Meski Telah Akomodasi Etnis Hazara, Taliban Masih Abaikan Hak Perempuan
Kabinet Taliban masih tertutup bagi perempuan Afghnistan, tetapi mengakomodasi etnis minoritas Hazara, yang pada masa lalu menjadi sasaran kekerasan Taliban.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
KABUL, SELASA — Taliban, penguasa baru Aghanistan, Selasa (21/9/2021), memperluas kabinet interim mereka dengan menambah pos-pos wakil menteri. Meski ada tekanan internasional agar perempuan diberi jabatan, Taliban tetap bergeming. Namun, kelompok ini mengakomodasi perwakilan etnis minoritas Hazara, yang pada masa lalu menjadi sasaran kekerasan oleh Taliban.
Juru bicara resmi Pemerintah Taliban, Zabihullah Mujahid, dalam konferensi pers di Kabul mengatakan, penambahan anggota kabinet untuk menempati pos-pos wakil menteri, antara lain, merupakan cara untuk mengakomodasi perwakilan etnis minoritas, termasuk etnis Hazara. Perwakilan perempuan mungkin akan ditambahkan kemudian.
Etnis Hazara adalah kelompok minoritas terbesar di Afghanistan yang mendiami dataran tinggi bagian tengah negara itu. Menurut Al Jazeera (data 2016), dari 30 juta populasi Afghanistan, sebanyak 20 persen di antaranya berasal dari etnis Hazara.
Salah satu dari tiga etnis utama di Afghanistan ini diakui sebagai keturunan Jenghis Khan dan tentaranya yang pernah menguasai Afghanistan pada abad ke-13.
Misi Bantuan PBB untuk Afghanistan (UNAMA) pada 2018 melaporkan, komunitas Hazara paling sering menjadi korban kekerasan Taliban. Menurut Amnesty International, anggota Taliban pada 6-7 Juli 2021 mengeksekusi 9 orang etnis Hazara di Mundarakht, Provinsi Ghazni, Afghanistan tengah. Jika kini perwakilan etnis ini diakomodasi, jelas sebuah perubahan besar bagi Taliban.
Mujahid marah kepada komunitas internasional yang masih berpikir-pikir untuk memberikan pengakuan terhadap pemerintahan mereka.
”Adalah tanggung jawab Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengakui pemerintah kami dan bagi negara-negara lain, termasuk negara-negara Eropa, Asia, dan Islam, untuk menjalin hubungan diplomatik dengan kami,” katanya.
Kabinet yang dibentuk pemerintahan Taliban masih bersifat sementara atau interim. Hal itu mengisyaratkan perubahan masih mungkin dilakukan untuk membentuk pemerintahan defenitif. Taliban belum menjelaskan kapan menggelar pemilu yang demokratis.
Mujahid juga ditanya tentang pembatasan yang dikenakan pada perempuan, termasuk melarang siswi kelas 6 hingga 12 untuk kembali ke sekolah. Dia mengatakan, itu keputusan sementara.
”Akan segera diumumkan kapan mereka bisa pergi ke sekolah,” katanya. Dia menambahkan, ”Lingkungan belajar yang aman” perlu dipersiapkan sebelum anak perempuan ke sekolah.
Selama akhir pekan lalu, Kementerian Pendidikan Taliban mengeluarkan peraturan yang mengizinkan hanya guru dan siswa kelas 6 sampai 12 yang pergi ke sekolah. Saat itu, kementerian tidak menyinggung pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan.
Komunitas internasional telah mengingatkan, Taliban akan dinilai berdasarkan tindakan mereka. Pengakuan terhadap pemerintah yang dipimpin Taliban akan dikaitkan dengan perlakuan terhadap perempuan dan kelompok minoritas.
Pada pemerintahan Taliban jilid I (1996-2001), anak perempuan dilarang ke sekolah, bekerja, dan terlibat dalam kehidupan publik. Taliban ketika berkuasa di Afghanistan sekitar 20 tahun silam terkenal memerintah dengan tangan besi.
Satu bulan setelah merebut kekuasaan dan menjanjikan versi yang lebih lembut dari rezim mereka sebelumnya, kelompok Taliban secara bertahap melucuti kebebasan warga Afghanistan.
Kelompok Taliban sekarang menghadapi tugas besar untuk memerintah Afghanistan. Negara itu sangat bergantung pada bantuan karena kehidupan ekonominya yang hancur.
Apalagi aset dan cadangan devisa mereka yang disimpan di luar negeri telah dibekukan. Banyak pegawai pemerintah belum digaji selama berbulan-bulan. ”Kami punya dana, tapi butuh waktu agar prosesnya bisa berjalan,” kata Mujahid.
Taliban juga telah memangkas akses perempuan untuk bekerja. Perempuan diminta tinggal di rumah demi keamanan mereka sendiri. Taliban belum mengeluarkan kebijakan formal yang langsung melarang perempuan bekerja. Penjabat Wali Kota Kabul mengatakan, setiap pekerjaan di pemerintahan kota yang saat ini dipegang oleh perempuan akan digantikan laki-laki.
Inggris
Sementara itu, Kementerian Pertahanan Inggris telah meminta maaf setelah secara tidak sengaja mengungkapkan alamat e-mail lebih dari 250 penerjemah Afghanistan yang ingin pindah ke Inggris.
Kesalahan itu terjadi saat Inggris mengakui telah meninggalkan ratusan warga Afghanistan yang memenuhi syarat untuk relokasi. Perdana Menteri Boris Johnson awal bulan ini mengatakan, sebanyak 311 orang masih tertinggal di Afghanistan. Mereka memenuhi syarat di bawah Kebijakan Relokasi dan Bantuan untuk Afghanistan.
”Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk memastikan bahwa orang-orang itu mendapatkan jalan yang aman yang layak mereka dapatkan,” katanya kepada parlemen. (AP/AFP/REUTERS)