Api Perang dan 50 Tahun Manifesto John Lennon
”Imagine” adalah manifesto ”subversif” tentang dunia damai sejahtera. Pertama kali mengudara 9 September 1971. Kini, setengah abad kemudian, dunia semakin lebih membutuhkannya ketimbang dulu saat John Lennon bermimpi.
Imagine adalah single dari album solo kedua John Lennon yang bertajuk sama, Imagine. Single dan album produksi Apple Records itu sama-sama dirilis di Amerika Serikat (AS) pada 9 September 1971.
Tahun ini peringatan 50 tahun lagu Imagine. Ragam perayaan dilakukan. Situs resmi konten-konten John Lennon yang dikelola Yoko Ono, janda mendiang Lennon, membagikan gambar berisi tulisan ”Imagine All The People Living Life in Peace, dalam 110 bahasa termasuk Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Rangkaian delapan kata itu adalah petikan dari syair Imagine.
Sejumlah kota-kota besar dunia pada Kamis (9/9/2021) memperingati 50 tahun Imagine dengan memproyeksikan petikan syair yang sama di beberapa landmark setempat. Di London, tulisan itu diproyeksikan di Gedung Parlemen Inggris dan Katedral Santo Paulus.
Di Liverpool, hal sama dilakukan di Gedung Liver dan Museum Liverpool. Tembok Berlin, billboards digital raksasa di Time Square di New York, serta area di dekat Jembatan Nihonbashi di Tokyo, juga tak ketinggalan.
Secara komersial, ”Imagine” menjadi single tersukses Lennon di karir solonya selama 10 tahun, 1970-1980. Ragam pengakuan dan apresiasi berbagai lembaga kredibel menjadi konfirmasi atas besarnya pengaruh lagu itu untuk dunia musik.
Rock and Roll Hall of Fame menetapakknya dalam "500 Songs that Shaped Rock and Roll". Sementara Rolling Stone menempatkannya di peringkat ketiga dalam daftar "The 500 Greatest Songs of All Time" di 2004.
Di atas sukses komersial dan ragam pengakuan internasional itu, hal yang membuat balada berdurasi 3 menit itu istimewa sekaligus ikonik barangkali adalah eksistensinya yang unik dalam sejarah peradaban umat manusia yang masih terus menyalakan api perang sekaligus merindukan perdamaian.
Awalnya, lagu dalam kunci C mayor itu merupakan manifesto Lennon tentang cita-cita dunia yang damai sejahtera. Namun dalam perjalanannya, lagu itu telah diterima warga dunia sebagai misionaris perdamaian global.
”You may say I’m a dreamer. But I’m not the only one. I hope someday you’ll join us. And the world will live as one.”
Penulis buku, Ben Urish and Ken Bielen, menyebut Imagine sebagai lagu pop paling subversif yang berhasil meraih status klasik. Sementara John Blaney, penulis buku, ”John Lennon : In His Life”, menyebut bahwa Lennon melalui Imagine memberikan pijakan untuk konsep konkret.
”Lennon tahu bahwa dia tidak memiliki gagasan konkret untuk ditawarkan. Jadi sebagai gantinya dia menawarkan sebuah mimpi tempat konsep (perdamaian) dibangun di atasnya,” kata Blaney.
Jika hari ini dunia masih memperingati Imagine maka itu membuktikan bahwa lagu tersebut tidak lagi sebatas produk seni musik semata melainkan sudah menjadi katalisator mimpi umat manusia tentang dunia yang damai sejahtera di tengah api perang yang belum padam.
Api perang yang berkobar di Perang Dunia II, 1939-1945, telah membunuh sekitar 75 juta orang. Sebagian besar adalah warga sipil yang mati karena genosida, pembantaian, pengeboman massal, penyakit, dan kelaparan. Selain itu, ekonomi hancur, infrastruktur luluh-lantak, kemiskinan merajalela, dan penderitaan tak terperi.
Baca juga : Misteri Makam Angkatan Laut Jerman di Jawa Barat
Maka begitu Perang Dunia II berakhir, negara-negara di dunia membuat ragam instrumen untuk mencegah perang. Pertama-tama dan yang paling mendasar adalah penandatanganan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) per 26 Juni 1945 yang menjadi dasar lahirnya PBB pada 24 Oktober 1945.
Piagam yang mencakup pembukaan, 19 bab, dan 111 pasal tersebut mengamanatkan kepada PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mempromosikan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik, serta memperkuat hukum-hukum internasional dan mempromosikan pengembangan hak asasi manusia.
Pada 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia. Dokumen ini menjadi semacam peta jalan global untuk kebebasan dan kesetaraan, melindungi hak-hak individu di mana pun berada.
Lantas pada 16 Desember 1966, Majelis Umum PBB mengadopsi Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Berlaku sejak 3 Januari 1976, resolusi itu mengikat para pihak untuk memastikan pemenuhan hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya. Termasuk di dalamnya adalah hak ketenagakerjaan, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak standar hidup layak.
Baca juga : Kemunduran HAM di Titik Terburuk, Perlu Aksi Global untuk Memulihkannya
Di luar itu, masih ada sejibun perjanjian lain yang dibuat selama 76 tahun terakhir. Bidang yang diatur pun beragam. Harapannya tidak ada lagi celah untuk perang. Sejumlah capaian berhasil diraih. Toh api perang belum juga padam. Dunia justru memasuki babak baru yang disebut Perang Dingin.
Perang ini menyedot dunia ke dalam dua kutub kekuatan besar, yakni AS sebagai episentrum kapitalisme dan Uni Soviet sebagai tahta komunisme. Perang proksi, perlombaan senjata nuklir, dan perluasan pengaruh ideologi menjadi ciri menonjol perang yang berlangsung selama 1946-1991 ini.
Selama Perang Dingin, AS dan Uni Soviet tak pernah terlibat perang terbuka. Namun yang terjadi adalah perang proksi di berbagai belahan bumi. Salah satu wujud yang menonjol adalah perang saudara. Ini terjadi misalnya di China, Yunani, Kamboja, Angola, El Salvador, dan Nikaragua. Perang proksi terjadi juga di Korea, Vietnam, Kuba, Chile, Timur Tengah, Ethiopia, dan Afghanistan.
Total korban mati akibat perang proksi di era ini diperkirakan lebih dari 11 juta orang. Selain itu, tentu masih ada bencana perang lainnya yang tak terbayangkan. AS dan Uni Soviet, mengutip National Geographic, masing-masing mendanai revolusi, pemberontakan, dan pembunuhan politik, di Amerika Tengah, Afrika, Asia, dan Timur Tengah.
Baca juga : Dorong Pembatasan Senjata Nuklir
Sementara perlombaan senjata nuklir mencapai puncak pada 1985. Saat itu, kepemilikan senjata nuklir AS dan Uni Soviet secara gabungan mencapai lebih dari 50.000 unit. Ambruknya Uni Soviet pada 1991 mengakhiri Perang Dingin.
Namun lagi-lagi dunia tak kunjung jera. Api perang ternyata masih terus dikobarkan. Mengutip kajian PBB bertajuk ”Sebuah Era Baru Konflik dan Kekerasan”, sifat konflik dan kekerasan berubah secara substansial sejak 75 tahun lalu.
Secara global, jumlah korban mati akibat perang menurun sejak 1946. Namun konflik dan kekerasan justru meningkat dengan pelaku yang didominasi aktor non-negara seperti milisi politik, kriminal, dan kelompok teroris internasional. Konflik juga menjadi lebih terfragmentasi.
Saat ini, kejahatan kriminal membunuh jauh lebih banyak korban daripada konflik bersenjata. Pada 2017, hampir setengah juta orang di seluruh dunia tewas dalam kejahatan kriminal.
Baca juga : 80 Juta Warga Dunia Jadi Pengungsi akibat Konflik Sepanjang Tahun 2020
Konflik, masih mengutip kajian PBB, tetap menjadi pendorong utama terorisme. Sebanyak 99 persen dari semua kematian terkait terorisme, terjadi di negara-negara yang terlibat konflik kekerasan.
Sementara kemajuan teknologi merubah sifat konflik. Ada kekhawatiran tentang potensi kecerdasan buatan dan mesin pembelajaran untuk meningkatkan serangan siber, fisik, dan biologis.
Bank Dunia dalam kajiannya menyebutkan, konflik dan kekerasan telah meningkat drastis sejak 2010. Lanskap pemicunya pun menjadi lebih kompleks dengan adanya perubahan iklim, meningkatnya ketidaksetaraan, perubahan demografi, kehadiran teknologi baru, aliran uang gelap, dan tren global lainnya. Pandemi Covid-19 semakin menambah tekanan.
Kepala Spesialis Kerentanan, Konflik, dan Kekerasan dari Kelompok Bank Dunia, Alexandre Marc, melalui risetnya tentang tren konflik dan kekerasan di abad ke-21 memberikan sejumlah catatan. Di abad ke-21, konflik meningkat tajam sejak 2010. Medan konflik terutama terjadi di Timur Tengah.
Baca juga : Dunia Desak Kekerasan terhadap Perempuan Harus Dihentikan
Jumlah pengungsi mencapai rekor tertinggi sejak Perang Dunia II. Kekerasan individu dan gang membunuh lebih banyak korban ketimbang kekerasan politik. Kekerasan berlatar-belakang gender juga masih tinggi.
Hampir 90 persen korban perang adalah sipil, mayoritas anak dan perempuan. Bandingkan dengan abad ke-20 ketika 90 persen korban adalah tentara.
Sebanyak 90 persen perang saudara dalam abad ke-21 terjadi di negara-negara yang punya pengalaman perang saudara dalam 30 tahun terakhir. Konflik di kebanyakan kasus bersifat lintas negara.
Catatan lainnya adalah soal dimensi yang melatar belakangi konflik dan kekerasan. Dimensi itu mencakup daerah tertinggal, pemilikan tanah, ideologi kekerasan, pemilihan umum atau kompetisi meraih pusat kekuasaan, migrasi, perdagangan narkoba atau senjata, sumber daya alam, identitas atau ketimpangan horisontal, dan dampak persoalan kawasan.
Pada 2030, Bank Dunia memperkirakan, hingga dua pertiga orang miskin ekstrem dunia tinggal di negara-negara dengan kerentanan, konflik, dan kekerasan. Lanskap kerentanan global telah memburuk secara signifikan.
Sekarang ada lebih banyak konflik kekerasan secara global dari era mana pun sepanjang 30 tahun terakhir. Dan dunia juga menghadapi krisis pengungsi terbesar yang pernah tercatat.
Entah sampai kapan api perang masih akan terus berkobar. Entah sampai kapan konflik dan kekerasan mencari darah dan kematian. Kalau itu selamanya, maka John Lenon adalah "tuhan" bagi utopia dunia yang bersatu, berbagi, serta damai sejahtera.