80 Juta Warga Dunia Jadi Pengungsi akibat Konflik Sepanjang Tahun 2020
UNHCR mencatat kenaikan jumlah pengungsi pada tahun 2020, mencapai rekor sebanyak 80 juta orang. Tanpa penghentian perang, angka itu masih akan terus bertambah.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — Lebih dari 80 juta orang di sejumlah negara terpaksa meninggalkan kampung halaman akibat gejolak kekerasan dan persekusi sepanjang tahun 2020. Angka itu disebut merupakan rekor tertinggi. Jumlah tersebut diperkirakan masih dapat bertambah kecuali para pemimpin dunia serempak menghentikan perang.
Para pengungsi itu kesulitan mendapatkan pertolongan dan mencari tempat aman untuk menyelamatkan diri karena banyak negara menutup pintu perbatasannya guna mencegah penyebaran Covid-19.
Data awal Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), Rabu (9/12/2020), menunjukkan bahwa pada tahun 2020 ini jumlah orang yang tercabut dari daerah asalnya menembus angka 80 juta jiwa akibat konflik masih saja terjadi. Padahal, PBB telah mengimbau semua pihak yang bertikai agar menyepakati gencatan senjata terkait pandemi Covid-19.
Pada akhir 2019, tercatat ada 79,5 juta warga yang harus meninggalkan daerah asalnya, termasuk 30 juta pengungsi. Jumlah ini sekitar 1 persen dari total jumlah penduduk dunia.
”Kita sudah melampaui tonggak sejarah suram lagi dan ini akan bisa bertambah parah kecuali para pemimpin dunia menghentikan perang,” kata Filippo Grandi, Direktur UNHCR, dalam pernyataan tertulisnya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Maret lalu, sudah menyerukan gencatan senjata global karena dunia sedang berperang melawan pandemi Covid-19. Kini sudah lebih dari 1,5 juta jiwa tewas akibat Covid-19. Ada yang mau mematuhi seruan itu, tetapi masih saja ada yang tak mau mendengar.
Data UNHCR sampai pertengahan 2020 menunjukkan, gejolak kekerasan masih terjadi di Suriah, Republik Demokratik Kongo, Mozambik, Somalia, dan Yaman. Hal itu memaksa banyak orang mengungsi dari tempat tinggal asal untuk menyelamatkan diri.
Di wilayah Sahel, Afrika, saja, misalnya, juga diketahui banyak kasus baru warga yang melarikan diri dan membutuhkan perlindungan akibat kekerasan brutal, termasuk pemerkosaan dan eksekusi.
”Jumlah orang yang dipaksa pindah ke tempat lain yang bertambah dua kali lipat itu menunjukkan bahwa komunitas internasional gagal menjaga perdamaian,” kata Grandi.
UNHCR menyebut, alih-alih meredakan konflik, krisis pandemi Covid-19 justru mengganggu setiap aspek kehidupan manusia dan memperburuk persoalan bagi mereka yang telantar dan tanpa kewarganegaraan. Kondisi mereka kian memprihatinkan karena kebijakan-kebijakan terkait pandemi membuat pengungsi kesulitan mencari perlindungan.
Pada puncak gelombang pertama pandemi Covid-19, April lalu, misalnya, 168 negara menutup pintu perbatasannya, penuh ataupun parsial. Bahkan, 90 negara di antaranya sama sekali tak mau memberikan pengecualian kepada orang-orang yang mencari suaka.
Belakangan, 111 negara menemukan solusi pragmatis untuk tetap memproses kebutuhan pencari suaka. Meski demikian, jumlah permohonan suaka baru turun sepertiga selama paruh pertama tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019.
Pada saat bersamaan, jumlah pengungsi yang akhirnya dipindahkan ke negara ketiga berkurang sampai setengah, menjadi hanya 17.400 orang pada paruh pertama tahun ini.
Akan bertambah
Jumlah pengungsi atau orang yang terpaksa meninggalkan daerahnya dikhawatirkan akan terus bertambah. Apalagi jika pemerintah negara yang sedang berkonflik menutup diri dari pihak luar.
Pemerintah Etiopia, misalnya, tidak mau ada intervensi asing terkait konflik antara pasukan Pemerintah Etiopia dan kelompok di Tigray selama satu bulan terakhir. Konflik itu menyebabkan ribuan orang tewas, termasuk warga sipil.
Sikap Pemerintah Etiopia ini membuat frustrasi warga yang tinggal di Tigray karena banyak terputus dari dunia luar. Padahal, 6 juta rakyat di wilayah itu membutuhkan makanan dan obat-obatan. Sekitar 1 juta orang di antaranya terpaksa menyelamatkan diri ke daerah lain.
Pemerintahan Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed menolak intervensi asing dan tidak mau diajak berdialog untuk membahas pemberian bantuan. Addis Ababa bersikeras, masalah di Tigray merupakan persoalan dalam negeri mereka. Pemerintah Etiopia bersikeras hendak mengirimkan bantuan sendiri.
Bahkan, ada sejumlah anggota staf PBB yang ditembak dan ditahan aparat di Tigray karena dituding masuk wilayah Tigray tanpa izin. Alasan mereka tak boleh masuk adalah masih terjadi baku tembak sporadis di Tigray. Padahal, PBB dan Pemerintah Etiopia sebenarnya sudah menandatangani kesepakatan yang memperbolehkan bantuan kemanusiaan masuk Etiopia.
Sayangnya, bantuan kemanusiaan itu hanya boleh masuk ke wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali pemerintah federal. Masalahnya, kebutuhan makanan dan obat-obatan justru paling tinggi di Tigray. Direktur Jenderal Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Robert Mardini mengatakan, di Mekele, ibu kota Tigray, sekitar setengah juta penduduk sama sekali tidak memiliki obat-obatan apa pun.
”Rumah sakit terpaksa meniadakan perawatan intensif dan berjuang keras dengan alat dan obat seadanya,” kata Mardini.
Konvoi Palang Merah Etiopoa dan ICRC sudah siap membantu dengan persediaan makanan dan obat-obatan bagi ratusan orang yang membutuhkan. Namun, sampai sekarang, mereka masih tertahan. Mardini mengatakan, masyarakat Tigray sudah satu bulan ini terputus dari dunia luar. ”Tidak ada jaringan telepon, internet, listrik, dan bahan bakar. Mereka juga sudah tak punya uang,” ujarnya.
Banyak laporan masuk ke PBB tentang kondisi kamp-kamp pengungsian di Tigray yang memprihatinkan. Sampai sekarang belum ada yang boleh masuk sehingga kondisi yang sebenarnya belum bisa diketahui.
Ada juga kabar yang menyebutkan, banyak pengungsi melarikan diri dari kamp pengungsian untuk menyelamatkan diri. ”Kami berharap akan ada kesepakatan yang memperbolehkan bantuan kemanusiaan masuk segera ke Tigray,” kata Babar Baloch dari UNHCR. (REUTERS/AFP/AP)