan terburu-buru,” kata Glazebrook kepada media Stuff.
Inggris juga memiliki dua program pengungsian bagi warga Afghanistan, yaitu Kebijakan Relokasi dan Bantuan Penduduk Afghanistan (ARAP) serta Skema Pemindahan Penduduk Afghanistan (ACRS). Sistem ini bersifat terbuka dan tidak memiliki tenggat sehingga semua warga yang mengajukan permintaan bisa segera diproses.
Namun, relokasi ini ternyata tidak sepenuhnya menyelesaikan perkara. Runna, seorang warga Inggris keturunan Afghanistan, berbicara kepada harian Manchester Evening News. Kakaknya adalah seorang perempuan hakim yang sedang bersembunyi. Ia tidak hanya tinggal dengan suami dan anak-anak, tetapi juga mengurusi orangtua, mertua, dan kerabat karena dalam budaya Afghanistan satu rumah biasa dihuni oleh keluarga besar.
”Keluarga besar ini tengah hidup dalam persembunyian. Masalahnya, ARAP dan ACRS hanya memberi suaka kepada keluarga langsung, yaitu suami dan anak-anak. Jika kakak saya mengambil suaka ini, kerabat yang tetap di Afghanistan tetap terancam keselamatannya,” paparnya.
Nasib yang tidak lebih baik turut dialami oleh para perempuan penyintas kekerasan domestik. Tempat penampungan dan rumah aman yang selama ini melindungi mereka dibubarkan oleh Taliban. Para perempuan ini diberi dua pilihan, yaitu pulang ke keluarga masing-masing atau bergabung dengan Taliban.
Pulang berarti kembali bersatu dengan anggota keluarga yang pernah melakukan kekerasan kepada mereka. Pilihan ini, menurut Suraya Pakzad, perempuan pegiat yang dulu mengelola beberapa rumah aman, paling banyak dipilih oleh para penyintas. Alasannya karena bergabung dengan Taliban membawa risiko yang tidak terbayangkan.
Namun, Salima, juga nama samaran, memilih ikut dengan Taliban. Dia dan anak-anaknya kemudian ditempatkan di penjara Pul-e-Charkhi bersama lima perempuan lain. Penjara yang dulu untuk mengurung penjahat tersebut, kini oleh Taliban digunakan sebagai penampungan perempuan penyintas kekerasan.
”Saya takut. Belum tahu nanti Taliban mau apa dengan kami, tapi minimal untuk sekarang saya tidak perlu bertemu dengan suami yang pencandu narkoba,” tuturnya. (AP/DNE)