Inggris membayar 54 juta poundsterling kepada Perancis untuk menambah armada serta peralatan patroli perairan. Tujuannya mencegah rombongan imigran yang berangkat dari Perancis menyeberangi Selat Channel menuju Inggris.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
LONDON, SABTU — Inggris dan Perancis bertengkar mengenai kebijakan terhadap imigran dan pencari suaka yang menyembrangi Selat Channel. Pemerintahan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson bahkan mengancam akan menghentikan bantuan untuk polisi perairan Perancis apabila tetap mengawal imigran memasuki perairan Inggris.
Pada Jumat (11/9/2021), polisi perairan Perancis menyelamatkan 126 imigran di Selat Channel yang memisahkan Inggris dengan Benua Eropa. Penyelamatan terjadi pada dua waktu yang berbeda, tetapi penyebabnya sama. Tongkang yang ditumpangi para imigran gelap itu mengirim sinyal minta tolong karena ada kendala teknis.
Dalam proses pertolongan yang pertama, terdapat enam perempuan dan dua bayi di atas tongkang. Meskipun polisi perairan Perancis telah menolong mengatasi masalah teknis di tongkang imigran, mereka tidak meminta para pendatang gelap itu untuk berputar balik dan kembali ke pesisir Perancis. Sebaliknya polisi Perancis justru mengawal kedua tongkang imigran memasuki perairan Inggris.
Hukum di Perancis tidak mewajibkan aparat penegak hukum, baik polisi maupun militer, untuk memerintahkan para imigran yang menyeberangi Selat Channel menuju Inggris agar kembali ke Perancis. Hal ini mengakibatkan ketegangan antara Perancis dengan Inggris yang menuduh Perancis ingkar terhadap perjanjian bilateral kedua negara.
Pemerintah Inggris membayar 54 juta poundsterling kepada Perancis untuk menambah armada serta peralatan patroli perairan mereka. Tujuannya mencegah rombongan imigran yang berangkat dari Perancis menyeberangi Selat Channel menuju Inggris.
Pada 2021, sudah 14.100 imigran yang datang ke Inggris dengan cara menyeberangi Selat Channel. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 yang perkiraannya ada 8.000 imigran. Mereka datang antara lain dari Yaman, Eritrea, dan Libya. Umumnya negara asal mereka mengalami konflik berkepanjangan sehingga penduduknya terpaksa melarikan diri demi bertahan hidup. Berdasarkan catatan Pemerintah Inggris, gelombang imigran semakin meningkat sejak tahun 2018.
Menteri Dalam Negeri Inggris Priti Patel tengah mendorong rancangan undang-undang keimigrasian yang baru. Intinya ialah apabila ada imigran yang kedapatan memasuki Inggris tanpa izin akan dihukum pidana dengan kurungan hingga empat tahun.
Masyarakat Inggris terbelah mengenai usulan aturan ini. Ada yang mendukung dan ada pula yang mengkritik bahwa pemerintah terlalu pelit untuk mengulurkan tangan kepada orang-orang yang membutuhkan dan telah menempuh marabahaya dari tanah air maupun dalam perjalanan menuju kehidupan yang diharapkan lebih baik.
Patel mengatakan, pemerintah tidak memiliki biaya ataupun fasilitas untuk menampung imigran serta pencari suaka. Di Inggris, pencari suaka tidak diperkenankan bekerja dan mereka harus diberi uang santunan per kepala sebesar 39,63 pounsterling setiap pekan.
Kelompok pembela hak asasi manusia Inggris berargumen, walaupun sudah bukan bagian dari Uni Eropa, Inggris tetap harus taat kepada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Pencari Suaka. Dalam aturan itu disebutkan bahwa pengungsi berhak memilih negara tujuan akhir. Sambil menunggu proses pengurusan izin ke negara tujuan, mereka harus diperlakukan dengan baik di negara transit.
Data Uni Eropa per November 2020 menyebutkan bahwa permohonan pencari suaka terbanyak di Eropa adalah di Jerman, yaitu 120.320 orang. Perancis menduduki peringkat kedua dengan 96.030 permohonan pencari suaka. Adapun di Inggris ada 35.355 pemohon dan mayoritas bisa berbicara bahasa Inggris serta sudah memiliki kerabat yang menjadi warga negara Inggris.
Dilansir dari harian Daily Express, Menteri Dalam Negeri Perancis Gerald Darmanin mengatakan bahwa Inggris tidak bisa secara sepihak menghentikan dana untuk petugas perairan Perancis dengan alasan Perancis tidak bisa menghentikan pengungsi. Apalagi, Perancis bukan negara tujuan para pengungsi. Mereka secara spesifik ingin pergi ke Inggris.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Clare Mosely, Direktur Care4Calais, lembaga swadaya masyarakat yang menangani pengungsi di Selat Channel. ”Inggris tidak bisa meminta Perancis memutarbalik kapal-kapal pengungsi ke Perancis. Para pengungsi ini dalam keadaan putus asa. Mereka lebih memilih melompat ke laut daripada kembali ke Perancis,” ujarnya.
Sejak tahun 2018, ada 11 pengungsi tewas dan tiga orang hilang di Selat Channel akibat nekat melompat ke laut ketika patroli perairan menyuruh mereka kembali ke Perancis. (AFP)